Apa itu Konsep Teo Demokrasi?
Teo demokrasi terdiri dari gabungan kata yaitu teologi yang berarti agama dan demokrasi yang terdiri dari kata demos berarti rakyat dan kratein yang berarti kekuasaan. Sistem teo demokrasi ini dicetuskan oleh Abul A’ala al-Maududi dalam The islamic law and Constituion (Hukum dan Konstitusi: Sistem Politik Islam) menyebutkan, “ Islam ditinjau dari segi filsafat politik merupakan antitesis sejati dari segi sistem demokrasi Barat. Landasan-landasan filosofis demokrasi Barat adalah kedaulatan rakyat.
Di dalamnya, jenis kekuasaan mutlak legislasi mengenai penentuan nilai-nilai serta norma-norma perilaku berada di tangan rakyat. Pembuatan undang-undang merupakan hak prerogatif mereka dan legislasi harus berjalan dengan mood dan suasana hati dari pandangan mereka. Jika sebuah keputusan, betapapun jahat dan berdampak negatif, disepakati oleh mayoritas massa, maka keputusan itu akan mendapat kekuatan hukum.
Sebaliknya Islam, mensyaratkan agar setiap Muslim menjalankan pemerintahannya sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul. Sistem ini lebih suka disebut dengan teo-demokrasi, berbeda dengan sistem teokrasi. Dalam sistem teokrasi, yang pernah jaya di Eropa, agama dan Tuhan hanyalah memberikan stempel pada sekelompok orang yang mengeskploitasi masyarakat untuk mencapai tujuan sendiri.
Dalam sistem teo demokrasi, kaum Muslim diberi kedaulatan terbatas dalam naungan syariat Islam. Semua masalah pemerintahan dan sosial yang tidak diatur dalam syariat dibahas dan diselesaikan dengan mufakat dan konsensus. Setiap Muslim yang memenuhi kualifikasi paham syariat dan profesional pada bidangnya diberi hak untuk menafsirkan syariat sesuai dengan perkembangan yang ada. Dalam bentuknya yang seperti ini, sistem ini adalah sebuah sistem demokrasi sekaligus teokrasi yang berupaya untuk menegakkan hukum ilahi di bumi ini.
Konsep Nationalism
Nation berasal dari bahasa latin natio, yang dikembangkan dari kata nascor (saya dilahirkan), maka pada awalnya nation (bangsa) dimaknai sebagai “sekelompok orang yang dilahirkan di suatu daerah yang sama” (group of people born in the same place) (Ritter, 1986: 286) . Kata ‘nasionalisme’ menurut Abbe Barruel untuk pertama kali dipakai di Jerman pada abad ke-15, yang diperuntukan bagi para mahasiswa yang datang dari daerah yang sama atau berbahasa sama, sehingga mereka itu (di kampus yang baru dan daerah baru) tetap menunjukkan cinta mereka terhadap bangsa/suku asal mereka (Ritter, 1986: 295).
Namun sejak revolusi Perancis meletus 1789, pengertian nasionalisme mengalami berbagai pengertian, sebab kondisi yang melatarbelakanginya amat beragam. Antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Nasionalisme bukan lagi produk pencerahan Eropa tetapi menjadi label perjuangan di negara-negara Asia-Afrika yang dijajah bangsa Barat. Keragaman makna itu dapat dilihat dari sejumlah pendapat berikut. Smith (1979: 1) memaknai nasionalisme sebagai gerakan ideologis untuk meraih dan memelihara otonomi, kohesi dan individualitas bagi satu kelompok sosial tertentu yang diakui oleh beberapa anggotanya untuk membentuk atau menentukan satu bangsa yang sesungguhnya atau yang berupa potensi saja. Snyder (1964: 23) sementara itu memaknai nasionalisme sebagai satu emosi yang kuat yang telah mendominasi pikiran dan tindakan politik kebanyakan rakyat sejak revolusi Perancis. Ia tidak bersifat alamiah, melainkan merupakan satu gejala sejarah, yang timbul sebagai tanggapan terhadap kondisi politik, ekonomi dan sosial tertentu.
Apa itu Demokrasi?
Istilah demokrasi yang menurut asal kata demos berarti rakyat, kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa. Sesudah Perang Dunia II terdapat gejala bahwa secara formal demokrasi merupakan dasar kebanyakan negara di dunia. Sejarah perkembangan demokrasi telah mencakup beberapa asas dan nilai yang diwariskan kepadanya dari masa yang lampau, yaitu gagasan mengenai demokrasi dari kebudayaan Yunani Kuno dan gagasan mengenai kebebasan beragama yang dihasilkan oleh aliran Reformasi serta perang-perang agama yang menyusulnya.
Sistem demokrasi yang terdapat di negara kota (city state) Yunani Kuno (abad ke-6 sampai abad ke-3 SM) merupakan demokrasi langsung (direct democracy), yaitu suatu bentuk pemerintahan yang mana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas.
Dokumen yang paling penting yang dianggap sebagai tonggak dalam perkembangan gagasan demokrasi pada Abad Pertengahan adalah Magna Charta. Magna Charta merupakan semi kontrak antara beberapa bangsawan dan Raja John dari Inggris yang mana untuk pertama kali seorang raja yang berkuasa mengikatkan diri untuk mengakuyi dan menjamin beberapa hak dan privileges dari bawahannya sebagai imbalan untuk penyerahan dana bagi keperluan perang dan sebagainya.
Sebelum Abad Pertengahan berakhir dan pada permulaam abad ke-16 di Eropa Barat mengalami beberapa perubahan sosial dan kultural, yang mana akal dapat memerdekakan diri dari pembatasan-pembatasannya. Dua kejadian ini adalah Renaissance dan Reformasi.
Renaissance adalah aliran yang menghidupkan kembali minat kepada kesustraan dan kebudayaan Yunani Kuno, aliran ini membelokkan pandangan yang tadinya hanya tulisan-tulisan keagamaan berubah ke arah keduniawian. Reformasi yang mengakibatkan banyaknya perang-perang agama yang terjadi kemudian menyebabkan manusia berhasil melepaskan diri dari penguasaan gereja. Hasil dari dua kejadian ini adalah khususnya di bidang pemerintahan, adanya pemisahan antara Gereja dan Negara.
Kemudian adanya pendobrakan terhadap kedudukan raja-raja absolut ini didasarkan atas suatu teori rasionalistis yang umumnya dikenal sebagai social contract. Pada haakikatnya teori-teori kontrak sosial merupakan usaha untuk mendobrak dasar dari pemerintahan absolut dan menetapkan hak-hak politik rakyat.
Filsuf-filsuf yang mencetuskan gagasan ini adalah John Locke dari Inggris dan Montesquieu dari Perancis. Menurut John Locke hak-hak politik mencakup hak atas hidup, hak atas kebebasan dan hak untuk mempunyai milik (life, liberty and property). Montesquie mencoba menyusun suatu sistem yang dapat menjamin hak-hak politik itu, yang kemudian dikenal dengan istilah Trias Politica.