Barangkali, Karl Marx dengan teori kelasnya memang telah dikenal cukup luas sebagai agenda utama dalam mengkonstruksi gagasan sosialismenya. Melalui konsepsi tersebut, Marx mengandaikan terciptanya tatanan kehidupan sosial yang ideal; yang bergerak berdasarkan kepada kepentingan bersama, dan cita-cita kolektif melalui tatanan kehidupan “masyarakat tanpa kelas”.
Sekalipun dinilai cenderung utopis, cita-cita sosialisme setidaknya telah memberikan pesan moral melalui rasa pedulinya terhadap masalah keadilan. Keberpihakan dan pembelaan terhadap kaum yang tertindas, rakyat yang lemah, dan golongan fakir-miskin menjadi agendanya demi memperbaiki struktur sosial yang lebih baik.
Pun demikian, adakah sebenarnya sikap tersebut hanya dimonopoli oleh pihak Sosialisme-Marxian? Dengan kata lain, untuk menaruh simpati dan memperjuangkan hak-hak kalangan yang tertindas haruskah menjadi sosialisme terlebih dahulu? Tidak adakah gerakan ataupun ideologi sebelumnya yang merepresentasikan aspirasi yang sama dengan sentuhan khasnya tersendiri?
Padahal, dalam perspektif yang lebih luas dan holistik, eksistensi Islam semenjak fajar kemunculannya telah memiliki peranan yang begitu besar; dalam mendobrak ragam lapisan despotisme dan bentuk ketimpangan sosial.
Suatu ketika di Mekkah, Rasulullah Saw di awal pengangkatannya sebagai nabi didatangi oleh seorang Arab badui yang telah mendapat informasi tentang sosok nabi yang mulia. Arab badui tersebut dengan segera menyapanya dalam sejumlah bentuk pertanyaan; “engkau ini apa?”, “siapa yang mengutusmu?”, dan “untuk apa kamu diutus?”
“Rasulullah” dan “Allah” jawab nabi Muhammad Saw singkat terhadap dua pertanyaan yang pertama. Adapun yang terakhir, Rasulullah memberikan jawaban yang cenderung diplomatis dan memiliki muatan filosofis. Pertama kata nabi aku diutus untuk menyambung silaturahmi, kemudian menjaga pertumpahan darah, mengamankan jalan, meruntuhkan berhala dan menyembah Allah Swt yang Esa (HR. Ahmad 17057).
Pendahuluan terhadap tiga perkara awal (silaturahmi, melindungi darah, dan mengamankan jalan); sebagaimana ungkap Habib Ali al-Jefri dalam karyanya al-Insaniyah Qabla al-Tadayyun mencerminkan perhatian besar Islam terhadap polemik sosial selain mengemban misi tauhid. Kecermatan Nabi Muhammad dalam memberikan jawaban berdasarkan keperluan realitas sosial inilah menjadikan si Arab badui masuk Islam.
Jika ditinjau dari kaca mata antropologis dan filosofis, potret sosialisme religius Islam mengakar kuat dalam pelbagai bentuk ajarannya. Hal tersebut seperti makna menahan lapar puasa, fungsi zakat, haji sebagai momen bertemunya antar sesama muslim dan lainnya.
Dalam memperjuangkan keberadaan tatanan sosial-ekonomi yang ideal, selain zakat praktik berkurban juga memiliki peranannya yang terejawantahkan dalam ajaran Islam itu sendiri. Sebagaimana yang tengah dijalani oleh umat Islam saat ini, ibadah kurban sepatutnya dijadikan sebagai momentum dalam menggali, menelusuri dan menghayati kembali pesan dan nilai sosial didalamnya.
Praktik kurban adalah bagian kecil daripada ekspresi “masyarakat tanpa kelas”. Artinya, masyarakat terlepas dari pada status sosialnya; baik itu kaya atau miskin menemukan titik persamaan melalui momentum hari tersebut. Kepulan asap di dapur rumah orang miskin, setidaknya sama aromanya “daging kurban” dengan kesehariannya di rumah si kaya.
Selain itu, daging kurban dari filosofi pembagiannya menunjukkan potret kecil keberadaan harta sebagai milik bersama. Bagi yang berkurban, daging tersebut juga dibolehkan untuk diambil sebagian untuknya, selain disalurkan terutama untuk kalangan fakir miskin. Hal tersebut ditunjukkan oleh penggalan makna surah Al-Hajj ayat 28 “maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang sengsara dan fakir”.
