Bola panas isu Golput dalam pemilu 2019 yang bergulir sebelum pencalonan Capres-Cawapres semakin menguat terutama dari para aktivis Hak Asasi Manusia. Terlebih isu golput yang dimunculkan dinilai sebagai ekspresi politik kerakyatan yang kritis dalam upaya menuntut perubahan atas ketidakpuasan yang dialami.
Selain itu, ketidakpuasan terhadap pilihan kandidat yang ada membuat golput dianggap sebagai alternatif atau poros ketiga. Pilihan yang ada misalnya Prabowo dalam kiprah politik menimbulkan ketakutan lahirnya kembali mimpi buruk Orde Baru, sebab Prabowo merupakan salah satu aktor Orde Baru bagian dari dinasti otoriter Soeharto dan mendukung Prabowo berarti mendukung Soeharto.
Prabowo sebagai militer juga dituding melakukan kekerasan HAM berat terhadap rakyat sipil (kasus Timor Timur, DOM Aceh, gerakan-gerakan buruh dan mahasiswa) dan tambahannya dalam pemilu kali ini Prabowo didukung koalisi partai keluarga Cendana (Partai Berkarya) dengan mengusung beberapa program mirip Orde Baru. Dosa politik masa lalu Prabowo menjadi hambatan besar dalam kontestasi politiknya.
Jokowi pada Pemilu 2014 yang digadang-gadang sebagai sosok alternatif, tidak memiliki dosa politik dan mampu mewujudkan keadilan rakyat kenyataannya hari ini tidak demikian lagi.
Jokowi sebagai calon petahana dianggap ‘blunder’ dengan memilih calon wakil presiden Ma’ruf Amin, yang dianggap memiliki reputasi pelanggaran HAM. Ma’ruf Amin dinilai sebagai figur yang vokal menyuarakan kriminalisasi kaum minoritas agama dan seksualitas melalui RKUHP, ungkapan LGBT itu haram, pandangannya pada kelompok Syiah dan Ahmadiyah, kewajiban umat muslim memilih pemimpin seagama yang memperkuat politik identitas pada Pilgub DKI Jakarta 2017, serta fatwa-fatwa yang turut melahirkan kekerasan terhadap kelompok minoritas.
Kemudian Jokowi pun tidak menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat sebagai angin segar janji politiknya pada Pemilu 2014 silam.
Pertimbangan-pertimbangan semacam ini akhirnya yang mempertegas golput dianggap sebagai alternatif atau poros ketiga dari dua pilihan yang ada. Menurut Data KPU terkait jumlah pemilih Golput mengalami tren meningkat dari pemilu presiden tiga tahun terakhir. Angka golput pada tahun 2004 putaran pertama sebesar 21,80% dan mengikat di putaran kedua menjadi 23,40%, tahun 2009 angka golput berada pada 28,30% dan pemilu 2014 sebanyak 29,01% dari total pemilih.
Pada Pemilu Presiden 2014 terdapat lima provinsi dengan angka golput paling tinggi yaitu Kepulauan Riau (40,57%), Aceh (38,61%), Riau (37,27%), Sumatera Utara (37,25%), dan Sumatera Barat (36,26%). http://ejournal.lipi.go.id/index.php/jppol/article/view/519/327
Meningkatnya angka golput sama dengan partisipasi pemilih semakin menurun dan mengindikasikan tingkat kepercayaan kepada proses demokrasi (pemilu) menurun. Dilihat dari pola-pola bergulirnya isu golput dalam Pemilu 2019 ini dimotori aktor-aktor aktivis HAM, akademisi, dan masyarakat kalangan menengah maupun milenial yang mengikuti pergolakan isu politik.
Hal ini terlihat dari kampanye Direktur Lokataru, Haris Azhar dengan tagar #CoblosSamping yang mendorong menihilkan suara sendiri dengan tidak mencoblos kotak berisi gambar paslon jika tidak menjawab permasalahan rakyat sekaligus penolakan terhadap politik identita.
