Kamis, April 25, 2024

Antara Eksistensialisme dan Mulla Shadra (2)

Salman Akif Faylasuf
Salman Akif Faylasuf
Alumni PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid, sekaligus kader PMII Universitas Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Penikmat kajian keislaman dan filsafat.

Bagaimana posisi Mulla Shadra menanggapi perselisihan antara kaum Paripatetik di satu sisi dan Suhrawardi di sisi lain? Mulla Shadra semula mengikuti gurunya Mir Damad, mengikuti mazhab Isyraqi. Kemudian ia berbalik menyerang Isyraqi dan menyatakan posisi Paripatetisme. Seperti disebut dimuka bahwa filsafat Mulla Shadra dibangun berdasarkan tonggak utama tradisi intelektual Islam; filsafat Masya’iyyah Ibn Sina, filsafat Isyraqiyah Suhrawardi, dan filsafat wujudiyah sufi, khususnya Ibn Arabi yang bercorak kemakrifatan.

Sesungguhnya ada empat masalah pokok kefilsafatan yang dibahas Shadra dalam karyanya; epistemologi, metafisika atau ontologi, seperti yang sedang dibahas dalam tulisan ini, gerakan substansial (al-Harakah al-Jauhariyah), dan tentang jiwa dan fakultinya.

Kembali pada ontologi wujud, Shadra sebagai seorang eksistensialis membantah pendirian Suhrawardi yang esensialis. Untuk mengerti konsep wujud Shadra harus didasarkan kepada tiga prinsip dasar; wahdatul wujud, tasykikul wujud, dan aslah al-wujud. Diskusi yang diuraikan di atas antara mazhab Paripatetik dan Isyraqiyah sesungguhnya lebih kepada debat tentang as-salah al-wujud.

Secara historis, teori tentang wahdatul wujud pada mulanya adalah teori yang disusun oleh ibn Arabi. Ia lebih bernuansa sufistik daripada filosofis. Ibn Arabi memandang bahwa seluruh yang maujud (eksisten) selain Tuhan hanyalah tajalliyat (manifestasi) dari Asma’ dan sifat-sifat Tuhan.

Namun Shadra melihat bahwa realitas wujud meskipun satu, namun ia memiliki intensitas yang membentang dari yang namanya wajib al-wujud (Allah Swt). Ia persis seperti matahari dan sinarnya. Matahari tentu berbeda dengan sinarnya. Namun dalam masa yang sama, sinar matahari tiada lain adalah matahari itu sendiri. Prinsip inilah yang kemudian dielaborasi sebagai konsep tasykikul wujud atau gradasi wujud yang sistematis.

Dalam pandangan Shadra, wujud tidak hanya satu. Karena Yang Satu mengambil peranan dalam gradasi atau hirarki wujud. Wujud membentang dari wujud Yang Satu sampai pada wujud yang berbagi-bagi di alam zawahir. Setiap wujud yang peringkatnya lebih tinggi mengandung semua hakikat yang dikandung wujud di bawahnya.

Dengan demikian, makin tinggi peringkat sebuah wujud, makin banyak pula jumlah hakikat yang dikandungnya atau mangkin sempurna tingkat kewujudannya. Pandangan Shadra yang mengatakan bahwa, gradasi terjadi pada wujud berseberangan dengan Suhrawardi yang mengklaim bahwa gradasi hanya terjadi pada mahiyah.

Dengan prinsip gradasi wujud di atas maka wahdatul wujud atau unitas wujud terpelihara pada semua eksisten atau maujud. Ketika prinsip wahdatul wujud dan gradasi wujud tak terbantahkan secara commens sens, maka lahirlan prinsip as-salah al-wujud (kesejatian wujud) yang berarti bahwa wujud adalah prinsip dari segala maujud-maujud yang ada.

Sungguhpun Shadra dalam hal ini lebih dekat dengan pendapat Aristotels dan kalangan Paripatetik, namun ia menolak prinsip dualitas yang diajukan oleh Ibn Sina. Baginya, wujud bukan hanya lebih prinsipil atau hanya sekedar fondasi bagi seluruh realitas, namun adalah realitas itu sendiri. Sebab sifat yang paling fundamental yakni simple atau basit berkarakter menebar kedalam seluruh celah-celah maujud. Ketika disebut meja, kursi, kuda, si Amir dan sebagainya maka entitas-entitas itu tidak lebih dari sekedar limitasi yang membelah bentangan wujud.

