Seiring dengan kemajuan teknologi dan perubahan besar dalam dunia kerja, ekonomi gig semakin meluas di berbagai sektor di Indonesia. Aplikasi digital seperti Gojek, Tokopedia, dan berbagai platform freelance online memberikan kesempatan bagi banyak orang untuk bekerja secara mandiri dengan jam kerja yang lebih fleksibel. Fenomena ini semakin relevan, terutama setelah pandemi COVID-19 yang mendorong banyak orang mencari alternatif pekerjaan yang lebih fleksibel. Di Indonesia, terdapat sekitar 430 ribu hingga 2,3 juta orang yang menjadikan pekerjaan gig sebagai mata pencaharian utama, atau setara dengan 0,3-1,7% dari seluruh angkatan kerja (Izzati dkk., 2024).
Namun, meskipun ekonomi gig menawarkan kebebasan bagi pekerja untuk mengatur waktu dan pekerjaan mereka, masih ada tantangan besar seperti ketidakpastian penghasilan dan kurangnya perlindungan sosial. Isu ini sangat penting untuk dibahas, karena semakin banyak orang yang mengandalkan pekerjaan gig sebagai sumber utama penghasilan mereka. Penulis berpendapat bahwa meskipun ekonomi gig membuka peluang baru, sistem ini membutuhkan peraturan yang lebih jelas dan perlindungan yang lebih baik agar pekerja dapat merasa lebih aman dan sejahtera.
Apa Itu Ekonomi Gig dan Bagaimana Perkembangannya?
Ekonomi gig adalah sistem kerja di mana seseorang menyelesaikan tugas atau proyek jangka pendek tanpa kontrak tetap, bekerja untuk beberapa klien atau perusahaan melalui platform digital, dengan fleksibilitas tinggi tetapi tanpa kepastian pendapatan atau manfaat seperti pekerjaan tetap (Faqih, 2024).
Di Indonesia, tren ini semakin populer berkat kehadiran layanan seperti Gojek, Grab, serta platform pekerja lepas seperti Sribulancer dan Upwork. Bagi mereka yang menginginkan pekerjaan dengan jam kerja fleksibel—misalnya pengemudi, desainer grafis, atau content creator—ekonomi gig menjadi pilihan yang menarik.Keberadaan platform digital telah mengubah cara kerja yang dulu mengandalkan kontrak tetap.
Jika sebelumnya seseorang harus bekerja di kantor dengan jam kerja yang kaku, kini mereka bisa bekerja dari mana saja dan memilih sendiri proyek yang ingin dikerjakan. Di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, ekonomi gig bahkan menjadi sumber pendapatan utama bagi jutaan orang. Perusahaan seperti Uber dan Fiverr mendominasi industri ini, menciptakan peluang baru di dunia kerja yang lebih fleksibel.
Keuntungan dari Ekonomi Gig
Model kerja ini memiliki banyak manfaat, baik bagi pekerja maupun perusahaan. Katz dan Krueger (dalam Kamarudin & Arif (2024)) menemukan bahwa pekerja gig dapat memperoleh pendapatan lebih tinggi dengan menjalankan beberapa pekerjaan secara bersamaan. Para pekerja juga bisa mengatur sendiri jadwal kerja mereka dan memilih proyek sesuai dengan kemampuan serta waktu yang tersedia. Hal ini sangat membantu bagi mereka yang ingin menambah penghasilan, seperti mahasiswa atau ibu rumah tangga.
Selain itu, ekonomi gig memberikan kesempatan bagi orang-orang yang kesulitan mendapatkan pekerjaan di sektor formal. Mereka yang tidak memiliki ijazah tinggi atau pengalaman kerja panjang masih bisa memperoleh penghasilan dengan menjadi pekerja lepas, seperti pengemudi ojek online atau pekerja kreatif di dunia digital. Kemajuan teknologi juga menciptakan profesi baru yang sebelumnya tidak begitu dikenal, seperti social media manager atau content writer.
