Inilah kritk pedas, ekistensialis, Celine, kemiskinan dan yah apapun itu. Suatu hari teman mengkritik status saya yang membahas perihal filsafat, lebih tepatnya metafisika dan grand narration (narasi besar).
Kritiknya sederhana, yaitu apa sih gunanya filsafat untuk mengatasi kemiskinan, anggaplah demikian. Hal yang sama juga ada di kepala saya sebenarnya, untuk apa buku-buku magnum opus itu, sekolah-sekolah elite ini, kampus-kampus megah, orang-orang cerdas nan jenius, tapi keberadaan mereka belum juga mampu menyelesaikan persoalan klasik ummat manusia, yaitu kemiskinan, ketidakadilan dan kejahatan? Saya langsung teringat ucapan Aristoteles: tidak ada hal baru dibawah sinar matahari.
Untuk apa sih saya menulis ini, untuk apa sih dia mengkritik saya? Saya mengalami kontemplasi yang dalam. Dulu saya juga mendapat pertanyaan yang sama dari seorang kawan aktivis yang lain, tapi saya jawab dengan penuh emosi, kenapa anda nyinyir !
Anda tidak bisa menilai orang lain belum berbuat sesuatu, hanya karena ia menjelaskan sesuatu yang anda tidak pahami dan sukai, sementara ia menghargai upaya anda, walau itu juga tidak membawa perubahan berarti, tapi setidaknya bukankah itu berarti untuk anda? Tidak kah akhirnya kita memahami bahwa hidup ini sangat eksistensialis, kita hanya berkata dan berbuat di mana kita merasa dianggap “ada”.
Tapi, sekali lagi pertanyaan itu membuat saya teringat penjelasan myth syshipus Albert Camus, hidup bagaikan nihilisme, absurdisme, skeptisisme, yang tidak jelas kemana tujuan ujung pangkal nya. Kita selalu beranggapan bahwa problem kemiskinan itu problem sederhana, tapi ini problem yang rumit dan sangat filosofis, untuk mendefinisikan makna miskin dan keadilan pun orang bisa berdebat dan bertengkar.
Akhirnya kita mencoba sedikit memahami, bahwa ini bukan sekedar problem material, tapi problem kemanusiaan, problem pemikiran. Dari situlah kita menyadari kenapa ada manusia yang rela berpuluh-puluh tahun menulis untuk sekedar membahas “apa itu miskin?”. Walau iapun bergumam di dalam hati; “apakah tulisanku inipun kelak akan membuat kemiskinan lenyap?” Tapi setidaknya, ia sudah berbuat dan dari bukunya menginspirasi miliaran manusia untuk melawan ketidakadilan, menurut saya itulah hakikat intelektualisme.
Kita mungkin tidak pernah cukup memuaskan satu dunia, memuaskan untuk banyak orang, tapi cukuplah memuaskan satu orang dengan sangat mendalam. Seperti ucapan Celine, feminist di film Before Sunset:
Aku bekerja di organisasi ini untuk membantu desa-desa di Meksiko. Dan keprihatinan mereka adalah bagaimana untuk mendapatkan pensil……untuk dikirim kepada anak-anak di sekolah-sekolah di negara kecil. Ini bukan tentang kehebatan…ide-ide yang revolusioner……ini hanya tentang pensil. Aku melihat orang-orang yang benar-benar bekerja, dan yang menyedihkan adalah……orang-orang yang paling banyak memberi, banyak bekerja keras……dan mampu membuat dunia ini menjadi lebih baik……biasanya tidak memiliki ego dan ambisi untuk menjadi seorang pemimpin. Mereka tidak melihat kepentingan dangkal untuk sebuah penghargaan.Mereka tidak peduli…apakah nama mereka pernah muncul di pers atau tidak.
Dan di suatu hari aku berada di kelas politik, kami selalu membicarakan bagaimana caranya memperbaiki dunia, hingga aku berfikir kenapa kita tidak benar-benar memperbaikinya dalam bentuk nyata, sehingga akupun memutuskan berhenti, dan bergabung di organisasi kemanusiaan. Tapi apakah kamu tahu, dulu aku selalu berfikir untuk berbuat banyak hal, hingga aku sadar apa yang telah aku perbuat ternyata tidak lah sebanyak itu.
Narasi percakapan Celine membuat saya teringat pada pesan Derrida: tidak perlu merubah dari hal narasi besar, cukup narasi yang kecil.
Dan juga Einstein dengan pesan bijaknya: manusia yang tidak memiliki imaji dan mimpi, lebih baik mati.