Jumat, April 26, 2024

Anti-Intelektualitas dan Anti-Tradisi Kaum Radikal

Abid Rohmanu
Abid Rohmanu
Dosen Pascasarjana IAIN Ponorogo dan Ketua PC ISNU Ponorogo

Belum lama ini kita dipilukan untuk kesekian kali oleh peristiwa pengeboman dan penembakan di Masjid Al-Rawdah, Bir al-Abed, Provinsi Sinai Utara, Mesir. Peristiwa terjadi pada Jum’at, 24 Nopember 2017 dengan korban meninggal 235 (Kompas online).

Satu sumber menyatakan bahwa masyarakat muslim pernah diperingatkan oleh kelompok radikal  untuk tidak membantu pasukan keamanan dan tidak melakukan ritual sufisme untuk memperingati Maulid Nabi saw. (kriminologi.id).

Peringatan maulid bagi kaum radikal adalah tradisi yang dinilai bid’ah (dhalalah). Kaum radikal cenderung tidak toleran terhadap semua tradisi yang dinilai bertentangan dengan paradigm teologis mereka. Cepat atau lambat, semua tradisi yang dinilai bid’ah akan dihancurkan dengan berbagai dalih.

Karakter anti-tradisi kaum radikal berpasangan dengan semangat anti-intelektual. Karena “penerimaan” terhadap tradisi mengandaikan adanya dialektika agama dan realitas yang meniscayakan rasionalitas. Sementara agama bagi kaum radikal harus suci dari intervensi budaya, harus bersifat tetap, dan sederhana.

Terlalu rumit bagi kaum radikal untuk memahami secara rasional antara agama sebagai keyakinan dengan agama yang telah mengejawantah dalam praktek-praktek yang bersifat sosiologis.  Tulisan ini secara khusus akan menyoroti sikap anti-intelektual dan anti-tradisi kaum radikal. Kedua sikap ini secara nyata berseberangan dengan fakta historis tradisi dan pemikiran Islam.

Anti-intelektualitas kaum radikal terlihat dari kebencian mereka terhadap berbagai upaya penalaran keagamaan (ijtihad). Padahal ijtihad adalah metode dan sumber keilmuan Islam yang telah dikenal sejak abad pertengahan Islam.

Di sisi yang lain, walaupun mereka selalu menggunakan kata kunci “tradisi” dalam menggelorakan ideologi mereka, sesungguhnya kaum radikal terbukti lebih bertendensi pada sikap-sikap anti-tradisi,  yakni tidak respek terhadap dimensi historisitas Islam, apalagi yang dinilai tidak bersimbol Islam.

Anti-intelektualitas kaum radikal adalah konsekuensi dari “kegagalan” mereka merekonsialisi agama dan realitas budaya dan kemanusian.  Agama adalah sakral dan abadi,  maka agama harus dibedakan dari “pengetahuan keagamaan” (separate entities).

Sebaliknya kaum radikal mempunyai pemahaman yang tumpang tindih antara agama dan pengetahuan keagamaan,  antara teks dan tafsir terhadap teks. Mereka sering kali menilai tafsir keagamaan sebagai agama itu sendiri. Berkaitan dengan hal ini, menarik penegasan Abdolkarim Soroush bahwa Muhammad adalah nabi terakhir dan Islam adalah agama pamungkas.

Tetapi menurutnya tidak ada mufassir atau mujtahid terakhir. Artinya agama, wahyu, dan teks memang sudah final, akan tetapi pemahaman dan tafsir keagamaan tidak mengenal kata henti. Ia akan selalu dinamis mengikuti realitas kemanusiaan yang selalu berkembang.

Kaum radikal hanya mengenal dua sumber pengetahuan, yakni al-Quran dan Hadis. Tradisi kesarjanaan muslim yang berkembang berabad-abad dinilai sebagai ekstra-skriptural, yakni bersifat tidak mengikat dan bahkan cenderung dinafikan.

Inilah kemudian yang menjadikan mereka miskin basis teks dan basis intelektual. Dalam tradisi kesarjanaan Islam, sumber pengetahuan tidak saja al-Quran dan Hadis, akan tetapi juga dikenal sumber metodologis, yakni ijtihad. Ijtihad pun mempunyai corak metodologis yang variatif sesuai dengan background epistemis yang mengitari sang penafsir teks.

