Di masa lalu, politik dan teologi memiliki keterkaitan erat. Para pemimpin politik sering mengklaim bahwa politik juga merupakan bentuk lain dari ketaatan kepada Tuhan; di mana kegagalan politik diyakini sebagai akibat dari ketidak-ridaan Tuhan, sementara kemajuan politik dianggap sebagai berkah dari Tuhan atau dewa.
Namun kini di era modern, pekerjaan pemerintahan atau politik tidak lagi dipandang sebagai bagian dari gerak eksistensi gaib tersebut, tetapi sudah dianggap sebagai pekerjaan yang murni bersifat duniawi. Teknologi pun mulai diperkenalkan dalam upaya untuk menghadirkan ketepatan dan efisiensi dalam pekerjaan pemerintah.
Dahulu, revolusi teknologi informasi dan komunikasi biasanya diiringi dengan revolusi politik. Pada abad ke-20, birokrasi dan teknologi mulai berkembang dan saling beriringan sehingga pemerintah semakin bergantung pada – bagaimana cara mengumpulkan dan menyimpan informasi yang lebih efektif melalui teknologi.
Tak terkecuali demokrasi. Internet saat ini pun telah menyebabkan demokrasi berkembang dalam berbagai caranya, seperti: bagaimana partai memobilisasi aktivis, bagaimana mengumpulkan sentimen publik, bagaimana masyarakat berinteraksi dengan politisi dan melobi pemerintah, dan lain sebagainya.
Nampaknya internet dan sistem AI-nya kini telah merevolusi sifat demokrasi. Searah dengan itu, kini banyak platform digital atau media-media yang bermunculan (terutama media online) – yang ikut berkontribusi dalam demokrasi meskipun kebanyakan dari media tersebut adalah swasta.
Di satu sisi ini memang menguntungkan, tetapi risikonya juga jelas: polarisasi algoritmik yang mengakibatkan fragmentasi sosial dan masifnya “berita-berita palsu”. Sumber lain dari kekhawatiran ini juga mungkin berasal dari kekuatan untuk memutuskan siapa yang dapat berpartisipasi dalam proses demokrasi – dan siapa yang dilarang.
Dengan kemajuan teknologi saat ini, terutama dalam majunya kecerdasan buatan, adalah mungkin manusia tidak akan lagi menjadi satu-satunya peserta dalam pengambilan keputusan dan bahkan proses demokrasi mereka. Kecerdasan buatan – chatbot, misalnya – mampu melakukan percakapan, memberi saran, dan memutuskan sesuatu menggunakan bahasa yang sama seperti manusia.
Saya mengaminkan bahwa mungkin benar bahwa teknologi AI ini tidak “berpikir” seperti manusia, tetapi sistem ini memiliki dampak yang cukup besar pada kehidupan kita. Bagaimanapun, akhir-akhir ini, algoritma sering membantu kita dalam ‘mengambil’ keputusan-keputusan sulit;
Mesin rekomendasi membantu kita mencari tiket-tiket penerbangan paling murah, asuransi kendaraan terbaik, paket telepon pintar paling optimal, menampilkan iklan berbagai produk yang sebelumnya tak kita sangka kita butuhkan, mencarikan kita buku yang seru untuk dibaca, film untuk ditonton, memberikan saran kado spesial, dan membuatkan daftar putar lagu musisi kesukaan kita.
Dalam kasus yang sama, wacana politik global pun demikian. Kembali ke tahun 2016, misalnya, sekitar 20% dari tweet yang membahas pemilihan presiden Amerika, dan 30% lalu lintas Twitter menjelang pemungutan suara dihasilkan oleh entitas ‘bukan’ manusia, dalam hal ini AI. Tidak dapat dipungkiri bahwa big data dan kecerdasan buatan telah mengubah banyak aspek kehidupan saat ini. Itulah rahasia di balik kemenangan Trump dalam Pemilu 2016.
