Senin, November 10, 2025

Antara Prestasi dan Kesetiaan: Parameter Kabinet Demokratis

Edy Suhardono
Edy Suhardono
Dr. Edy Suhardono, M.Psi. Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya berjudul “Teori Peran, Konsep, Derivasi dan Implikasi di Era Transformasi Sosio-Digital” (Sidoarjo: Zifatama Jawara, 2025) dan buku yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial.com.
- Advertisement -

Dalam setahun terakhir, publik Indonesia menyaksikan reshuffle kabinet yang datang silih berganti—cepat, kadang mengejutkan, dan sering kali tanpa penjelasan yang memadai. Nama-nama baru bermunculan, sementara beberapa tokoh lama menghilang dari panggung tanpa aba-aba. Di tengah perubahan ini, satu pertanyaan menggantung di udara: apakah ini bagian dari strategi peningkatan kinerja, atau sekadar manuver politik?

Pertanyaan itu membawa kita pada dilema klasik: antara meritokrasi dan kohesi. Di atas kertas, meritokrasi terdengar ideal. Ia menjanjikan bahwa siapa pun yang bekerja keras dan berprestasi akan mendapat tempat yang layak dalam struktur kekuasaan. Namun, seperti yang dikritik Michael J. Sandel dalam The Tyranny of Merit, sistem ini bisa menjadi tirani ketika kesuksesan dianggap semata hasil usaha pribadi. Mereka yang gagal sering kali dipandang tidak cukup layak, tanpa mempertimbangkan ketimpangan sistemik yang membatasi langkah mereka sejak awal.

Di Indonesia, ketimpangan itu bukan sekadar teori. Data dari Asia Pacific Forum on Women, Law and Development (2022) menunjukkan bahwa akses terhadap pendidikan, pekerjaan, dan jaringan sosial masih sangat dipengaruhi oleh faktor ekonomi, gender, dan lokasi. Jika seleksi menteri hanya mengandalkan CV dan gelar akademis, kita berisiko mengabaikan individu dari kelompok marginal yang justru memiliki pengalaman nyata dan empati sosial yang tinggi.

Meritokrasi yang sempit cenderung melahirkan kabinet homogen: lulusan universitas ternama, mantan birokrat, dan teknokrat dengan cara berpikir seragam. Padahal, seperti diingatkan John Rawls dalam A Theory of Justice, ketimpangan hanya dapat dibenarkan jika menguntungkan mereka yang paling kurang beruntung. Maka, definisi prestasi perlu diperluas. Prestasi bukan hanya soal angka dan gelar, tetapi juga kemampuan beradaptasi, mendengarkan suara minoritas, dan memahami kompleksitas sosial.

Dalam praktiknya, ini berarti membuka ruang bagi individu yang mungkin tidak memiliki gelar bergengsi, tetapi aktif dalam advokasi, komunitas, dan komunikasi lintas kelompok. Seorang pemimpin yang peka terhadap kebutuhan akar rumput bisa lebih relevan daripada teknokrat yang hanya mahir membaca laporan.

Kohesi yang Menjadi Rintangan

Di sisi lain, kohesi dalam kabinet punya peran penting. Ia memastikan bahwa para menteri bekerja secara sinkron, mencegah konflik internal, dan menjaga stabilitas pemerintahan. Prinsip servant leadership mengajarkan bahwa pemimpin bukanlah penguasa tunggal, melainkan fasilitator yang menyatukan beragam pandangan. Seperti konduktor orkestra, mereka harus mampu mengatur keragaman agar menghasilkan simfoni yang harmonis.

Namun, kohesi yang berlebihan bisa menjadi jebakan. Budaya groupthink—di mana kritik ditekan demi citra persatuan—dapat melahirkan keputusan keliru yang disepakati semua pihak. Kohesi yang sehat seharusnya menciptakan ruang diskusi dan perbedaan pendapat. Pemimpin yang sukses bukan hanya menyatukan suara, tetapi juga merayakan variasi. Dalam konteks kabinet, ini berarti memberi tempat bagi menteri dengan pemikiran berbeda, selama tetap berada dalam kerangka visi bersama.

Kohesi bukanlah keseragaman, melainkan kesamaan pemahaman. Bukan tentang meredam suara berbeda, tetapi menyelaraskan nada beragam untuk menciptakan harmoni yang bermakna. Dalam sistem demokrasi, perbedaan adalah fondasi kebijakan inklusif. Kabinet yang terlalu homogen kehilangan resonansi sosial yang lebih luas.

Jalan Tengah yang Dapat Dipercaya

Di tengah tarik-menarik antara meritokrasi dan kohesi, dibutuhkan keberanian untuk menyatukan keduanya. Pertama, seleksi menteri harus dilakukan secara transparan dengan definisi prestasi yang inklusif. Ini mencakup pendidikan dan jabatan, tetapi juga pengalaman advokasi, keterlibatan komunitas, dan keterampilan komunikasi antar kelompok.

Kedua, kohesi harus dibangun di atas visi dan tujuan bersama, bukan keseragaman pola pikir. Pemimpin perlu menciptakan forum kabinet yang terbuka dan kritis, di mana perbedaan pendapat dianggap sebagai kekuatan, bukan ancaman. Ini akan memperkaya proses pengambilan keputusan dan memperkuat legitimasi kebijakan.

- Advertisement -

Ketiga, yang paling penting adalah membangun kepercayaan politik. Ketika masyarakat yakin bahwa pembentukan kabinet berlangsung adil dan inklusif, keputusan yang diambil—meski tidak populer—akan lebih mudah diterima. Kepercayaan ini menjadi jembatan antara pemerintah dan rakyat, antara pelaku dan penikmat dalam konser demokrasi.

Kepemimpinan demokratis menuntut kemampuan menyeimbangkan dua hal besar: meritokrasi dan kohesi. Tanpa kohesi, meritokrasi menjadi orkestra musisi solis yang sibuk menunjukkan keahlian pribadi tanpa memperhatikan keseluruhan lagu. Sebaliknya, kohesi tanpa meritokrasi menghasilkan kerumunan suara yang bising namun kehilangan arah.

Maka, saat publik menyaksikan reshuffle kabinet, pertanyaan yang lebih penting bukanlah siapa yang masuk dan keluar. Yang krusial adalah: apakah kita sedang melihat seorang konduktor yang menyusun ulang orkestra demi simfoni yang lebih baik, atau hanya menyaksikan pertunjukan “kursi musik” di mana loyalitas lebih diutamakan daripada melodi, dan harmoni sejati dikorbankan demi sorak-sorai palsu dari koalisi?

Edy Suhardono
Edy Suhardono
Dr. Edy Suhardono, M.Psi. Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya berjudul “Teori Peran, Konsep, Derivasi dan Implikasi di Era Transformasi Sosio-Digital” (Sidoarjo: Zifatama Jawara, 2025) dan buku yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial.com.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.