“And the grass is gone, the boy disappears
And rain keeps falling like helpless tears
And what have they done to the rain”
Joan Baez – What Have They Done to the Rain
1962. Joan Baez melantunkan satu lagu yang sarat makna, lagu yang seakan melampaui zamannya. Satu lagu yang berisikan pesan terkait kemaslahatan lingkungan, sesuatu yang pada saat itu belum banyak dipikirkan orang. Tepat di tahun yang sama kala Presiden Soekarno melalui Penetapan Presiden Tahun 1961 tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya, memutuskan Jakarta tetap menjadi ibu kota NKRI.
Bertahun-tahun kemudian, Indonesia kembali mengalami momen besar. Sejak pengesahan RUU tentang Ibu Kota Negara (IKN) menjadi UU oleh DPR RI dan Pemerintah, keputusan yang lantas membuat Jakarta dicabut statusnya menjadi Daerah Khusus Ibukota Indonesia.
Dalil yang digunakan salah satunya ialah: aspek linkungan, yakni resiko bencana seperti banjir, gempa bumi, tsunami, kebakaran hutan, gunung berapi dan tanah longsor. Betul memang, sebab dilansir oleh BBC, kota Jakarta sejatinya telah mengalami detik-detik kepunahan, dengan telah tenggelam hampir 25 setiap tahunnya, yang tentunya memperburuk intensitas dan frekuensi banjir yang dialami.
Kini, ketakutan itu nampak makin nyata, meski bencana lingkungan yang disebutkan hadir dengan wujud yang berbeda, bukan dari faktor alamiah melainkan faktor manusianya itu sendiri, yakni pencemaran lingkungan.
Polusi hari ini kian menjadi momok yang semakin menakutkan bagi warga Jakarta, polusi yang mengandung PM 2,5 ini ketika dihirup dipercaya dapat memicu berbagai gangguan kesehatan seperti asma, penyakit jantung, paru kronis, hingga penurunan fungsi paru-paru pada anak. Bahkan menurut studi yang diterbitkan oleh Berkeley Earth pada 2015, konsentrasi PM 2,5 sebesar 80 mikrogram per meter kubik setara dengan mengisap 112 batang rokok per bulan.
Problematika Jakarta
Di tahun 2017, berdasarkan laporan yang disusun oleh The US Embassy’s Air Monitoring Stations bahwa ternyata hanya tersedia 26 hari selama setahun bagi rakyat Jakarta untuk dapat menikmati udara yang layak sehari-harinya. Fakta ini ironi tentunya mengingat Jakarta sebagai sebuah ibu kota dengan total penduduk 11 juta lebih, yang juga tragis sebab angka ini terus meningkat tiap tahunnya.
Sebab udara yang buruk dapat kita tengarai merupakan dampak yang diberikan oleh sebuah lingkungan akibat pencemaran udara yang berasal dari asap-asap kendaraan, asap olahan pabrik, asap rokok dan lain sebagainya. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengungkap banyak faktor penyebab polusi udara di Jakarta saat ini, baik bersifat alami maupun tidak alami. Faktor alami diyakini susah untuk dikendalikan. Namun, faktor tak alami yang berasal dari aktivitas manusia, seperti sektor transportasi, industri, kegiatan rumah tangga hingga pembakaran sampah tentu patut menjadi sorotan.
Dilansir dari thejakartapost.com, Jakarta telah menjadi kota besar dengan tingkat polusi paling tinggi di dunia. Menurut perusahaan pemantau kualitas udara IQAir, Jakarta menduduki puncak peringkat global selama berhari-hari karena pihak berwenang gagal mengatasi lonjakan kabut asap beracun.
Lantas, bagaimana upaya pemerintah mengatasi hal ini? tampaknya pemerintah memperlihatkan gestur Gugup dan Gagap. Beberapa hari lalu bertebaran berbagai berita mengenai kebijakan yang diupayakan pemerintah. Diantaranya WFH bagi para pekerja, 4 in 1 bagi para pemilik kendaraan beroda empat guna mengurangi kuantitas kendaraan yang bertebaran, hingga muncul bentuk frustasi dari masyarakat umum untuk segera membeli air purifier. Namun saat ini timbul pertanyaan apakah penerapan kebijakan dan upaya individu tersebut cukup sebagai solusi untuk mengatasi persoalan polusi ini?
Inovasi Gerakan untuk Jakarta yang Lebih Bersih
Lambat laun, kita sadar bahwa Jakarta butuh lebih dari sekadar hal itu semua, kebijakan yang baik pun perlu dikawinkan dengan upaya kolektif masyarakat yang memandang isu polusi ini sebagai sesuatu yang mesti dientaskan.
Oleh karena itu dibutuhkan langkah besar dan berani. Pemerintah dapat memulai dengan menutup/mengurangi jumlah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Pasalnya, berdasar laporan CREA setidaknya terdapat 16 PLTU dalam radius 100 km dari wilayah Jakarta. Belasan pembangkit yang diduga menjadi salah satu biang masalah pencemaran udara di Jabodetabek.
Hal lain yang bisa dilakukan ialah dengan menetapkan standar emisi yang lebih ketat untuk kendaraan dan industri. Serta menerapkan aturan dan kontrol yang ketat terhadap pembuangan air limbah dari sektor industri untuk mencegah polutan berbahaya mencemari sumber air dan udara bersih. Kemudian, dalam lingkup lebih kecil diperlukan sistem pengumpulan sampah modern agar terjadi pemilahan yang tepat. Membangun pusat daur ulang dan mendorong warga untuk memisahkan sampah di sumbernya.
Lebih dari itu, menggiatkan kampanye energi terbarukan, yakni dengan menetapkan target untuk penggunaan sumber energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin di dalam kota. Memberikan insentif bagi perumahan dan entitas komersial untuk memasang panel surya. Serta, dibutuhkan kampanye layanan publik secara berkala melalui berbagai saluran media untuk mengedukasi masyarakat tentang dampak polusi dan cara-cara untuk berkontribusi pada Jakarta yang lebih bersih.
Namun, hal yang paling dasar yang mesti dilakukan sejak awal oleh pemerintah ialah dengan berinvestasi terhadap sistem pemantauan polusi canggih yang menyediakan data waktu nyata kepada pihak berwenang dan publik. Pendekatan berbasis data ini dapat membantu respon yang cepat terhadap insiden polusi.
Dengan menggabungkan langkah-langkah kebijakan, teknologi, keterlibatan masyarakat, dan pendidikan untuk mengatasi polusi secara komprehensif. Jakarta dapat bertransformasi menjadi kota dengan kualitas udara yang lebih baik, saluran air yang lebih bersih, pengurangan limbah, dan masa depan yang berkelanjutan bagi warganya. Oleh karena itu, perlu dilakukan usaha sungguh-sungguh baik oleh pemerintah pusat maupun wilayah Jabodetabek untuk mengatasi polusi udara yang berpotensi memberikan dampak serius terhadap kesehatan fisik dan bahkan mental.
Sebab, jika terus seperti ini, keinginan pemerintah agar air hujan segera turun pun tak dapat menjadi solusi, sebagaimana lantunan lirik dari Joan Baez diatas. Air hujannya hanya akan terasa pekat, hujan yang oleh karena polusi udara bercampur dengan asam. Hujan yang seharusnya memberi kesegaran pada alam sekarang justru mematikan rumput-rumput, karena kandungan asam yang tinggi hasil kepulan asap pabrik-pabrik.