Penting untuk diketahui pula bahwa mungkin saja kecerdasan buatan di masa depan akan dapat berunding, beargumentasi, atau bahkan berdebat dengan cara yang dapat menyaingi – atau bahkan melebihi – manusia. Tidak sulit untuk membayangkan bagaimana kecerdasan buatan (AI) di masa depan dapat melampaui kemampuan kita dalam berdebat, bermusik, dan/atau bahkan memutuskan sesuatu.
Tentu saja ada kekhawatiran umum bahwa sistem tidak boleh secara independen membuat keputusan, lebih-lebih keputusan moral. Saya kira, kita belum dapat menciptakan sistem AI yang otonom secara moral, tetapi kebutuhan akan transparansi dan akuntabilitas akan terus tumbuh sejalan dengan seberapa jauh teknologi kita akan berkembang.
Meskipun tak jarang para ilmuwan mengatakan bahwa keputusan yang AI ambil kerap di luar kendali mereka. Bahkan ilmuwan terbaik pun kesulitan untuk menjelaskan mengapa AI kadang melakukan apa yang mereka lakukan. Jika demikian, bukankah kita memiliki alasan yang kuat untuk menolak sistem seperti itu dalam administrasi publik?
Satu keprihatinan lain adalah bahwa dengan mengganti birokrasi dengan teknokrasi itu kemungkinan besar akan menghilangkan “sentuhan manusiawi” dalam interaksi sosial masyarakat.
Orang mungkin meragukan apakah birokrasi (terutma sebagaimana yang dipahami Weber) itu sendiri sudah sangat manusiawi? Banyak organisasi pemerintahan, apalagi birokrasi swasta tidak cukup membantu pekerjaan kita.
Di sisi lain sekarang banyak orang yang lebih memilih efisiensi dan ketepatan daripada sentuhan manusia. Saya lebih suka berbelanja online yang mana pembayaran saya dibayarkan tepat waktu oleh sistem algoritma tanpa wajah dan identitas itu daripada manusia ramah namun tidak kompeten.
Wilayah lain di mana teknologi diharapkan dapat mengubah kerja pemerintahan sendiri adalah dalam penegakan hukum. Banyak kritik yang difokuskan pada masalah pengawasan dan pengumpulan data. Tetapi terlepas dari itu semua, masalah terbesarnya adalah bahwa ketika kita semakin mengandalkan teknologi AI untuk kebutuhan dasar kita sehari-hari, kita akan semakin tunduk pada aturan atau hukum (algoritma) yang ada dalam teknologi tersebut.
Telah lama diakui oleh para ahli hukum bahwa di “dunia maya”, kode atau algoritma adalah hukum itu sendiri. Aturan yang terkandung dalam algoritma biasanya berdiri sebagai hukum yang berfungsi untuk membatasi tindakan yang tidak akan dapat dilanggar. Facebook tidak dapat diakses tanpa password yang benar; tweet tidak boleh lebih dari 280 karakter dan sebagainya. Oleh karena itu, algoritma kemungkinan besar akan menjadi bentuk kekuatan hukum baru di mana setiap orang akan menggantungkan harapan dan keputusan mereka.
**
Perjalanan umat manusia ke masa depan mungkin akan menandai pembalikan sekaligus kemajuan. Kita akan bergerak maju dan kembali ke masa di mana kita mempercayakan urusan politik dan keputusan-keputusan kita kepada kekuatan misterius (bukan Tuhan, tapi sistem algoritma) yang cara kerjanya tidak dapat kita pahami sebagaimana kita tidak memahami entitas-entitas gaib.
Konsekuensinya tentu tidak muluk tentang baik atau buruk. Ini hanya tentang bagaimana menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: untuk apa sistem ini diciptakan? Siapa yang akan memiliki atau mengendalikannya? Dan sampai sejauh mana kehidupan kita harus diatur oleh sistem ini? Inilah pertanyaan-pertanyaan utama kita saat ini.