Pendaftaran Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri atau SNMPTN 2019 sudah dimulai, yang artinya saat ini telah memasuki masa-masa penerimaan mahasiswa baru dan juga penerimaan siswa baru. Sekolah-sekolah “sibuk” menyiapkan siswa terbaiknya untuk dikirim ke kampus-kampus favorit melalui jalur undangan atau sekarang disebut jalur nontulis.
Begitu pula sekolah-sekolah sibuk menyiapkan peserta didiknya untuk dikirim ke sekolah-sekolah tingkat lanjut. Tidak hanya pihak sekolah yang sibuk, para orang tua mulai “kasak kusuk” dan pusing memikirkan masa depan anaknya; biayanya, lesnya, dimana dia akan sekolah atau kuliah, transportasinya gimana, dimana dia akan tinggal bila dia sekolah atau kuliah di luar daerah dan sebagainya. Bagi orang tua yang putus asa menyarankan anaknya untuk lebih baik berhenti sekolah saja, membantu orang tua di rumah.
Kalau kita flashback kembali, pemerintah telah mewajibkan setiap warga negara untuk “wajib belajar 12 tahun”, dari jenjang SD-SMA melalui jalur PIP. Walaupun payung hukum yang masih digunakan adalah wajib belajar 9 tahun. Adapun dipelajari adalah kurikulum yang sudah dibuat sedemikian rupa oleh pemerintah (sekarang digunakan kurikulum 2013 yang masih pro dan kontra).
Di sekolah kita diajari matematika, IPA, IPS, Bahasa dan sebagainya. Ketika masuk jenjang SMA, di bagi sesuai dengan minatnya masing-masing (berbagai macam jurusan di SMK/SMA), beberapa orang disesuaikan jurusannya berdasarkan nilainya ketika di jenjang SMP. Tak jarang beberapa siswa yang uring-uringan tidak bersemangat sekolah karena tidak sesuai dengan jurusan yang dia inginkan. Mau masuk IPA namun taunya masuk IPS begitupun sebaliknya.
Setelah mereka selesai SMA atau sederajatnya, bermacam-macam keluaran siswa yang dihasilkan; ada yang lanjut kuliah, langsung kerja, menikah dan nganggur. Lalu kita bahas yang lanjut kuliah, mereka tidak serta merta langsung masuk ke kampus dan jurusan yang menjadi favoritnya. Karena harus melalui “tes” ini dan itu. Yang tidak tembus dengan jurusan favoritnya lalu banting “setir” mengambil jurusan yang apa adanya alias tinggal itu pilihan terakhir.
Yang sudah berhasil kuliah di tempat favoritnya bersyukurlah dan kita abaikan dulu, lalu yang kita fikirkan adalah mereka tidak kuliah ditempat favoritnya, karena masalah yang terjadi adalah mereka kuliah tidak bersemangat. Hadir kuliah hanya sekedar formalitas saja, badannya ada di dalam kelas tapi hatinya kemana-mana. Ketika luluspun belum tentu akan bekerja sesuai dengan jurusan yang diambil ketika kuliah, bahkan bisa jadi malah bekerja di profesi yang tidak sesuai dengan jurusannya.
Inilah “ironi” yang terjadi dalam pendidikan kita, seharusnya pendidikan kita betul-betul mengarahkan peserta didiknya untuk bisa berada dalam ruang kuliah yang sesuai dengan keinginannya. Harusnya sejak dari SMP para guru memiliki program khusus agar bisa mengarahkan siswanya agar fokus belajar sesuai dengan keahlian dan keinginannya.Yang menjadi permasalahan adalah terkadang siswa kita juga ketika ditanya “kamu mau jadi apa nantinya” merekapun tidak tahu. Disinilah peran para pendidik dan juga orang tua untuk menggali potensi mereka.
Kalaupun ada satu dua siswa yang sukses dengan jurusan yang tidak sesuai dengan keahlian dan minatnya, itu hanya beberapa orang saja. Hanya sedikit dari jutaan manusia di negeri ini. Sedangkan yang mayoritas; lulus kuliah ada yang nganggur, ada yang mendaftar kerja di tempat yang tidak menjadi keahliannya karena alasan “agar bisa bekerja saja dari pada nganggur!”.
Sehingga kemudian kita tidak bisa menyalahkan negara kita kalau keadaannya begini-begini saja, karena pengelolaan negara tidak dikerjaan oleh-oleh mereka yang betul-betul profesional. Lalu pertanyaannya, apakah ini hasil dari pendidikan kita? Apa ini yang kita harapkan dari pendidikan kita? Apa fungsi kurikulum yang sudah kita buat dengan anggaran yang tidak sedikit itu? Lalu untuk apa pula kita belajar bertahun-tahun? “Lebih baik tidak usah sekolah nyatanya ada juga yang tidak sekolah tapi sukses” jawaban ketus dari beberapa orang.
Inilah yang menjadi PR semua stakeholder pendidikan kita. Jangan sampai anak didik kita menjadi patah semangat ke sekolah dan menghakimi pendidikan kita. Atau parahnya masyarakat tidak lagi melirik sekolah sebagai tempat yang bisa “menjamin” masa depan anak mereka.
Adapun yang kita harapkan adalah adanya sebuah sistem pendidikan dibuat di negara ini yang dapat melahirkan siswa dan siswi yang unggul dan berguna di tengah-tengah masyarakat nantinya.
Seperti program khusus yang dapat menjaring potensi siswa sejak dari kecil lalu diarahkan agar mereka bisa menjadi “handal” dibidangnya masing-masing (walaupun sudah ada ektrakulikuler tapi itu belum cukup). Program ini berlaku bagi semua siswa yang ada disekolah tersebut bukan hanya anak-anak yang pintar-pintar dari segi akademik saja karena kecerdasan setiap siswa berbeda tentunya.
Tidak hanya itu, program ini juga diterapkan secara merata, tidak hanya di kota-kota saja tapi berlaku juga di daerah 3 T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar) yang ada di Indonesia. Sehingga dengan adanya program ini dapat melahirkan; seorang guru tapi guru yang betul-betul profesional, melahirkan dosen, pejabat, petani, nelayan, koki, penulis yang mereka yang “sangat ahli” dan dapat diperhitung dunia.