Dengan prinsip as-salah wujud ini, ia dianggap telah melakukan revolusi yang fundamental dalam metafisika Islam. Ia menentang pandangan yang mengatakan bahwa, wujud tidak berhubungan dengan realitas eksternal dan hanya ada dalam dunia konsep, seperti yang dikatakan Suhrawadi.

Padahal, wujud, dalam pandangan Shadra, tidak pernah ditangkap oleh pikiran, yang hanya bisa memahami mahiyah dan ide-ide umum; karena mahiyah-mahiyah hanya muncul dalam dunia pikiran maka mereka hanya merupakan fenomena mental. Sebaliknya wujud adalah bersifat partikular dan unik. Oleh karena itu, ia tidak bisa dipahami oleh pikiran secara konseptual.

Dalam pemahaman tentang wujud, adalah penting untuk melihat dua pemahaman yang berbeda; konsep wujud (mafhum al-wujud) dan hakikat wujud (hakikah al-wujud). Yang pertama merupakan gagasan yang jelas dan mudah dipahami. Namun yang kedua, seperti yang menjadi debat di atas, sangat pelik dan sukar untuk dipahami, sebab, memerlukan kesiapan batin.

Mulla Hadi Syabziwari, murid dan penerus Shadra, mengatakan bahwa, pengertian wujud sudah begitu dikenal, tetapi hakikat terdalamnya tersembunyi. Karena tersembunyi, pengertian hakikat wujud memerlukan pengetahuan mendalam, yaitu mukasyafah dan musyahadah.

Perjalanan Rohani

Seluruh pemikiran filsafat Mulla Shadra terekam dalam magnum opusnya, al-Hikmah al-Muta’aliyah fi al-Asfar al-Aqliyyah al-Arba’ah. Karya ini merupakan induk dari seluruh karyanya yang lain dan dapat dikatakan sebagai puncak dari seluruh karya filosofis yang pernah ada. Jika dikatakan bahwa Shadra merupakan penggabung dari beberapa tradisi pemikiran, maka karya ini berbicara tentang itu. Artinya yang dimaksud dengan perjalanan rohani itu adalah;

Pertama adalah perjalanan dari makhluk menuju Allah (min al-khalq ila al-Haqq). Ini mencakup problem-problem umum metafisikan yang merupakan langkah awal menuju pengetahuan tentang Tuhan. Kedua adalah perjalanan dalam Allah bersama Allah (Fi al-Haqq ma’a al-Haqq). Ini merupakan problem-problem metafisika yang bersangkutpaut dengan teologi dan diskusi-diskusi yang berkaitan dengan nama-nama, sifat-sifat, dan esensi Ilahi.

Ketiga adalah perjalanan dari Allah menuju makhluk bersama Allah (min al-Haqq ila al-Haqq ma’a al-Haqq). Ini mencakup diskusi-diskusi yang berkaitan dengan tindakan-tindakan Ilahi serta berbagai wilayah umum tentang eksistensi. Keempat adalah perjalanan dalam makhluk bersama Allah (fi al-Haqq ma’a al-Haqq). Ini meliputi diskusi-diskusi yang bertalian dengan psikologi dan eksatologi.

Pada perjalanan pertama, dari makhluk kepada al-Haqq. Shadra mengawali perumusan doktrinnya tentang wujud, yang menjadi pijakan ontologinya, yang pada gilirannya menjadi dasar bagi seluruh system filsafatnya. Dalam melakukan itu, ia menggunakan berbagai macam teori.

Teori paling penting yang memunculkan hasil diskusi ini adalah teori gerak, yang untuk pertama kalinya dalam sejarah filsafat Islam yaitu ide gerak substansial (al-harakah al-jauhariyah). Ontologinya berujung pada sebuah diskusi mengenai Penggerak Pertama (Prime Mover), yang secara logis mengungkapkan pandangan seputar persoalan hubungan Tuhan-alam dan problematika penciptaan.

Ini sejalan dengan metodologi Shadra bahwa, perjalanan pertama jiwa membawa dari makhluk atau penciptaan kepada al-Haqq. Namun, di sini dibutuhkan gerak berlawanan, yakni meskipun gerakan mistis berlanjut bersama al-Haqq dalam al-Haqq, komplemen rasional darinya pertama-tama mesti menjelaskan bagaimana ciptaan dapat bisa mencapai Allah dari makhluk.