Perintah berkurban adalah simbol kritik sosial. Artinya, ibadah kurban sebagai upaya dalam meruntuhkan egoisme struktur kelas sosial antara kamu “yang miskin” dengan aku “yang kaya” menjadi kita “kebahagiaan kolektif”. Aspek kritik sosial melalui perintah berkurban tersirat dalam surah Al-Kautsar berdasarkan kaitannya dengan surah sebelumnya. Dalam al-Qur’an, kedudukan surah Al-Kautsar yang mengandungi ayat perintah berkurban terletak setelah surah Al-Ma’un.
Menurut ahli tafsir, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Fakhruddin al-Razi dalam kitab tafsirnya Mafatih al-Ghaib bahwa surah Al-Kautsar dipertemukan (muqabalah) ataupun respon terhadap surah sebelumnya. Empat karakter munafik yang disebutkan dalam surath Al-Ma’un kemudian dipertemukan dalam surah Al-Kautsar dengan empat karakter lainnya dalam bentuk kritikan ataupun antitesis.
Pertama; pemberian harta yang berlimpah, merupakan kritikan terhadap kebakhilan dari penggalan makna ayat“menghardik anak yatim dan tidak mendorong memberi makan orang miskin”. Kedua; Perintah salat, sebagai kritikan dari maksud ayat “orang-orang yang lalai terhadap salatnya”.
Ketiga; Ikhlas untuk Allah Swt, kritikan terhadap kandungan ayat“orang-orang yang berbuat ria”. Keempat; berkurbanlah, kritikan terhadap kandungan ayat dalam surah sebelumnya“orang-orang yang enggan memberikan bantuan”.
Perintah untuk memberi makan orang-orang miskin, bersikap baik terhadap anak-anak yatim, dan peka terhadap kondisi orang-orang yang memerlukan pertolongan; menunjukkan betapa Islam peduli terhadap realitas sosial masyarakat. Meminjam istilah Muhammad ‘Imarah, Islam adalah agama untuk bersama-sama “jama’ah” (al-Islam wa al-Amn al-Ijtima’i 1998). Artinya, cita-cita yang diperjuangkan dalam Islam adalah untuk kepentingan kolektif.
Kepemilikan harta dan kekayaan dalam pandangan Islam bersifat pertengah-tengahan (moderat). Ia tidak bersifat individual layaknya Fir’aun atau Qarun. Dan juga bukan berdasarkan struktur kelas, layaknya kaum borjuis (kelas atas pemilik modal) dengan proletariat (kelas sosial rendah). Islam berpegang kepada ekspresi Al-Qur’an pada istilah “Hak” orang-orang yang tidak memiliki terhadap yang memiliki harta, “dan orang-orang dalam hartanya memiliki hak tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan yang tidak meminta” (Al-Ma’arij 24-25).
Menariknya, nilai-nilai sosial sebagaimana dalam praktik berkurban tidaklah dimaknai dalam spektrum yang sempit. Aspek sosial yang mendapat perhatian besar dalam Islam, namun kenyataan tersebut bukanlah bermuara kepada apa yang disebut oleh Abdul Jabbar al-Rifa’i dengan kekeringan pada aspek metafisika (al-Din wa al-Zama’ al-Ontolojiya 2016).
Kurban sehingga dalam hal ini merupakan manifestasi dari pada ketakwaan sosial. Artinya, kurban sebagai bentuk kepekaan sosial tidak terlepas pertumbuhan dan perkembangannya dari asuhan spiritual keagamaan. Ia berangkat dari kesadaran akan perintah agama terhadap tanggung jawab sosial.
Wajah moderasi risalah Islam sehingga ditunjukkan oleh sikap yang mementingkan kedua aspek. Hal tersebut baik dalam konteks ketakwaan individual (habluminallah) atupun ketakwaan sosial “habluminannas”.
Hubungan sosial seperti dalam praktik berkurban sehingga tidak dipahami hanya pada aspek materialis, tetapi menyelaras dalam upaya membumikan pesan langit.Memupuk praktik sosial dengan spirit keagamaan adalah sebagai cerminan dari upaya keberadaan sosialisme religius.