Senin, Maret 17, 2025

Antroposentrisme dan Ratapan Kang Dedi soal Puncak

Heru Ismantoro
Heru Ismantoro
Jurnalis yang mempunyai concerns terhadap isu-isu lingkungan hidup. Saat ini terlibat dalam penelitian media sosial bersama Universitas Utrecht Belanda. Sedang menempuh S2 Ilmu Lingkungan di Universitas Sebelas Maret Solo
- Advertisement -

Berita Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menangis mendominasi dalam pemberitaan media online dalam sepekan lalu. Kang Dedi menangisi lingkungan hidup yang rusak di kawasan Puncak, Jawa Barat. Buat saya, “drama” tangis ini bisa menjadi pintu masuk dari upaya membangun kesadaran baru dalam perencanaan pembangunan di Kawasan Puncak.

Paradigma pembangunan Puncak harus lebih beretika ekosentrisme/biosentrisme daripada antroposentrisme seperti yang selama ini terjadi. Tangis Kang Dedi harus menjadi aksi nyata, bahkan jika perlu Puncak dijadikan kawasan percontohan pembangunan yang ramah lingkungan di Indonesia.

Mengutip Kompas.id, curah hujan tinggi bukan faktor tunggal penyebab bencana alam di Puncak dan sekitarnya. Deforestasi dan alih fungsi lahan membuat risiko bencana di kawasan itu semakin menjadi-jadi. Potensi bencananya pun semakin beraneka ragam mulai dari banjir, longsor hingga banjir bandang. Banjir besar terjadi pada Minggu (2/3/2025) usai kawasan Puncak diguyur hujan deras. Menurut data dari BPBD Provinsi Jawa Barat, kecamatan yang terdampak banjir ini, yakni Cisarua, Bojong Gede, dan Rumpin. Sebanyak 137 rumah yang dihuni 547 orang di Rawapanjang, Bojong Gede, terendam air. Di Desa Tugu Selatan, sebanyak 119 rumah terendam banjir, dengan 423 jiwa terdampak dan lain sebagainya.

Mengenai kerusakan lingkungan, data Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan mulai dari tahun 2000 hingga 2016, luas hutan alam yang hilang di Kawasan Puncak mencapai 5.700 hektare. Abdul Mukti dalam Jurnal PACC 2024, menyebutkan di Kabupaten Bogor, deforestasi terjadi di Taman Nasional dengan luas 162.18 hektar menyumbang sebesar 5.96% dari total deforestasi.

Di kawasan Hutan Produksi Terbatas, deforestasi mencakup luas 9.69 hektare atau 0.35% dari total deforestasi. Walhi Jabar menyatakan dalam kurun waktu lima tahun terakhir, kerusakan di Puncak semakin masif. Pada tahun 2018, dari sekitar 29.000 hektare lahan di kawasan DAS hulu Ciliwung-Cisadane, 10.000 hektare atau lebih dari 30 persen sudah berubah menjadi beton.

Tak Puas

Bencana, deforestasi dan alih fungsi lahan di Puncak adalah bukti bahwa pembangunan di kawasan itu sangat antroposentrisme. Mengutip Sonny Keraf (2010), etika antroposentrisme memandang manusia sebagai pusat dari alam semesta dan hanya manusia yang mempunyai nilai. Cara berpikir antroposentrisme memandang alam semesta dan seisinya sekadar alat pemuas kepentingan dan kebutuhan hidup manusia.

Berbalut industri wisata, Puncak memang mesin uang. Dengan konsep wisata alam, pada 2019 wisatawan domestik yang mengunjungi mencapai 9,3 juta orang. Kemudian tahun 2020 tercatat 5 juta orang dan 2021 tercatat 6.4 juta orang. Pada tahun 2023, Radar Bogor (9/3/2025), menuliskan kunjungan wisata ke Kabupaten Bogor mencapai 10,6 juta orang yang sebagian besar mengunjungi kawasan Puncak. Survei BPS tentang Statistik Wisatawan Nusantara (2024), menyebutkan rata-rata pengeluaran wisatawan saat mengunjungi obyek wisata tahun 2023 adalah Rp 2,5 juta. Dari jumlah itu dapat dibayangkan berapa banyak potensi uang yang beredar di Puncak.