Oleh karenanya, perjalanan ketiga menggantikan perjalanan kedua sebagai suatu dedukasi logis. Jadi perjalanan kedua berlanjut dari al-Haqq kepada makhluk tapi kini bersama al-Haqq, yang berkorespondensi dengan ilmu filsafat fisik atau filsafat alam. Jelaslah bahwa ontologi Shadra merupakan metafisika fundamental bagi seluruh sistemnya. Karena filsafat alamnya secara langsung dideduksi dari metafisika fundamental.

Fisika Shadra mengandung teori tentang hirarkis alam semesta yang bermuara kepada al-Haqq. Fisikanya telah menunjukkan bagaimana komplemen rasional dari perjalanan pengalaman (eksperimental) bisa mencapai Allah. Jadi, secara logis, perjalanan berikutnya, yang dalam pengertian filosofis disebut sebagai tingkatan pengetahuan dan karenanya sebagai subsistem, adalah teologi, yang sekarang berada dalam gerak perjalanan ketiga, bersama al-Haqq di dalam al-Haqq.

Di sini ditemukan solusi Shadra terhadap berbagai problematika teologi yang sempat menjadi diskusi hangat sepanjang peradaban Islam. Pertama, ide Allah dengan wajib al-wujud dielaborasi, untuk kemudian mendiskusikan bukti-bukti eksistensi-Nya, juga soal ketunggalan dan kesederhanaan-Nya. Doktrin sifat serta hubungan sifat dengan zat Allah dipaparkan oleh Shadra; pengetahuan Allah tentang alam, sifat qudrah dan iradah, kemudian sifat hayat, sama, takallum, juga diterangkan olehnya.

Perjalanan ini ditutup dengan sebuah diskusi tentang petunjuk Ilahi (bagaimana kehendak Ilahi berlaku di dunia; problematika kebaikan dan keburukan), dan perbuatan Ilahi (af’al) yang melahirkan teori tingkatan-tingkatan manifestasi. Tema tentang petunjuk dan manifestasi Ilahi tentu saja mengindikasikan pula tentang hubungan manusia dengan Tuhan.

Dari sini, orang akan segera mudah bisa mendeduksi sekuens logis psikologi, yang dijalin dengan eskatologi Shadarian. Dengan demikian, perjalanan keempat yang merupakan gerak bersama al-Haqq dalam makhluk, menyajikan dua subsistem yang berkaitan dengan bagian-bagian sistem sebelumnya, yaitu psikologi dan eskatologi. Di sini ditemukan akar-akar teori moral Mulla Shadra serta doktrinnya tentang jiwa.

Syahdan, untuk mengerti filsafat Shadra; materi, metode, dan sistem pemikirannya, yang pertama harus melihat ontologinya sebagai fondasi atas bangunan pemikiran berikutnya. Metafisika Shadra dibangun atas problematika wujud yang telah menjadi tema debat sepanjang sejarah pemikiran Islam, baik dalam kalangan Mutakallimin, filosof, dan kaum Sufi.

Di sini Shadra menemukan prinsip dasar tentang wujud; bahwa wujudlah yang paling prinsipil dan fundamental. Bahkan wujud adalah realitas itu sendiri; ia tak dapat didifinisikan oleh kegiatan mental melainkan harus tersingkap lewat mukasyafah dan musyahadah.

Sungguhpun Shadra kelihatan mistik oriented, tetapi ia menjabarkannya dengan pendekatan filosofis. Dan justru di sinilah kekuatan Shadra. Berangkat dari ontologinya yang dijadikannya sebagai sistem filsafatnya, lahirlah subsistem-subsistem yang integrated; teologi, kosmologi, psikologi, psikologi (etika), dan eskatologi, sebuah perjalanan intelektual yang menggabungkan tradisi mistik, rasional, dan illumi nasional. Wallahu a’lam bisshawaab.

REFERENSI:

–Syed Hossein Nasr, History of Islamic Philosophy.

–Syed Hossein Nasr, Al-Hikmah Al-Muta’aliyah, Mulla Sadra: Sebuah Terobosan dalam Filsafat Islam.

–Dr. Syafian Nur, MA, Filsafat Wujud Mulla Shadra.

–Fazlur Rahman, Filsafat Shadra.

–BEING AND EXISTENCE, Ada dan Eksistensi dalam Pandangan Sadra dan Heidegger. ter. Muhammad Muhibbudin.

–Khudori Soleh, Filsafat Islam Dari Klasik Hingga Kontemporer.

–Murtadha Muthahhari: Pengantar Pemikiran Sadra, FILSAFAT HIKMAH.

Salman Akif Faylasuf
Salman Akif Faylasuf
Alumni PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid, sekaligus kader PMII Universitas Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Penikmat kajian keislaman dan filsafat.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.