Tantangan dan Risiko bagi Pekerja
Namun, di balik fleksibilitas dan kemudahan tersebut, ada beberapa tantangan yang perlu diperhatikan. De Stefano (dalam Kamarudin & Arif (2024)) mengungkapkan bahwa pekerja gig sering kali tidak memperoleh manfaat yang setara dengan pekerja tetap, seperti asuransi kesehatan dan jaminan pensiun, sehingga menimbulkan masalah kesejahteraan.
Tantangan lain yang kerap terjadi adalah pemutusan hubungan kerja secara sepihak tanpa ada perlindungan hukum yang jelas. Beberapa platform digital memiliki kebijakan yang memungkinkan mereka untuk menonaktifkan akun pekerja secara sepihak jika dianggap melanggar aturan, sering kali tanpa kesempatan bagi pekerja untuk membela diri. Meskipun ekonomi gig membawa banyak manfaat, penting bagi semua pihak—termasuk pemerintah, perusahaan, dan pekerja—untuk memastikan bahwa fleksibilitas kerja ini tidak berujung pada ketidakadilan atau eksploitasi.
Pekerja gig saat ini membutuhkan regulasi yang lebih jelas dan adil agar tidak terus berada dalam kondisi kerja yang tidak menentu. Pemerintah perlu membuat kebijakan yang menjamin hak-hak mereka, seperti akses ke jaminan kesehatan, dana pensiun, dan perlindungan ketenagakerjaan, sebagaimana yang telah diterapkan pada California Assembly Bill 5 (AB5) dan Freelancer Protection di New York (Anwar, 2024). Kebijakan ini bisa menyesuaikan dengan fleksibilitas kerja yang menjadi daya tarik utama ekonomi gig, tanpa menghilangkan perlindungan yang seharusnya mereka dapatkan.
Selain itu, kolaborasi dengan sektor swasta juga penting untuk menyediakan pelatihan dan pendidikan bagi pekerja gig agar mereka bisa meningkatkan keterampilan dan memiliki peluang kerja yang lebih luas. Program pelatihan yang berfokus pada keahlian digital dan kewirausahaan bisa menjadi langkah konkret untuk membantu mereka mendapatkan pendapatan yang lebih stabil dan berkembang dalam dunia kerja yang terus berubah.
Sayangnya, regulasi saat ini masih belum berpihak pada pekerja gig. Kebijakan pemerintah lebih banyak berorientasi pada pekerja sektor formal, sehingga mereka yang bekerja di sektor gig sering kali diabaikan dalam hal status pekerjaan, kepastian penghasilan, dan akses terhadap jaminan sosial. Ini menunjukkan bahwa aturan yang ada belum menyesuaikan diri dengan perubahan pola kerja yang semakin fleksibel dan berbasis platform digital.
Jika tidak segera ada perubahan, pekerja gig akan terus berada dalam situasi rentan tanpa perlindungan yang layak. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengambil langkah yang lebih konkret dan proaktif untuk memastikan bahwa kebijakan yang dibuat benar-benar bisa diterapkan dan bermanfaat bagi pekerja gig, bukan hanya sekadar aturan di atas kertas.
Ekonomi gig telah mengubah cara banyak orang bekerja, memberikan fleksibilitas dan kesempatan baru. Namun, di balik keuntungan tersebut, ada tantangan besar seperti pendapatan yang tidak menentu dan minimnya perlindungan sosial. Meski jumlah pekerja gig di Indonesia terus bertambah, aturan yang ada masih lebih berfokus pada pekerja formal, sehingga banyak dari mereka belum mendapatkan hak-hak dasar seperti jaminan kesehatan dan perlindungan ketenagakerjaan.
Untuk itu, pemerintah perlu segera membuat kebijakan yang lebih inklusif dan adil, menyesuaikan aturan dengan perkembangan ekonomi gig agar pekerja tidak terus berada dalam situasi yang tidak pasti. Selain itu, kerja sama dengan perusahaan dan sektor swasta dalam menyediakan pelatihan dan pengembangan keterampilan juga sangat penting agar pekerja gig memiliki peluang yang lebih baik di dunia kerja yang terus berubah