Manusia pada dasarnya adalah homo economicus, yang selalu ingin memenuhi hasrat dan kebutuhan hidupnya yang rasional dan tidak pernah puas. Sifat dasar yang tak pernah puas kemudian dihadapkan pada sumberdaya alam yang terbatas. Maka hasilnya adalah eksploitasi yang berlebihan hingga menimbulkan bencana alam.

Sulit untuk dipungkiri bahwa krisis lingkungan hidup di era modern berawal dari kesalahan cara pandang manusia dalam melihat alam semesta.  Sekali lagi, manusia menganggap bahwa mereka adalah pusat dari sistem alam semesta (antroposentrisme). Alam belum dipandang sebagai sesuatu yang memiliki nilai penting bagi kehidupan. Alam hanya dipandang berdasarkan nilai kegunaannya semata yang ujung-ujungnya cuan. Inilah yang melahirkan sikap dan perilaku eksploitatif dan nirpeduli terhadap alam.

Perubahan

Pakar lingkungan hidup Indonesia, Sonny Keraf menekankan perlunya cara pandang biosentrisme dan ekosentrisme. Etika Biosentrisme adalah cara pandang bahwa semua kehidupan itu bernilai. Jadi semua mahkluk hidup, tidak hanya manusia, mempunyai nilai dalam eksistensi mereka di alam. Sedangkan Ekosentrisme memandang alam adalah sebuah ekosistem yang mempunyai nilai. Tidak hanya manusia atau mahkluk hidup lain, namun semua yang berada di alam semesta mempunyai nilai. Jadi hutan beserta isinya mempunyai nilai yang sama pentingnya dengan manusia.

- Advertisement -

Bagaimana dengan konteks peristiwa di Puncak baru-baru ini? Hadirnya sosok Dedi Mulyadi yang punya kuasa dan wewenang, dapat menjadi motor mengubah paradigma pembangunan yang antroposentrisme. Kang Dedi tak boleh hanya menangis dan merasa martabatnya direndahkan karena keserakahan yang terjadi di Puncak, tapi juga harus mengimplementasikan keresahannya itu ke dalam program pembangunan yang adil bagi alam.

Kang Dedi bisa memulai dengan mendorong penegakkan hukum. Pembongkaran sebuah obyek wisata adalah contoh baik untuk berlanjut ke pembongkaran bangunan lain yang menyalahi aturan. Kemudian penghijauan kembali lahan bekas bongkaran juga aksi yang baik. Lantas sinergisme dengan pemerintah pusat juga penting karena aset hutan dikauasai Pusat. Agaknya penting pula mengevaluasi payung hukum pembangunan di Puncak agar lebih ekosentrisme/biosentrisme.

Ada tiga catatan penting Sonny Keraf untuk melampaui antroposentrisme yakni perubahan paradigma pembangunan menjadi biosentrisme dan ekosentrisme, perubahan prilaku manusia dan kemudian mengimplementasikan hal itu menjadi sebuah kebijakan. Ide lain adalah penerapan ekonomi sirkuler yang bertumpu pada tiga prinsip yakni:

Pertama, alam semesta sebagai sebuah sistem kehidupan yang berkembang bersama dengan mempengaruhi satu sama lain secara ekologis. Kedua, mengganti ekonomi linear (take, make, waste) menjadi sirkuler dengan prinsip reduce, recyle, reuse, repair dan remanufacture.  Ketiga, sumberdaya alam dihitung sebagai modal alam sebagai neraca laba-rugi sehingga alam dan lingkungan hidup harus diinternalisasikan dalam biaya produksi atau biaya pembangunan.

Sebagai penutup, mengubah paradigma pembangunan apalagi sampai menargetkan mengubah prilaku manusia, bukan pekerjaan ringan. Butuh dukungan penuh dari kita semua yang menaruh keinginan agar alam bisa terus lestari.

Heru Ismantoro
Heru Ismantoro
Jurnalis yang mempunyai concerns terhadap isu-isu lingkungan hidup. Saat ini terlibat dalam penelitian media sosial bersama Universitas Utrecht Belanda. Sedang menempuh S2 Ilmu Lingkungan di Universitas Sebelas Maret Solo
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.