Secara umum misalnya dikenal dalam sejarah dan tradisi kesarjanaan hukum Islam mazab ahl al-hadits dan ahl al-ra’y.  Ahl al-hadis dalam hal ini lebih terikat terhadap teks dalam metodologi mereka karena mereka berada di wilayah sumber dan gudang teks, yakni Hijaz atau Madinah. Sementara ahl al-ra’y lebih mengutamakan penalaran terhadap teks dalam metodologi ijtihad mereka karena mereka jauh dari sumber teks, yakni wilayah Irak.

Teks al Quran mempunyai kandungan yang bersifat epistemik dan doktrinal. Sementara kaum radikal cenderung selektif membaca teks dan memahami teks dalam bentuk perintah-perintah yang bersifat praktis semata, utamanya berkaitan dengan perintah memerangi orang orang kafir. Kaum radikal menyederhanakan teks al Quran dan Hadis dalam bentuk perintah-perintah ibadah dan hukum (ritual dan legal).

ibadah dalam Islam adalah bersifat baku, tidak ada penalaran dan modifikasi (ma ‘ulima min al-al din bi al-dharurah). Sementara aspek hukum dalam Islam dipahami oleh kaum radikal dengan corak teosentris, yakni semuanya dipahami dari sudut Tuhan dan mengabaikan tujuan hukum Islam merealisasikan kemaslahatan manusia.

Model pembacaan  di atas menurut Soroush mudah tergelincir pada apa yang disebut dengan Islam of identity (Islam identitas). Soroush dalam hal ini membedakan Islam of identity dengan Islam of truth (Islam subtansial). Islam identitas cenderung memusuhi kelompok dengan identitas yang berbeda.

Sementara Islam subtansial cenderung bisa berkoeksistensi dengan kelompok lain yang membawa pengetahuan/kebenaran yang berbeda. Bagi kelompok subtansialis,  identitas dan baju tidak dinilai sebagai sesuatu yang harus diperjuangkan terhadap kelompok lain. Karena itu Islam subtansialis lebih adaptif terhadap realitas kemajemukan dan realitas tradisi.

Islam di Indonesia sekarang ini sedang kerasukan Islam identitas. Identitas keagamaan bukannya sama sekali tidak penting, karena identitas adalah kebutuhan setiap individu. Bahkan salah satu fungsi agama adalah fungsi identitas. Tetapi identitas yang mengerdilkan subtansi kebenaran tentu patut dipertanyakan.

Dari kacamata sosiologis, identitas Islam yang dipegang teguh tanpa toleransi terhadap identitas lain cenderung menimbulkan konflik horizontal. Klaim-klaim kebenaran yang menyangkut keyakinan keagamaan sewajarnya tidak dibawa-bawa pada ranah publik. Klaim-klaim ini harus dikontrol dengan bijak agar tidak terjadi gesekan dengan agama, kelompok, dan mazhab lain.

Dalam konteks keindonesiaan yang penuh dengan kemajemukan, menurut penulis penting untuk menampilkan Islam subtansial, utamanya pada wilayah publik. Wilayah publik menghendaki nalar publik yang bersifat universal. Nalar publik keagamaan menghendaki obyektifikasi ajaran Islam, bukan identitas dan simbol keagamaan yang sensitif terhadap konflik dan perpecahan.

Biarkan identitas lebih banyak pada wilayah yang bersifat privat. Ini semua tidak bermaksud untuk mereduksi agama, tetapi memposisikan agama secara tepat dalam kehidupan dan menjaganya dari eksploitasi untuk kepentingan yang tidak bertanggung jawab. Nalar publik keagamaan dan Islam subtansial inilah yang diharapkan bisa menggelorakan dinamika ilmu pengetahuan (Islam), merawat tradisi sebagai identitas budaya bangsa dan sekaligus membingkai realitas kemajemukan dengan kalimat al-sawa. Wallah a’lam.

Abid Rohmanu
Abid Rohmanu
Dosen Pascasarjana IAIN Ponorogo dan Ketua PC ISNU Ponorogo
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.