Sabtu, April 27, 2024

Antara Ekonomi dan Urusan Hidup-Mati

Tio Kurnia
Tio Kurnia
Mahasiswa Antropologi Sosial Universitas Diponegoro

Desember 2019 menjadi bulan di mana sebuah makhluk mikro organisme pembawa virus yang kelak menghambat hampir segala sendi kehidupan manusia lahir. Muncul di dataran negeri Tiongkok, virus itu dengan cepat menyebar ke berbagai penjuru dunia.

Hanya 3 bulan sesudahnya –tepatnya pada bulan Maret 2020– Organisasi Kesehatan Dunia mengumumkan krisis kesehatan global atau pandemi yang diakibatkan oleh virus ini. Di bulan yang sama pula, Indonesia mencatatkan kasus infeksi pertamanya. Semenjak saat itu hingga sekarang, jumlah pasien positif virus COVID-19 di Indonesia terus bertambah hingga lebih dari 50.000 jiwa.

Pemerintah tentu tak hanya diam. Karena penyebarannya yang sangat cepat dan mudah, para pakar kesehatan dan epidemiologi menyarankan pemerintah untuk mengambil kebijakan berupa membatasi konektivitas atau mobilitas sosial masyarakat. Beberapa pemerintah di dunia telah menetapkan status lockdown demi menahan laju penyebaran virus ini. Pemerintah Indonesia mungkin cukup berbeda.

Mereka enggan mengambil kebijakan lockdown karena dinilai membawa dampak yang amat buruk bagi perekonomian. Maka kebijakan yang diambil adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB, yaitu berupa pelarangan beberapa aktivitas sosial yang dinilai dapat menimbulkan potensi penyebaran COVID-19.

Terhitung sejak bulan April, kurang lebih dua bulan sudah kebijakan PSBB berlaku. Sayangnya kurva tak kunjung melandai. Jumlah kasus positif dan pasien meninggal selalu meningkat setiap harinya –meskipun jumlah pasien sembuh juga meningkat. Memasuki bulan Juni, pemerintah mulai mengucurkan kebijakan baru, yaitu kebijakan untuk memasuki fase tatanan normal baru atau new normal.

Sebuah tahapan di mana masyarakat menjalankan aktivitas keseharian dengan normal seperti saat sebelum adanya pandemi tetapi dengan melaksanakan protokol kesehatan semasa COVID-19, seperti misalnya pergi bekerja harus memakai masker, jumlah penumpang angkutan umum dibatasi, sembayang di masjid harus menjaga jarak, dan lain sebagainya. Dalam istilah yang lebih dramatis, new normal artinya kita hidup berdampingan bersama dengan COVID-19.

Mungkin boleh jadi Pemerintah Indonesia ingin mengikuti tren layaknya negara-negara lain yang sudah menerapkan new normal –meskipun negara-negara itu pada umumnya telah berhasil flattening the curve. Tapi agaknya tidak demikian. Jika dilihat-lihat pertimbangan pemerintah dalam mengakhiri masa PSBB dan memulai tahapan new normal adalah, lagi-lagi, karena alasan ekonomi.

Meskipun tak separah lockdown, PSBB tetap membawa dampak berupa pelambatan roda perekonomian. Kesampingkan dulu kebijakan PSBB dan lockdown, kemunculan pandemi saja telah berdampak secara ekonomi. Dampak buruk ini utamanya disebabkan karena adanya perubahan pada mode of consumption selama masa pandemi dan PSBB.

Indonesia yang notabene adalah negara miskin tentu harus berdarah-darah untuk menghadapi krisis saat ini. Dengan munculnya COVID-19, perekonomian tak bisa berjalan semestinya. Ditambah dengan harus diambilnya kebijakan PSBB demi menghambat laju penyebaran COVID-19 yang juga mengakibatkan perekonomian semakin melambat. Belum lagi pemerintah juga harus “memberi makan” warganya selama masa PSBB berlangsung. Ibarat kata pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga, sudah miskin kena bencana pula. Begitulah Indonesia.

Karena PSBB tidak menunjukkan keefektifan dalam melambat laju penyebaran COVID-19 dan di sisi lain justru semakin memperburuk roda perekonomian negara, maka pemerintah kemudian memutuskan untuk mengakhiri masa PSBB dan beralih menuju fase new normal yang, mungkin, dengan menggunakan landasan kerangka berfikir doktrin minus malum: jika kedua hal sama-sama buruknya, ambil satu yang keburukannya lebih sedikit.

