Sabtu, April 27, 2024

Anomali Pelonggaran Remisi Koruptor

Helmi Chandra SY
Helmi Chandra SY
Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta, Padang / Peneliti Pusat Kajian Bung Hatta Anti Korupsi (BHAKTI)

Melemahnya upaya pemberantasan korupsi saat ini semakin terpampang nyata. Hal ini terlihat pasca Mahkamah Agung (MA) melalui putusannya mengabulkan uji materi terhadap Pasal yang mengatur remisi dan pembebasan bersyarat bagi narapidana korupsi dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 (cnnindonesia.com). Putusan ini menjadi tindakan inkonsistensi MA karena sebelumnya menolak uji materi terhadap perkara yang sama tahun 2013. Selain itu, keadaan ini dapat membuka peluang terciptanya obral remisi atau pemotongan masa hukuman bagi koruptor yang sebelumnya diberi pengetatan dalam pemberiannya.

Jika dibaca secara baik, mengapa dilakukan pengetatan remisi terhadap tindak pidana tertentu termasuk korupsi dapat diketahui dalam konsideran menimbang PP 99 Tahun 2012. Di dalamnya dijelaskan bahwa tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya merupakan kejahatan luar biasa karena mengakibatkan kerugian yang besar bagi negara atau masyarakat atau korban  yang  banyak atau menimbulkan kepanikan, kecemasan, atau ketakutan yang luar biasa kepada masyarakat.

Korupsi merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak sosial dan hak ekonomi masyarakat sehingga korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa, tetapi telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Kita seringkali merasa bahwa akibat korupsi jauh dari kehidupan kita sehingga saat kita melihat tertangkapnya pelaku korupsi, perasaan kita akan biasa-biasa saja. Berbeda misalnya dengan kejahatan pencurian, saat kita menjadi korban dari pelaku pencurian kita merasa sakit hati hingga tidak jarang pelakunya sampai dihakimi masa. Padahal dampak dari korupsi jauh lebih merusak karena merugikan banyak orang dengan tidak terbangunnya fasilitas umum seperti jalan, jembatan hingga rumah ibadah. Sedangkan pencurian mungkin hanya akan merugikan satu individu saja.

Korupsi telah menjadi virus yang menyebar keseluruh sendi kehidupan bangsa yang berkembang secara sistemik. Bagi banyak orang korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan sekedar suatu kebiasaan. Indonesia sebenarnya memiliki sejarah yang panjang dalam memberantas tindak pidana korupsi dengan sederetan undang-undang dan lembaga khusus yang dibentuk untuk menunjang pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi. Namun, perkembangan praktek korupsi dari tahun ke tahun semakin meningkat dari segi kuantitas (nilai kerugian negara) maupun segi kualitas sistem yang begitu canggih dan masif. Semua terjadi karena bahaya serta kerusakan akibat korupsi.

Pemahaman kita terhadap dampak dari korupsi akan menyadarkan kita bahwa korupsi adalah masalah terbesar bagi kita. Implikasi dari praktik korupsi dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial, ekonomi, dan politik, serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moral. Pada perkembangannya dari tahun ke tahun, praktik korupsi semakin masif dan menjangkiti semua level kekuasaan, mulai eksekutif, legislatif, hingga yudikatif. Mulai dari kota hingga ke desa. Mulai dari pusat hingga daerah. Mulai dari orang lain hingga ke diri kita.

Untuk itulah perlu diberikan perlakuan khusus terhadap pelaku dari korupsi tersebut diantaranya pemberian remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat bagi pelakunya yang diperketat dengan tujuan memenuhi rasa keadilan masyarakat. Atas dasar itu, kemudian dibentuk Pasal 34A dan 43A PP 99 Tahun 2012 yang memberikan syarat ketat pemberian remisi dan pemberian pembebasan bersyarat yaitu pertama, bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya.

Kedua, telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi. Ketiga, kesediaan untuk bekerjasama harus dinyatakan secara tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun ikhtiar itu menguap akibat dicabut oleh MA melalui putusannya.

Bukan Hak Asasi Manusia

Perdebatan tentang remisi sebagai hak asasi manusia (human rights) atau bukan sebenarnya selalu mengemuka setiap isu pelonggaran remisi bagi koruptor diajukan. Jika merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.41/PUU-XIX/2021 yang menolak seluruh permohonan OC Kaligis dalam uji materiil terhadap Pasal 14 ayat (1) huruf i UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan).

MK berpendapat bahwa remisi adalah hak hukum (legal rights) yang diberikan oleh negara kepada narapidana sepanjang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Dengan demikian, remisi, bukanlah hak yang tergolong ke dalam kategori hak asasi manusia. Sehingga apabila dikaitkan dengan pembatasan, jangankan terhadap hak hukum (legal rights), bahkan hak yang tergolong hak asasi (human rights) pun dapat dilakukan pembatasan sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 dan diatur dengan undang-undang.

Putusan MK ini tentu memperjelas pembatasan dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang narapidana untuk memperoleh pembebasan bersyarat dan memperoleh remisi untuk narapidana tidaklah melanggar hak asasi narapidana. Namun dalam hal ini perlu ditegaskan bahwa penilaian atas syarat-syarat untuk memperoleh remisi dan pembebasan bersyarat untuk narapidana dimulai sejak narapidana yang bersangkutan memperoleh status sebagai narapidana dan menjalani masa pidana. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, sebenarnya pemerintah berwenang untuk mengatur syarat pemberian remisi tersebut.

Pemberian remisi memang sudah menjadi hak setiap terpidana termasuk koruptor dan telah dijamin dalam UU Pemasyarakatan. Namun hak tersebut dapat dibatasi oleh negara dalam syarat pemberiannya yang diperketat dengan menitikberatkan pada efek jera (deterrent effect) bagi terpidana dengan jenis kejahatan khusus, salah satunya korupsi. Hak remisi bukanlah hak yang diperoleh secara otomatis oleh napi tipikor, namun hak yang bisa didapatkan dengan persayaratan tambahan. Hak remisi baru diterima oleh napi tipikor setelah yang bersangkutan memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan.

Akhirnya, pelonggaran remisi koruptor ini haruslah segera dikoreksi oleh pemerintah melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemasyarakatan, jika tidak pelonggaran terhadap remisi koruptor ini bisa saja menjadi pesta pora para koruptor atas penderitaan rakyat yang uangnya telah mereka curi.

Helmi Chandra SY
Helmi Chandra SY
Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta, Padang / Peneliti Pusat Kajian Bung Hatta Anti Korupsi (BHAKTI)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.