Kamis, Mei 2, 2024

Apa Kabar Deradikalisasi Agama? Sudahkah Dirimu Selesai?

Muhammad Ulil Abshor
Muhammad Ulil Abshor
Mahasiswa IIQ An-Nur Yogyakarta. Minat pada bidang Ushuluddin dan Kajian Sosial.

Fenomena radikalisme di Indonesia sudah ada sejak negeri ini masih kecil. Namun salah satu kondisi paling akut pernah terjadi pada tahun 2009, saat negeri ini masih remaja,  di mana sekolah-sekolah mulai terjangkiti pelajaran yang berbau ajaran radikal dan ekstremis. Tak main-main, yang disasar bahkan sampai pada organisasi-organisasi intra sekolah (OSIS). Perguruan tinggi pun tak luput dari penyusupan paham radikal kala itu.

Beberapa tokoh muncul mengemukakan opini agar segera dilakukan tindakan untuk mengatasi hal ini. Salah satunya Komaruddin Hidayat, yang menulis di salah satu koran harian dan menegaskan perlunya keterlibatan pemerintah, guru dan orang tua dalam merespon masalah ini dengan serius (Sarlito Wirawan Sarmono : 2012).

Kondisi ini diperparah dengan kepergian Gus Dur yang selama hayat beliau getol mengonter narasi dan tindakan intoleransi akibat paham radikal. Hanya saja, untungnya, Gus Dur mewariskan Wahid Foundation (sebelumnya disebut Wahid Institute) berikut anak-anak biologis maupun ideologisnya yang juga punya semangat tinggi mengembangkan toleransi dan pluralisme di negeri ini.

Pun di sudut lain ada banyak tokoh yang bersemangat pula menahan laju radikalisme dengan berkontranarasi dan berpolemik terhadap wacana dan gerakan radikalisme yang semakin hari kian mewabah di ruang publik. Baik Gusdurian ataupun yang lain sama-sama berpandangan bahwa radikalisme mengancam keutuhan dan stabilitas sosial jika dibiarkan bebas meracuni pola pikir masyarakat.

Tak ada yang salah dengan belajar agama. Namun masalah serius muncul tatkala subbab ajaran agama menjadi sumber  petaka sosial yang menjelma penghakiman sepihak dan diskriminasi minoritas. Seribu ideologi hanyalah bayangan belaka, siapapun boleh berideologi segila apapun. Namun sama sekali berbeda ketika ideologi sudah mewujud sebagai tindakan intoleransi dan penganiayaan sosial.

Dampak radikalisme kala itu memengaruhi para pemangku kepentingan masyarakat untuk melahirkan Deradikalisasi Agama sebagai gerakan di Indonesia. Embrio gerakan deradikalisasi ini dikembangkan secara serius salah satunya oleh Almarhum K.H. Hasyim Muzadi, yang secara formal-akademis difasilitasi oleh Kominfo 2011 dan IAIN Walisongo Semarang melalui seminar “Deradikalisasi Agama melalui Peran Muballigh Jawa Tengah”.

Wacana deradikalisasi sebenarnya muncul sebelum 2011. Pada 2007, Petrus Reinhard Golose menyatakan dalam karyanya yang berjudul Deradicalisation and Indonesia Prisons, bahwa “deradikalisasi bertujuan untuk membujuk para teroris (dan para radikalis) agar meninggalkan kekerasan yang mereka lakukan”. Bisa dikatakan bahwa wacana dan gerakan ini selanjutnya mengilhami para tokoh dari luar negeri untuk mengkaji dan mengembangkan teori deradikalisasi lebih lanjut dan serius.

Namun dalam konteks Deradikalisasi Agama yang dibawa Kyai Hasyim Muzadi, yang ditekankan adalah tindakan komprehensif dan kolektif dari berbagai pihak, baik itu ulama, ahli hukum, maupun kepolisian. Pun demikian, lebih jelas Hasyim menekankan agar menghindari kekerasan dalam menjinakkan terorisme karena akan melahirkan ‘dendam kesumat’ dari para teroris yang lainnya, karena “aksi-aksi terorisme tak bisa berhenti begitu saja dengan menembak pelakunya”.

