Jumat, Maret 29, 2024

Antar Filsafat dan Pseudoscience

Pertanyaan-pertanyaan objective-scientific seputar Covid-19 dan dampak sosialnya tentu saja lebih tepat dibicarakan para dokter, pakar ekonomi dan ahli kebijakan publik. Lalu, masih adakah ruang diskursus untuk filsafat?

Filsafat tentu saja masih memiliki peran penting dalam mengelaborasi setiap persoalan krusial, termasuk pandemi Covid-19. Peran filsafat itu, meminjam ungkapan Slavoj Zizek, lebih sebagai unruhestifter – ‘pencipta kegaduhan’. Olehnya tugas seorang pemikir dalam melakukan reflektif filosofis dalam melihat pandemi penting bagi kita untuk melewati badai pandemi yang (sekali lagi) meningkat ini.

Salah satu pemikir yang melakukannya adalah Lukman S. Thahir. Beliau menulis buku menarik yang berjudul “Filsafat Pandemi“. Buku ini merupakan hasil refleksi beliau dalam menjawab berbagai persoalan dan perdebatan yang hadir di masyarakat sejak dunia terjangkit wabah Covid-19.

Namun demikian, ada beberapa gagasan yang kurang saya setujui pada bagian awal buku ini yang nanti akan saya coba terangkan di bawah ini.

Kesehatan Tidak Dapat Diketahui?

Pada bab awal buku ini – Kesehatan dan Diases – Lukman mengutip pandangan Lennart Nordenfelt, bahwa kesehatan tidak hanya menyiratkan fakta ilmiah tertentu mengenai tubuh seseorang tetapi juga menyiratkan kondisi tubuh atau mentalnya.

Saya telah mencari beberapa literatur yang membahas tentang bion, namun saya tidak menemukan satu pun literatur yang mendukung pandangan beliau yang menyamakan bion dengan roh. Justru sebaliknya, saya menemukan bahwa kata bion hanyalah sebutan bagi organisme hidup, dan tidak ada kaitannya sama sekali dengan roh atau hal yang bersifat non-materi lainnya.

Lebih jauh, dalam Ensiklopedia Norwegia menyebutkan bahwa istilah bio-elektrisitet adalah fenomena listrik pada organisme hidup. Sementara dalam Ensiklopedi Britanica, bio-elektrisitet disebut sebagai bioelectric (biolistrik).

Di sana dijelaskan bahwa energi biolistrik dihasilkan oleh berbagai proses biologis dan umumnya memiliki kekuatan yang berkisar dari satu hingga beberapa ratus milivolt. Bioelektrik ini terdiri dari aliran ion (yaitu atom atau molekul bermuatan listrik) yang bermuatan positif dan negatif.

Biolistrik makhluk hidup ini memiliki cara kerja yang hampir serupa dengan baterai pada materi anorganik. Jika energi baterai berasal dari elektron, sedangkan pada makhluk hidup, biolistrik berasal dari kerja-kerja biologis. Maka jelas bahwa proses kerja bio-elektrisitet atau biolistrik ini masuk ke dalam kajian biofisika, bukan bio-metafisika.

Sangat aneh bukan jika baterai atau fenomena alam lain seperti bion dianggap berasal dari hal-hal metafisika? Hal yang umum jika energi lahir dari suatu unsur materi, entah itu ion atau elektro, alih-alih dari hal-hal supernatural/metafisika. Karena sulit bagi kita untuk menjelaskan bagaimana materi bisa berinteraksi dengan hal-hal yang immateri. Mustahil.

Maka dari itu, pandangan yang berakar dari keyakinan supernatural yang ‘dipaksakan’ ilmiah sebagaimana yang menjadi dasar buku ini kurang tepat untuk dijadikan pertimbangan dalam kajian kodekteran modern yang materialis. Sebab pandangan yang berdasarkan keyakinan semacam itu tidak dapat diuji kebenarannya dan tentu saja tidak dapat dianggap sebagai sains, apalagi kedokteran.

Kresionisme?

Argumen-argumen yang digiring oleh Lukman dalam bukunya jelas memiliki tendensi yang mengarah pada hal-hal yang sifatnya supernatural. Semuanya dibuat seolah-olah ilmiah, padahal tidak sama sekali. Seperti pembahasan beliau tentang bion atau bio-elektrisitet yang telah saya jelaskan sebelumnya.

