Kamis, Oktober 10, 2024

Antusiasme Pemilih Muda, Apa yang Perlu Diperhatikan?

Mochammad Naufal Rizki
Mochammad Naufal Rizki
Peneliti di Tulodo Indonesia

Pada masa kampanye pilpres Chili 2021, publik dibuat bingung oleh basis pendukung salah satu capres, Gabiel Boric, yang unik: K-popers dan Swifties. Tiba-tiba lanskap politik Chili, terutama di sosial media, dipenuhi atribut-atribut Boric yang dibuat seolah-seolah seperti idol.

Kaum muda membuat acara-acara fanmeet, tribute, dan membagikan merchandise dengan estetika khas fandom. Fenomena serupa juga terjadi pada Pilpres Filipina 2022. Para penggemar BTS tergerak untuk mendukung Leny Robredo, lawan Bongbong, melalui gerakan ARMY for Leny. Bongbong sendiri memiliki basis pendukung muda yang masif di Tiktok. Ia terkenal karena aksi joget dan musiknya.

Selain Filipina dan Chili, kita bisa melihat cerita serupa di Argentina tahun lalu. Javier Milei yang keluar sebagai pemenang pilpres masyhur di kalangan kaum muda karena citranya yang nyentrik—ia dikenal sebagai sang “eknonom tiktok.” Intinya: di berbagai belahan dunia, pemilu belakangan diikuti dan dirayakan oleh kaum muda dengan caranya yang khas.

Satu bulan terakhir, kita menangkap fenomena serupa di Indonesia. Kaum muda ramai-ramai terlibat dalam diskursus politik. Di Tiktok, misalnya. Kaum muda ramai membicarakan politik di platform tersebut, sehingga memaksa para politisi untuk masuk ke sana.

Sekarang kita melihat bagaimana politisi menggeser pola blusukannya: tidak lagi hanya di gorong-gorong, tetapi di fitur live streaming TikTok. Tidak lagi hanya pidato soal ihwal raksasa seperti pembangunan ekonomi, tetapi berbicara tentang hal biasa saja, seperti kiat-kiat menghadapi salah pilih jurusan di kampus. Sesuatu yang mungkin tidak terbayang lima tahun lalu.

Artinya, Tiktok memainkan peran krusial dalam menyodorkan akses informasi pemilu dan politik. Tak heran banyak pengamat menyebut pemilu ini sebagai: pemilu tiktok pertama di Indonesia.

Kegiatan politik di Tiktok jugalah yang belakangan menghasilkan suatu fenomena yang disebut sebagai ‘kpopfikasi’ dari pemilu. Kita melihat bagaimana kehadiran fanbase bergaya k-pop untuk pemilu di sosial media menghebohkan sekaligus membingungkan banyak orang. Bayangkan saja, tiba-tiba puluhan ribu akun  memulai percakapan poltik dengan kosakata ‘alien’ yang tidak pernah muncul dalam diskursus politik kita selama ini. Sesuatu yang asing bahkan bagi ahli politik sekali pun.

Kegiatan yang mulanya seru-seruan itu bahkan mulai dibawa ke dunia nyata. Kita menyaksikan bagaimana kaum muda secara sukarela memproduksi merchandise khas k-pop untuk mendukung jagoannya di pemilu. Mulai dari membuat fanmeet, freebies hingga menyelenggarakan foodtruck. Akhir-akhir ini, fandom dari capres Anies Baswedan patungan menyewa papan iklan digital di beberapa kota. Kita menyaksikan wajah kampanye yang baru.

Banyak pihak menilai bahwa kehadiran Tiktok dan membaurnya politik dengan pop culture menandakan membludaknya antusiasme dan partisipasi kaum muda untuk pemilu. Namun, di balik antusiasme tersebut, masih terdapat segudang persoalan.

Apa Tantangan yang Muncul?

Kendati antusiasmenye besar, saat ini, banyak pemilih muda yang masih kesulitan memahami pemilu. Mengutip laporan Tulodo Indonesia (2023), kesulitan mendapatkan informasi akurat mengenai pemilu dipilih sebagai faktor terbesar kedua yang menghambat keterlibatan kaum muda, menyusul faktor ketidakpercayaan terhadap dampak dari pemilu. Data ini sebenarnya cukup ironis.

Dalam sejarah demokrasi di Indonesia, barangkali akses terhadap informasi pemilu paling mudah didapatkan hari ini—berkat internet dan sosial media. Namun, faktanya kaum muda tetap merasa kesulitan memeroleh informasi yang akurat. Di ruang maya, mereka dikelilingi oleh hoaks, juga harus berhadapan dengan pasukan buzzer yang aktif memproduksi misinformasi.

Kehadiran Tiktok dan ‘kpopfikasi’ juga memunculkan kekhawatiran lain. Belakangan kita melihat bagaimana sebagian kaum muda menjatuhkan pilihannya dalam pemilu berdasarkan citra dan persona sosial media. Menghindarkan mereka dari pertimbangan yang rasional.

Dari segi teknis, masih banyak juga kaum muda yang kelimpungan. Misalnya, hasil riset Tulodo Indonesia mencatat masih banyak pemilih muda yang belum mengetahui tata cara mengecek kepesertaan pemilu. Ditambah lagi masalah spesifik lain, seperti pemilih muda di perantauan yang tidak mengetahui tata cara pemindahan TPS.

Tingginya antusisiasme dan besarnya suara kaum muda sudah pasti menggoda para kandidat. Mereka yang meraih hati kaum muda berpotensi besar menjadi pemenang seperti Gabriel Boric, Marcos Bongbong atau Javier Milei. Itu bukan tindakan dosa. Yang dosa adalah: mengetahui jumlah suara muda berlimpah, memahami bahwa mereka antusias, ingin memanfaatkannya, tetapi mengabaikan tantangan yang mereka hadapi.

Kita patut merayakan antusiasme kaum muda mengikuti pemilu dalam wadah-wadah kegemarannya. Namun, kendati antusiasmenya terkesan meluap-luap, bukan berarti kaum muda sudah sepenuhnya siap. Cara terbaik untuk merayakan antusiasme itu adalah dengan memberikan semakin banyak akses, terutama mengkapasitasi mereka untuk menjadi informed voters. Bersorak-sorai saja tidak cukup. Pemilu tidak menjadi berkualitas hanya karena jumlah suara kaum mudanya besar dan partisipasinya melonjak. Pemilu menjadi berkualitas ketika kaum muda dapat menyumbang hak pilihnya dengan informasi memadai, akurat, serta atas pertimbangan rasional. Ini tujuan yang mesti dikejar.

Mochammad Naufal Rizki
Mochammad Naufal Rizki
Peneliti di Tulodo Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.