Saya kaget. Teman saya di samping tiba-tiba kesel dan menunjukkan video reels di instagramnya tentang perkataan Prilly Latuconsina yang dianggap meremehkan laki-laki. Saya tertawa bukan karena videonya, tapi karena melihat ekspresi wajah kesal teman saya yang lucu.
Saya bertanya “kamu kenapa kesal?” Dia langsung jawab “Emang kamu gak ngerasa marah cowok diremehin?” Karena dia bertanya balik, jadi saya juga menjawab “Biasa aja…” sambil senyum-senyum menatapnya. Setelah itu kami beruda pulang ke tempat masing-masing.
Karena penasaran saya pun mulai membuka semua media sosial yang saya punya dan mulai mengamati berbagai komentar tentang video itu, tanggapan netizen rata-rata mengkritik bahkan menghujat peryataannya di video itu karena menganggap video Prilly itu meremehkan laki-laki.
Tapi bagi saya, kritik dan hujatan kita terlalu berlebihan karena titik fokus komentar dan kritik kita bukan pada substansi perkataan Prilly, tapi lebih kepada sentimen antar gender (Prilly yang kebetulan adalah seorang perempuan, seolah-olah tidak boleh mengucapkan sesuatu yg meremehkan laki-laki).
Orang-orang seharusnya memahami bahwa struktur sosial kita di segala bidang sangat tidak mengindahkan keberadaan perempuan. Bukan hanya saat ini, tapi sudah terjadi ribuan tahun lalu.
Cerita-cerita tentang kenabian, kekaisaran, kepahlawanan sampai pada pemerintahan-pemerintahan otoritarian, dan domokrasi, semuanya menunjukkan keperkasaan laki-laki. Perempuan hampir tidak mendapatkan tempat dalam alur cerita dunia.
Cara berfikir kita terkonstruksi dengan cerita cerita samacam ini. Dari awal kita sudah menganggap perempuan itu lemah, tidak bisa berbuat banyak, untuk itu laki-laki harus kuat, harus menjadi pemimpin dan sebagainya.
Sekarang, ruang gerak perempuan sedikit demi sedikit mulai terbuka. Perempuan bisa menjadi apapun yang mereka mau. Tapi sebagian besar orang masih berfikir konservatif. Masih mengadopsi pemikiran patriarki seperti yang sudah saya jelaskan di atas, terutama orang-orang di negara ini.
Maka dari itu, ketika ada perempuan yang tiba tiba berada di puncak, dan berteriak bahwa mereka juga bisa melakukan apapun, ataupun mereka sedikit menyentil tentang adanya kelemahan pada laki-laki, kita merasa marah. Keperkasaan laki-laki seolah-olah diinjak-injak. Dan kita harus berbalik menyerang perempuan dengan berbagai argumen.
Padahal kalau kita menganggap bahwa Prilly adalah manusia, tanpa embel-embel dia itu perempuan, perkataannya tidak memiliki nilai apapun. Justru kita akan menganggap bahwa dia hanya mempertontonkan kebodohannya sendiri, bukan sebagai perempuan, tapi sebagai manusia.
Tapi kalaupun kita menggunakan perspektif yang diskriminasi berbasis gender sekalipun, perempuan tetap punya hak penuh untuk berkata seperti itu. karena selama ribuan tahun, sistem hukum dibentuk atas dominasi laki-laki, yang pada akhirnya melahirkan penindasan yang korbannya kebanyakan dari kaum perempuan. Dari jaman barbarisme yang memisahkan perempuan dari dunia luar hingga jaman dimana perempuan masih disebut sebagai lonte, pelacur, dan sebagainya.
Selama ribuan tahun penindasan sudah terjadi pada perempuan, apakah kita harus merasa tersinggung hanya karena seorang perempuan sedikit menyentil laki-laki yang kurang mapan?
Saya rasa kita harus adil. Kata Pramoedya Ananta toer “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan”.
Feminisme bukan Feminim
Kata Wikipedia, feminisme adalah serangkaian gerakan sosial, gerakan politik, dan ideologi yang memiliki tujuan memperjuangkan hak-hak wanita dengan menetapkan kesetaraan pada aspek politik, ekonomi, pribadi, dan sosial.
Intinya adalah perempuan tidak ingin didiskriminasi dalam bentuk apapun. Dia ingin setara dengan laki-laki.
Jika semua orang memahami kesetaraan dan mengamini hal seperti yang diinginkan feminisme di atas, perkataan Prilly hanya akan dianggap lelucon di siang bolong. Tapi masalahnya, semua orang belum memahami apa itu feminisme, watak patriarki sangat mendominasi otak masyarakat kita.
Citra feminisme yang diperjuangkan oleh pejuang perempuan akhirnya mendapatkan predikat buruk di mata publik, hanya karena menganggap feminisme ataupun wanita independen itu akan meremehkan laki-laki.
Dalam kasus Prilly, bagi saya, dia sendiri juga terjebak pada perspektif diskriminatif yang berbasis gender. Karena apa yang dia sampaikan juga hanya sebatas ‘bacotan’ atau tuntutan kemapanan laki-laki sama seperti perempuan pada umumnya, tanpa bertanya atau menganalisis “kenapa laki-laki banyak yang tidak mapan ketimbang perempuan ataupun sebaliknya? Atau kenapa laki-laki terlalu mendominasi? atau kenapa tubuh perempuan selalu menjadi milik laki-laki? Atau kenapa dan kenapa semuanya harus laki-laki?”.
Harusnya pertanyaan-pertanyaan analitis itu muncul dalam pembukaan khotbahnya, supaya menjadi pemantik diskursus publik yang produktif, yang pada akhirnya dia sendiri akan diapresiasi oleh publik sebagai feminis yang memperjuangkan kesetaraan.
Diskusi kita menjadi sempit dan tidak berfaedah, hanya karena tuntutan kemapanan ekonomi antar perempuan dan laki-laki. Feminisme tidak hanya sebatas itu. Feminisme mengkirik sistem sosial yang membuat laki-laki manjadi otoriter dan melemahkan perempuan. Hal ini menjadi keharusan supaya perempuan tidak lagi menjadi korban pelecehan seksual, pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga dan lain-lain.
Feminisme menginginkan kesetaran dan kebebasan, bukan dominasi, apalagi disempitkan lagi hanya dari segi kemapanan ekonomi. Bukan juga perempuan yang hanya menuntut laki-laki mapan supaya dia sendiri, sebagai perempuan, berada di dapur.
Kalau Anda menagih hanya sebatas tentang kemapaman ekonomi, apakah Anda siap menjadi budak?