“Biarkan aku terbaring dalam lelahku,
Karena jiwa ini telah dirasuki cinta,
Dan biarkan daku istirahat,
Karena batin ini memiliki segala kekayaan malam dan siang”
– Kahlil Gibran
Barangkali penggalan sajak Gibran inilah yang menggambarkan suasana kesedihan yang dirasakan mendiang ibu Ani Yudhoyono sebelum beliau pergi untuk selamanya, atau malah kalimat inilah yang memenuhi kalbunya dan hendak disampaikan di detik-detik terakhirnya saat memasuki ruang perawatan intensif, setelah diketahui kondisinya menurun drastis.
Dari tuturan cerita mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mendampinginya sesaat sebelum menghembuskan napas terakhir, mendiang tidak bisa berbicara dan menggerakkan badannya akibat prosedur bius yang harus dilakukan oleh dokter dalam keadaan kritis.
Tetapi, dalam kondisi tidak sadarkan diri pun mendiang bisa merasakan kasih sayang yang tulus dari orang-orang yang menyayanginya, juga tentu saja perhatian dari suami tercinta. Satu hal yang masih bisa dilakukan dalam keadaan antara hidup dan mati tersebut: menitikkan air mata cinta sekaligus duka. Tetesan air mata itu kiranya menjadi cara untuk mengungkapkan kata perpisahan pada keluarga dan semua masyarakat yang mencintainya.
Kepribadiannya yang demikian hangat membuat figur Ani Yudhoyono dikenal sebagai ibu negara yang begitu supel dan mudah akrab dengan siapa saja. Umumnya, sifat-sifat ini dirasa tidak begitu mengherankan karena karakter tersebut memanglah harus ada dalam diri seorang ibu negara, yang mengharuskan seseorang bisa berkomunikasi dengan banyak orang dari latar belakang yang berbeda-beda.
Namun, sifat keramahan yang melekat dengan beliau ini menjadi lebih istimewa karena peran strategis Ani Yudhoyono dalam berbagai masalah sosial dinilai berbagai pihak memberikan pengaruh yang signifikan pada berbagai bidang, seperti pemberdayaan perempuan, pendidikan, kesehatan, lingkungan dan sosial kebudayaan.
Peranan Ibu Negara
Kendati peran ibu negara lebih banyak dikaitkan dengan mendampingi presiden dalam tugas-tugasnya, baik di dalam dan luar negeri, tetapi dalam sebuah cuplikan wawancara di salah satu televisi swasta pada 2013 silam, Ani Yudhoyono justru merasa tidak pantas menyandang gelar sebagai ibu negara bila dirinya tidak mengambil peran lebih dalam pembangunan.
Oleh karena itu, mendiang menggagas beberapa inisiatif-inisiatif yang mendorong peningkatan kesejahteraan sosial. Predikat ibu negara yang terkesan hanya diserahi tugas-tugas komplementer tidak lantas dijadikan sebagai jeruji yang membatasi diri untuk berkontribusi kepada masyarakat.
Ibu negara bukanlah sebuah jabatan yang diperebutkan secara politis, tetapi di saat yang sama berperan penting dalam hal penguatan implementasi program-program pembangunan.
Menurut pengakuan seorang wartawan senior, Joseph Osdar, bahkan dalam beberapa kesempatan, Ani Yudhoyono sering membantu SBY menerjemahkan konsep-konsep besar menjadi serangkaian kegiatan yang bisa dilakukan (konkret). Selain itu, kemampuan mendiang dalam mencatat dan memperhatikan hal-hal detail sangat membantu SBY di kala melakukan kunjungan untuk menjaring aspirasi masyarakat.
Beragamnya kegiatan ibu negara seringkali tergerhanai oleh hingar-bingarnya sorotan media dan khalayak pada kepala negara. Perhatian yang lebih banyak tertuju pada isu kepresidenan dan pemerintahan berimplikasi pada terbentuknya persepsi publik mengenai politik yang penuh intrik, elitis dan tidak mengenal ampun.
Posisi ibu negara yang padahal berada dekat sekali dengan arena kekuasaan menjadi kurang mendapatkan tempat dan dianggap tidak bisa memunculkan nilai baru (public value) yang mampu mendobrak politik itu sendiri.
Memetik keteladanan
Melihat perjalanan Ani Yudhoyono, justru kita bisa melihat bagaimana kiprah mendiang telah memberikan warna tersendiri pada wajah politik kita yang dipenuhi pertentangan kuasa dan adu maskulinitas pada domain-domain strategis kebijakan nasional.
Beliau membuktikan jika stigma tentang ibu negara yang ‘hanya melakukan fungsi simbolik’ itu bisa direntangkan dalam konteks mempercepat eksekusi ide menjadi program. Buktinya, valorisasi nilai publik itu ada semasa baktinya, yaitu kepekaan sosial dan kemanusiaan, terutama menyangkut pemuliaan perempuan dan anak-anak. Kepedulian beliau sebagai seorang figur publik yang bernuansa eco-feministik juga menghidupkan semangat membangun kesejahteraan.
Melalui prakarsanya bersama Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu (SIKIB) dalam lima pilar yang dikenal dengan Indonesia Pintar (pendidikan), Sehat (kesehatan), Kreatif (pemberdayaan), Peduli (sosial kebudayaan), dan Hijau (lingkungan), Ani Yudhoyono menekankan bahwa spektrum politik itu haruslah meluas sebentang dengan gerakan-gerakan humanis yang mengusung semangat integratif dalam menautkan manusia dengan sesamanya dan lingkungannya.
Sebagai contoh, beliau konsisten mengampanyekan gerakan menanam pohon untuk tiap kelahiran bayi dan mengedukasi perempuan untuk mengajarkan anak-anak mereka agar mencintai lingkungan semenjak dini.
Dari beliau kita memetik pelajaran berharga bahwa politik tidak saja sesempit tentang pertarungan ego kekuasaan, tetapi meluas pada kegentingan lain seperti bertarung mati-matian melawan kemiskinan, buta huruf dan kerusakan lingkungan.
Keteladanan beliau mengingatkan kita tentang perlunya politik yang nyawanya dihembuskan dari kebaikan bersama (common good). Politik tidak semestinya stagnan pada panggung retorika yang terlanjur dilumat kepentingan fana dan abai pada hakikat bernegara seperti yang tertuang pada sila kelima pancasila.
Berkat jejak rekam mendiang, tidak mengagetkan bila Ani Yudhoyono menerima berbagai penghargaan atas kerja-kerjanya. Salah satunya ialah penghargaan sebagai tokoh pemberdayaan perempuan dalam pendidikan dari UNESCO di tahun 2013. Ini menjadi warisan keteladanan yang berharga bagi pemimpin, aktifis dan terutama tokoh-tokoh muda bahwa jabatan itu seyogyanya kongruen dengan pengabdian.