Sejatinya perjalanan demokrasi tidak selalu mulus akan banyak berbagai tantangan dalam perjalanan menuju kedewasaan berdekomrasi, seperti kondisi politik yang tidak stabil, korupsi yang merajalela, krisis kepercayaan oleh masyarakat, dan semakin kompleks dengan gerakan radikalisme yang belakangan ini semakin marak, dalam tubuh radikalisme ada dua bentuk pertama: Kesukaran untuk menerima kelompok yang berbeda (lunak), kedua: Aksi kekerasan dan terorisme (ekstrim), seperti pemboman Gereja di Samarinda 14 November kemarin mengakibatkan seorang anak berusia dua tahun meninggal dunia.
Radikalisme sangat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa, penyebarluasan gerakan radikalime sudah sampai diberbagai pelosok negeri, doktrinisasi menghalakan kekerasan dalam berjihatpun dilakukan serta iming-iming surga yang digambarkan sedemikian rupa jika mati dalam berjihad. Kondisi bangsa sangat rentan terhadap paham radikalisme, penduduk Indonesia mayoritas Muslim menjadi sasaran empuk bagi gerakan radikalisme berbasis agama. Minimnya pemahaman agama serta faktor ekonomi juga dijadikan alat dalam memperlancar gerakan ini, yang melelahirkan hubungan simbiosis mutualisme antar keduanya.
Sesungguhnya radikalisme merupakan prilaku politik namun, prilaku seperti ini adalah prilaku politik yang menyimpang. Wajar saja jika masyarakat keceewa pada negara, dalam kehidupan berdemokrasi telah ada ruang-ruang yang diberikan oleh negara untuk menyampaikan kekecewaan masyarakat seperti kebebasan dalam mengelurkan pendapat yang dijamin UUD 1945 pasal 28. Akan tetapi prilaku politik yang menyimpang seperti kekerasan dan terorisme tetap saja harus ditumpas sebelum menjalar dan semakin ganas, radikalisme dapat mengancam keselamatan bahkan menghilangkan nyawa.
Menghadapi perkembangan radikalisme yang semakin marak belakangan ini maka negara dituntut lebih “Responsive”. Jika negara belum mampu mewujudkan keadilan (injustice), membiarkan praktik korupsi (corruption), dan tetap mempertontonkan kekerasan (violance), maka gerakan radikalisme merasa diberi ruang dan dibenarkan dalam keadaan ini, menimbulkan keadaan Eksesif (melampaui kebiasaan).
Paham radikalisme dan tindakan terorisme sejak dulu sudah mendarah daging bukan merupakan hal baru dimata publik. Jika dahulu pelakuanya adalah mereka yang miskin dan tidak berpendidkan namun sekarang pelakunya adalah mereka yang berkecukupan dan memiliki keahlian tertentu. Dalam prosese rekrutmen atau pengkaderan yang dilakukan biasanya melakukan pendekatan pendekatan primordialisme, mengatasnamanakan kepercayaan sehingga perlu diperjuangkan, pembenaran tindakan memakai trik-trik tertentu seperti pembernaran dari ayat-ayat kitab suci, kemudian dicekoki jangji-janji hidup bahagia dan masuk surga.
Solidaritas Kelompok
Solidaritas adalah dimanan kondisi individu mulai memiliki rasa kebersamaa, rasa simpati terhadap keadan tertentu kemudian ikut terjun dan berkontribusi dalam kelompok yang dibentuk karena memiliki tujuan yang sama. Pada kelompok radikalisme solidaritas kelompoknya sangat tinggi. Aksi-aksi yang mereka lakukan adalah salah satu bukti solidaritas kelompok yang coba mereka buktikan. Namun aksi-aksi yang dapat mengancam keselamatan haruslah ditinggalkan karena masyarakan Indonesia melekat dengan citranya yang ramah, akan tetapi belakangan ini citra seolah hilang dan muncul image negatif karena kekeras yang dilakukan oleh beberapa kelompok yang tidak bertanggungkan dan mengtas namakan agama.
Sejatinya rasa aman adalah tanggungjawab negara untuk memberikan rasa aman pada rakyatnya, karena belakangan ini masyarakat waswas akan keselamatannya karena ulah kelompok yang melakukan pemboman dibeberapa tempat tertentu. Aksi-aksi seperti ini harus cepat diselesaikan oleh negara. Ada benyak hal yang dapat dilakukan seperti merevisi Undang-undang teroris, memperketat keamanan dititik-tik tertentu yang dianggap target pemboman, selanjuya masyrakat juga hars lebih berhati-hati dalan setiap aktivitas yang dilakukan. Ada jalan yang bisa ditempuh untuk menangani radikalisme seperti Deradikalisme yang digunakan sebagai alat penyadaran serta penegmbalian logika atau rasionalisme, shok teraphy hebat juga bisa sebagai taktis yang digunakan serta menanamkan nilai-nilai humanis kepad jiwa-jiwa radikal yang telah lama dibelenggu rasa kebencian.
Bangkitnya gerakan radikalsme diakibatkan kemajemukan suku bangsa yang diindikasikan sebagai salah satu lahirnya radikalisme. Gerakan radikalisme akan semakin subur dinegra yang demokratis, karena sejauh ini gerakan radikalisme disebabkan kekecewaan pada negara, sistem politik yang tidak adil, elit yang korup, penolakan agama atau suku bangsa yang berbeda selalu dijadikan dalih untuk melakukan kekerasan. Tindakan kekerasan yang sekarang dipertontonkan sipil kepada elit seharusnya menjadi refleksi, karena bangsa Indonesia membutuhkan kehidupan politik yang bermoral serta beretika, bukan seperti membabi buta menghalalkan sengala cara untuk memperoleh Kursi Empuknya kekuasaan. Berpolitik tanpa etika akan mengakibatkan kehancuran. Saya teringat kata penyair Syauqi “ Yang Disebut Bangsa Itu Ahlaknya Apabila Itu Telah Tiada Bangsa Akan Hancur”.
Semakin terlihat jelas bahwa Ideologi bangsa semakin tergerus, kesaktian Pancasila tidak lagi melekat dalam kehiduan berbangsa dan bernegara, sila demi sila sudah kehilangan maknanya, kini kekerasan dan terorisme ada dimanan-mana sungguh prihatin bangsa ini. Gagasan Pancasila sangat terkenal sampai ke mancanegara dulunya namun, sekarang hanya nostalgia belaka nilai-nilai Pancasila sedang mengalami krisis ditengah-tengan masyarakat.