Kemudian acara konferensi pers “Golput Itu Hak dan Bukan Tindak Pidana” yang digagas sejumlah NGO seperti YLBHI, LBH Jakarta, Kontras dll, hingga cuitan Budiman Sujatmiko yang mengatakan, “Hillary kalah oleh Trump dlm pilpres (menurut sistem Electoral College) karena banyak pendukung Sanders yg memutuskan Golput. (Tolong renungkan. Siapa yg diuntungkan jika sebagian pendukung pak @jokowi golput?)”.
Golput sendiri dilihat dari perspektif hukum adalah hak politik warga negara yang sifatnya konstitusional sebagaimana diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM Pasal 43, UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak Sipil Politik Pasal 25, dan termaktub dalam UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Pasal 19 Ayat 1 bahwa “WNI yang pada hari pemungutan suara telah berumur 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih”. Dalam klausul tersebut kata yang digunakan adalah “hak” bukan “kewajiban”. Sehingga seorang warga negara Indonesia berhak menentukan sendiri pilihan politiknya.
Selain itu, pilihan maupun kampanye golput dalam hukum Indonesia bukan tindakan pidana dan dianggap sah secara hukum karena dijamin Pasal 28 UUD dan 23 UU tentang HAM. Pasal 28 UUD berisi apa-apa saja yang dianggap sebagai hak asasi manusia.
Kemudian Pasal 23 UU HAM berisi: “(1) Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya; (2) Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.”
Hal ini pun diperkuat dalam UU Pemilu bahwa perbuatan yang bisa dipidanakan adalah menghalang-halangi seseorang sehingga membuat orang tersebut kehilangan hak suaranya. Adapun yang dimaksud dengan tindakan menghalang-halangi dalam kategori tindakan pidana pemilu misalkan perusahaan mewajibkan karyawan bekerja di saat waktu pemilihan, sehingga karyawan tersebut akhirya kehilangan hak untuk memberikan suara.
Tidak salah untuk memilih tidak memilih (golput), selama hal tersebut dilakukan tanpa paksaan, atas dasar kesadaran politiknya, dan bukan akibat mobilisasi politik pihak tertentu.
Meskipun terdapat beberapa konsekuensi logis dari setiap pilihan. Pertama, golput bisa jadi alternatif dalam pemilu 2019 ketika dilakukan atas kesadaran politik pribadi, alarm atas sikap kritis terhadap pemerintah, dan memberi dampak pendidikan politik. Kedua, golput memang hak dan bukan tindak pidana, tetapi golput kontraproduktif terhadap perbaikan keterwakilan politik. Ini memang tidak bisa dihindari, sebab pilihan kita adalah penentu kebijakan hingga lima tahun kedepan.
Ketiga, golput memberi ruang pada orang-orang ‘lawas’ mendominasi pengambilan kebijakan, sebab yang akan merasakan dampaknya sendiri adalah kita sebagai rakyat.
Terakhir dari penulis, memilih untuk memilih atau memilih untuk golput merupakan hak politik individu setiap warga negara Indonesia, adapun jika golput dipandang sebagai pilhan alternatif yang tepat untuk Pemilu 2019 nanti asalkan dilandasi dengan kesadaran politik.
Sebab, jika golput dilakukan atas dasar kesadaran politik, pengamatan dan berpikir kritis, memiliki alasan ideologis yang jelas maka artinya ada proses pendidikan politik. Sehingga, sekalipun angka golput pada pemilu 2019 nanti mungkin tinggi bisa jadi pasca itu justru akan muncul partisipasi aktif dan kritis dalam mengawal kebijakan pemerintah. Mengapa penulis berasumsi demikian?
Sebab, isu golput yang berkembang di Pemilu 2019 ini muncul dari masyarakat kalangan menengah yang memiliki kesadaran politik baik itu akademisi,aktivis-aktivis HAM, kalangan muda dan mereka-mereka yang kritis mengamati isu-isu politik nasional, serta harapannya mereka pun siap mengawal kebijakan pemerintah kedepan berpihak pada rakyat.