Di awal kemerdekaan bangsa Indonesia, peran TNI menjadi sentral dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Nomenklatur militer dalam mempertahankan keamanan negara di tetapkan oleh sukarno melalui peraturan presiden nomor 24 tahun 1947 yang mengesahkan berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang kita kenal sampai sekarang.
Semenjak itu, para perwira dan prajurit pun sudah memiliki jasa dalam membentuk organisisasi kemasyarakatan contoh saja Pemuda Pancasila yang di bentuk A.H Nasution yang bertipe paramiliter, Kolonel Sugandhi ememimpin MKGR dan Kolonel Mas Isman mendirikan Kosgoro.
Peran yang di inginkan militer pun ingin menjadi bagian dari masyarakat sipil dengan masuk melalui lembaga kemasyarakatan, bahkan di tubuh struktur TNI pun ada Bintara Bina Desa (babinsa) yang dapat melibatkan diri dalam kegiatan masyarakat. Oleh karenanya seakan akan TNI selalu ingin mengambil segala kegiatan di ranah publik.
Kekhawatiran TNI merambah dunia sipil di tandai dengan penetapan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 37 Tahun 2019 tentang Jabatan Fungsional Tentara Nasional Indonesia (TNI) oleh presiden Jokowi.
Pegawai Fungsional TNI ini yang dapat melibatkan kegiatan di persendian masyarakat, sebagai contoh pegawai fungsional ASN seperti Dosen, tenaga kesehatan, peneliti, dokter dapat dijalan juga oleh TNI. Ranah publik dan sipil yang diambil oleh militer ini akan menyebabkan kontrol sipil terhadap militer menjadi rendah. Istilahnya militer dapat menjadi sipil tetapi sipil belum tentu militer.
Sebanarnya kita harus membedakan apa yang menjadi ranah publik dan militer. Ranah publik dalam konteks institusi tentu saja tujuan utamanya adalah memberi pelayanan kepada publik.
Misalnya, pegawai ASN fungsional menjalankan fungsinya mengajar seperti dosen dan guru, tenaga kesehatan yang melayani masyarakat agar tetap sehat. Sedangkan, tugas utama dari militer sendiri adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Walaupun terdapat juga Operasi Militer Selain Perang (OMSP) namun perannya diperlukan ketika terjadi bencana serta bantuan kemanusiaan dan membantu tugas polisi dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.
Posisi militer diperlebar bukan di perjelas perannya, jabatan Fungsional ini pun lari dari kenyataan dari tugas pokok TNI sendiri, keluar dari struktur dan menjalan berdasarkan fungsinya di masyarakat dan dapat kembali menjadi bagian dari struktur TNI begitulah isi Perpresnya.
ASN memang sering berganti antara pegawai fungsinal ke struktural, contoh dosen menjadi dirjen karena meraka adalah civil servant yang melayani kebutuhan publik. Keadaan tidak adil adalah ASN tidak dapat berkecimpung di dunia militer, inilah salah satu ketidak adilan jika militer dapat melakukan fungsi di kehidupan masyarakat secara langsung.
Dalam hal menjalankan tugas pokoknya TNI meruapakan bagian dari suprastuktur negara sedangkan masyarakat dan civil society adalah bagian dari infrastruktur negara. Sehingga, intitusi TNI pun diawasi oleh masyarakatkat sipil dan di negara demokrasi seperti ini TNI harus tunduk dengan keinginan publik . Bila lembaga yang diawasi malah menjadi bagian dari yang mengawasi yang di khawatirkan terjadi abuse of power di dalam tubuh militer yang selalu mengutakan kekerasan dan paksaan dalam menjalani tugasnya.
Proses pendidikan militer dan sipil berbeda, nilai dan norma yang di tuju pun berbeda. Ketika seorang prajurit di terima maka mereka terikat kontak dan dilatih fisiknya sangat keras, tangan yang selalu push up di aspal, lari setiap hari, ditempa mentalnya, bahkan di Pontianak seorang prajurit harus meninggal karena terlalu lelah berlari tanpa ada medis di sekitarnya, teman-temannya mininggalkannya sendiri di tengah hutan dan ia pun meninggal, apakah ini yang ingin di terapkan di masyarakat kita?
Mungkin dalam kondisi berperang dan menjaga keamanan negara sangat di perlukan tetapi masyarakat sipil berbeda, meraka lebih dinamis dalam berinteraksi dan bersikap antar sesama dan terlebih lagi pola pendidikan yang ingin dibagun adalah pendidikan kritis sehingga anak muda pada masa depan terbiasa melakukan diskusi intelektualnya. Sehingga, sebenarnya dari input SDM-nya pun kita dapat melihat dengan jelas tujuan utama yang ingin di capai oleh militer dan sipil berbeda.
Tagline HUT TNI pada 2017 adalah “Bersama rakyat TNI kuat” ini menjukan unsur utama dalam militer adalah rakyat, rakyatlah yang selalu mengelilingi masyarakat. Bila dibayangkan terdapat lingkaran bulat besar yang diluarnya adalah rakyat yang memiliki latar belakang berbeda-beda dan TNI yang berada di tengah dengan pakaiaan hijaunya sebagai inti dari pertahanan, bila baju-baju hijau itu berbaur maka tidak adalah corak hijau di tengah.
Selain itu, di negara demokratis seperti ini, militer merupakan bagian eksekutif dalam pertahanan negara, presiden adalah bosnya yang mendapat wewenang karena di pilih rakyat dalam menjalankan fungsinya. Bila militer melakukan tugas sipil dapat melanggar struktur negara, karena peran dan tugas sudah jelas antara TNI dan ASN dalam menjalankan tugasnya masing-masing sebagai pembantu presiden.
Pertanyaan selanjutnya, jika prajurit dan perwira yang terlibat di ranah public dan melawan hukum, apakah fair jika diadili melalui pengadilan milter, bukan pengadilan umum saja? Di kotomi antara sipil dan militer dalam peradilan di Indonesia sudah jelas.
Alasan utama memisahkan peradilan umum dan militer karena dalam melakukan didikannya selalu menanamkan norma-norma khusus yang di persiapkan untuk pertempuran sehingga terdapat suatu kewajaran di militer dan tidak wajar di masyarakat sipil. Lah, terus mengapa militer ingin melaksanakan kegiatan sipil?