Beberapa tahun terakhir, geliat wirausaha di kalangan milenial makin terlihat. Dari lini bisnis fesyen, kuliner, hingga jasa digital, generasi muda tampil berani membuka usaha sendiri. Bahkan, tak sedikit yang memulainya sejak duduk di bangku kuliah. Keberanian ini patut diapresiasi, apalagi di tengah tantangan ekonomi global. Namun, di balik semangat tersebut, ada satu persoalan krusial yang sering luput yaitu rendahnya pemahaman manajerial di kalangan pelaku usaha muda.
Dalam berbagai seminar kewirausahaan, kita sering mendengar ungkapan “yang penting mulai dulu.” Kalimat ini menyemangati, tapi bisa juga menyesatkan. Banyak pelaku bisnis muda yang memulai usaha tanpa rencana matang. Mereka mengandalkan tren pasar, keberanian, dan kemampuan beradaptasi. Tapi ketika usaha mulai berjalan, muncul pertanyaan: bagaimana mengatur arus kas? Bagaimana menentukan harga pokok penjualan? Bagaimana menyusun strategi pemasaran berkelanjutan? Dan yang paling penting, bagaimana mengelola tim kerja secara efektif?
Pertanyaan-pertanyaan itu sering kali dijawab dengan insting, bukan ilmu. Tak heran jika banyak bisnis milenial hanya bertahan dalam hitungan bulan.
Antara Tren dan Ketidaksiapan
Era digital memang memberi kemudahan luar biasa. Siapa pun bisa menjadi “pengusaha” hanya dengan modal akun media sosial dan koneksi internet. Tapi kemudahan ini juga menciptakan ilusi: bahwa membangun bisnis itu mudah dan bisa instan. Padahal, kenyataannya sangat berbeda.
Sebagian besar milenial membuka usaha karena melihat peluang sesaat atau sekadar ingin ikut tren. Tanpa riset pasar, tanpa proyeksi pendapatan, dan tanpa pengelolaan keuangan yang rapi. Bahkan, banyak yang belum membedakan uang pribadi dan uang usaha. Ini menjadi akar dari berbagai masalah keuangan di dalam bisnis mereka.
Data dari Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2023 mencatat bahwa lebih dari 70% UMKM yang dikelola oleh generasi muda mengalami kegagalan dalam dua tahun pertama. Faktor dominannya adalah lemahnya pemahaman tentang manajemen dasar—baik itu operasional, pemasaran, keuangan, maupun sumber daya manusia.
Pendidikan Tinggi Belum Cukup
Masalah lain yang tak kalah penting adalah peran pendidikan tinggi dalam membekali mahasiswa. Ironisnya, banyak mahasiswa dari jurusan manajemen pun tak mampu menerapkan ilmu yang mereka pelajari. Ini bukan sepenuhnya kesalahan mahasiswa. Kurikulum yang masih berorientasi pada teori, minim praktik, dan tidak fleksibel terhadap perkembangan industri, membuat ilmu manajemen terasa “asing” saat dihadapkan dengan dunia nyata.
Sebagai contoh, masih banyak mata kuliah manajemen yang diajarkan dengan pendekatan lama, jauh dari konteks digitalisasi bisnis atau dinamika UMKM kekinian. Di sisi lain, program inkubator bisnis kampus, yang seharusnya menjadi jembatan antara teori dan praktik, sering kali belum optimal—baik dari segi pendampingan, fasilitas, maupun keberlanjutan.
Padahal, kampus memiliki peran strategis untuk melatih mahasiswa bukan hanya berpikir kritis, tetapi juga bertindak strategis. Mahasiswa harus diajak belajar dari studi kasus nyata, magang di bisnis lokal, atau bahkan diwajibkan menjalankan bisnis mini sebagai bagian dari mata kuliah. Praktik seperti ini akan menumbuhkan pemahaman mendalam dan pengalaman langsung tentang bagaimana bisnis dijalankan secara profesional.
Saatnya Literasi Manajemen Diutamakan
Jika tren berwirausaha di kalangan muda ingin terus berkembang secara sehat, maka literasi manajemen harus menjadi prioritas. Bukan hanya sebagai teori di kelas, tetapi juga melalui pelatihan, mentorship, dan akses ke sumber belajar yang aplikatif.
Pemerintah, kampus, dan komunitas wirausaha perlu berkolaborasi untuk menyediakan ruang belajar manajemen berbasis praktik. Misalnya, melalui bootcamp kewirausahaan, pelatihan akuntansi usaha untuk pemula, atau platform digital yang menyediakan simulasi pengelolaan bisnis. Selain itu, penting juga membangun budaya dokumentasi dan evaluasi dalam usaha kecil: membuat laporan keuangan sederhana, mencatat target dan hasil, serta menganalisis penyebab kegagalan atau keberhasilan.
Tak kalah penting, generasi muda perlu menyesuaikan pola pikir. Membangun bisnis bukan hanya soal tampil keren di media sosial, tetapi tentang membangun sistem yang berkelanjutan. Bisnis adalah proses jangka panjang, dan ilmu manajemen adalah bahan bakarnya.
Milenial adalah kekuatan baru dalam ekonomi digital Indonesia. Mereka kreatif, adaptif, dan berani mengambil risiko. Tapi semua itu bisa berujung kegagalan jika tidak disertai dengan kemampuan mengelola usaha secara profesional. Maka, membekali diri dengan ilmu manajemen bukan lagi pilihan, tapi kebutuhan.
Saatnya kita berhenti memuja semangat berbisnis semata, dan mulai menekankan pentingnya bisnis yang terkelola dengan baik. Karena dalam dunia nyata, semangat saja tidak cukup. Tanpa manajemen, bisnis yang menjanjikan hanya akan menjadi cerita singkat tanpa arah.