Menurut beliau, semua kehidupan didasarkan pada bion/spiriton ini, yang mana konon dihembuskan oleh Tuhan. Ini jelas merupakan pseudoscience; gagasan yang masif dibawakan oleh kelompok Kreasonis yang mempercayai ide tentang Intelligent Design.

Menurut sejarawan, Ronald Numbers, gagasan Intelligent Design hanyalah pandangan teleologis (bukan saintifik) tentang adanya satu pencipta yang cerdas: Tuhan. Dan mereka yang menggunakan gagasan semacam ini jelas melakukan pelecehan terhadap metode-metode ilmiah, yang mana telah lama menjaga jarak dari diskusi-diskusi teologis semacam itu selama ratusan tahun.

Jadi narasi-narasi yang dilemparkan oleh Lukman dalam bukunya jelas tidak bisa diletakkan dalam meja laboratorium sains yang pada dasarnya tidak menerima hal-hal yang berbau spiritual atau metafisik dalam bentuk apapun.

Dalam tulisan yang berjudul ‘Science and Creationism: A View from the National Academy of Sciences’, menyebutkan bahwa ide-ide kreasionisme, Intelligent Design, dan klaim-klaim intervensi supranatural lainnya tentang kehidupan bukanlah sains karena ia tidak dapat diuji secara ilmiah. Bahkan tak jarang saintis seperti Robert T. Pennock dan Lawrance Kraus menganggap bahwa gagasan semacam itu sebagai sampah.

Semua gagasan-gagasan yang berkaitan dengan wacana kelompok Kresonis hanyalah usaha untuk mengejar ketertinggalan kaum agamis dalam ilmu pengetahuan dengan menciptakan penjelasan-penjelasan yang tampak ilmiah demi mendukung iman mereka. Pandangan kelompok Kreasionis yang menghubungan kejadian-kejadian metafisik atau supranatual dengan entitas biologis atau materi sama sekali tidak bisa dimasukan ke dalam kajian sains karena tidak memiliki nilai objektif yang layak diamati.

Padahal jika kita berbicara mengenai kehidupan, sains dan fakta ilmiah saja sudah cukup menjelaskannya. Alih-alih ruh atau hal-hal metafisika lainnya, sains telah membuktikan bahwa kehidupan berasal dari materi, tepatnya senyawa-senyawa anorganik (benda tak hidup): Abiogenensis.

Tentu saja kehidupan tidak berasal dari hembusan-hembusan gaib apapun! Miller dan Urey telah membuktikannya dan mendokumentasikan penelitian mereka dalam jurnal yang berjudul Production of Amino Acids Under Possible Primitive Earth Conditions‘. Dari penemuan Miller-Urey tersebut lah para saintis menyadari bahwa yang pertama terjadi di alam semesta adalah evolusi kimia, lalu kemudian evolusi biologi (teori yang diperkenalkan oleh Darwin dalam The Origin of Species). Tanpa ada campur tangan entitas supernatural apapun dalam prosesnya.

Mitos ke Logos

Hari ini, narasi-narasi supernatural tidak lagi dibutuhkan untuk menjelaskan fenomena kehidupan. Itu mungkin berhasil di zaman nenek moyang kita – seratus atau ribuan tahun yang lalu. Maka dari itu, jika kita tetap kukuh dalam narasi-narasi pseudoscience semacam itu, itu justru akan menjadi penghambat kemajuan pengetahuan ilmiah kita. Sebagaimana yang disampaikan filsuf eksistensialis, Friedrich Nietzsche: Bahwa keimanan adalah musuh bagi kemajuan dan kebenaran.

Oleh karena itu perubahan paradigma dari mitos ke logos adalah fakta; Ide-ide metafisik mungkin memuaskan dalam menjelaskan fenomena-fenomena alam ratusan tahun lalu, tetapi saat ini tidak lagi! Maka dari itu pembahasan mengenai penyakit dan kesehatan mustinya dilihat melalui kacamata filsafat yang lebih realistis, bukan pada gagasan yang spekulatif dan pseudoscience  yang jelas sudah tertolak dalam diskursus-diskursus ilmiah.

Artikel telah lebih dulu diterbitkan di Sophia Insitute dengan judul “Kritik Pemikiran Lukman Thahir: Antara Filsafat dan Pseudoscience” dan telah disetujui oleh penulis maupun penerbitnya.

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.