PSBB dan new normal sama-sama buruk karena tidak dapat menekan laju penyebaran COVID-19. Tapi setidaknya, mungkin di mata pemerintah, new normal lebih sedikit buruknya karena ia tidak membawa dampak berupa pelambatan perekonomian.

Tentu saja kebijakan ini bukan hadir tanpa kritik. Muncul kesan bahwa pemerintah seolah-olah “menumbalkan” warganya sendiri demi kesehatan perekonomian. Pemerintah juga dinilai terlalu buru-buru mengingat tren jumlah kasus positif belum mengalami penurunan. Tak sedikit pula yang menilai bahwa pemerintah telah gagal dalam mengatasi pandemi COVID-19.

Munculnya kritik-kritik tersebut mungkin merupakan hal yang wajar mengingat banyaknya blunder yang dilakukan pemerintah, antara lain meremehkan COVID-19 saat awal-awal kemunculannya, mengeluarkan kebijakan-kebijakan aneh seperti memberi diskon pada tempat wisata dan menggaji influencer, dugaan ketidaktransparanan pemerintah dalam menyampaikan data, dan bantuan sosial yang tidak merata atau tidak tepat sasaran.

Menurut saya antara masalah ekonomi dan kemanusiaan seharusnya tak jadi dilema bagi pemerintah. Jelas bahwa keputusan penerapan new normal saat kurva masih belum melandai adalah bukti gagapnya pemerintah dalam menentukan skala prioritas. Di situasi sekarang, fokus utama haruslah pada penghambatan penyebaran COVID-19 atau pengurangan jumlah kasus positif COVID-19.

Usaha untuk menurunkan angka grafik harus menjadi prioritas nomor satu. Siapapun pasti paham betul bahwa relaksasi aturan PSBB yang terwujud dalam bentuk new normal di saat kurva kasus positif belum menurun akan berdampak pada penambahan jumlah kasus besar-besaran. Dan memang kenyataannya data di lapangan berkata demikian. Semenjak ditetapkannya fase new normal jumlah penambahan kasus pasien positif COVID-19 meningkat pesat perharinya.

Jika kita tarik mundur ke belakang, dampak buruk ekonomi yang muncul ketika PSBB sebenarnya hanyalah efek samping saja. Akar utama permasalahannya ialah keberadaan pandemi itu sendiri. Adanya pandemi menghambat perekonomian. Adanya pandemi mengharuskan pemerintah mengambil opsi PSBB yang semakin menghambat perekonomian.

Maka untuk memperlancar kembali perekonomian caranya adalah dengan menghilangkan pandemi. Dan untuk menghilangkan pandemi, menetapkan new normal saat tren kasus belum menunjukkan penurunan tentunya bukan cara yang tepat. Pemaksaan new normal akan berdampak pada penambahan kasus. Semakin bertambah kasus artinya semakin lama pandemi berakhir. Semakin lama pandemi berakhir akan membawa dampak buruk ekonomi yang semakin lama pula.

Memang keputusan untuk melanjutkan PSBB adalah keputusan yang sangat berat, apalagi mengingat Indonesia adalah negara yang miskin dan mengingat perekonomian ibarat nadi bagi suatu negara.

Tetapi meskipun berat, hal itu perlu dilaksanakan bukan hanya karena pilihan tersebut merupakan pilihan yang paling rasional dan manusiawi, tapi juga karena pilihan itu menjadi jalan bagi pemerintah untuk memenuhi misi minimum negara –yaitu melindungi dan mewujudkan hak-hak warga negara, salah satunya sebagaimana yang tertuang dalam UUD yaitu hak untuk hidup.

Agaknya dilema antara ekonomi dan kemanusiaan ini bukan akibat dari adanya COVID-19 semata, tapi merupakan hasil dari berbagai tumpukan permasalahan yang telah ada. Mulai dari sistem kesehatan yang buruk, sistem jaminan sosial yang tidak jelas, masalah data dan administrasi yang jarang dianggap penting, hingga politik dagang sapi.

Tio Kurnia
Tio Kurnia
Mahasiswa Antropologi Sosial Universitas Diponegoro
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.