Makna yang bisa ditangkap dari konsep Deradikalisasi Agama diatas adalah bahwa tindakan antisipatif menjadi titik kunci untuk meredam dan mengonter pagam ekstremis itu. Dengan kata lain, kekerasan tak bisa dihadang dengan kekerasan karenan yang akan terjadi adalah benturan keras di masyarakat. namun kekerasan bisa dihalau dengan fleksibilitas yang memungkinkan untuk menghindari resiko berkelanjutan.

Mantan Menristek di era Gus Dur menjadi presiden, Muhammad A.S. Hikam, menelurkan kerangka subyek deradikalisasi dan membaginya menjadi tiga: 1) Suprasrtruktur, yang merujuk pada peran pemerintah pusat atau daerah yang ditopang dengan regulasi-regulasi kemasayrakatan yang mendorong program deradikalisasi; 2) Insfrastruktur yang berupa lembaga pelaksana deradikalisasi; 3) Substruktur yang merupakan individu-individu pengisi lembaga pelaksana tersebut (Muhammad A.S Hikam, Peran Masyarakat Sipil Indonesia Membendung Radikalisme – DERADIKALISASI, 2016).

Subyek-subyek tersebut pada realitanya di kemudian hari terlihat masuk angin. Mungkin karena implementasi gerakan deradikalisasi yang kurang sehingga pada 2017 bisa kita lihat bagaimana masyarakat kita kebobolan dengan lahirnya gerakan Bela Islam atau lebih populer dengan gerakan 212.

Kelompok-kelompok radikalis menemukan momentumnya untuk menekan bangsa ini. Mula-mula dengan menyebarkan tafsir tunggal (provokasi) terkait karakter kepemimpinan dalam agama. Dari situ kemudian berorientasi menjatuhkan pemimpin yang tak seagama, yang pada dasarnya dilindungi oleh konstitusi. Sialnya, Majelis Ulama Indoneisa pada waktu itu punya peran memalukan dalam lahirnya gerakan tersebut.

Apa lacur. Sudah semua jadi terlanjur. Hari demi hari gerakan itu terus berlanjut. Sampai pula ada reuninya, dan bahwa mereka sudah bisa membangun eksistensi melalui laten reuni. Aroma politik pun tak bisa ditutup-tutupi ada di sana.

Dalam kasus lain, sungguh paham dan gerakan radikalisme seperti sudah menjadi candu dalam interaksi masyarakat kita. Nggak ada radikalisme nggak rame. Sekarang gerakan radikalisme membunglon di dalam kontestasi politik 2019. Kira-kira mereka, radikalis, ada di mana, gerakan “Deradikalisasi Agama” harus jadi tandingannya. Bukan apa-apa. Biar ramai saja, karena kayaknya kita butuh banyak hal yang ramai, heboh dan viral. Kita tidak mengantisipasinya secara komunikatif, tapi menunggu fenomena radikalisme dengan menggebu-gebu ingin menyelesaikannya. Keinginan yang semu.

Entah itu yang mangatasnamakan agama dalam politik. Yang menghakimi atau menghujat juga atas nama agama. Yang merusak acara sedekah laut. Yang memotong salib dan lain sebagainya. Membaca berita-berita itu sedih tapi seru juga.

Sepertinya kita semua perlu introspeksi, jangan-jangan radikalisme ada karena kita sendiri yang mengharapkannya, membiarkannya, menyiraminya dengan narasi yang membuat mereka kelompok radikal menjadi segar.

Lalu apakah semua ini akan selesai?

Mari kita tanyakan pada “Deradikalisasi Agama” si rumput yang bergoyang disapu angin radikalisme.

Teruntuk Gus Dur dan Kyai Hasyim Muzadi, lahuma al-faatihah…..

Muhammad Ulil Abshor
Muhammad Ulil Abshor
Mahasiswa IIQ An-Nur Yogyakarta. Minat pada bidang Ushuluddin dan Kajian Sosial.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.