Senin, Oktober 14, 2024

Anggaran Pendidikan dan Diskriminasi Sosial

Dwi Munthaha
Dwi Munthaha
Fasilitator andragogi tematik.

Kebijakan pemerintah menyelenggarakan pendidikan jarak jauh (PJJ) akibat dari pandemi Covid -19, baru-baru ini sudah dilengkapi dengan subsidi quota internet. Sebelumnya, selama satu semester PJJ, beban quota internet praktis menjadi tanggungan dari semua warga belajar sekolah formal. Kesulitan ekonomi semakin dirasakan berat, karena adanya pengeluaran tambahan agar proses belajar-mengajar tetap dapat dilaksanakan.

Penyaluran anggaran senilai Rp. 8,9 triliun seakan menjadi angin segar dari kerisauan para warga belajar sekolah formal. Namun, apakah langkah tersebut merupakan solusi? Tentu bagi sebagian besar kalangan membenarkan pertanyaan tersebut.

Setidaknya, menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII, 2019), ada sebanyak 171,17 juta pengguna internet di Indonesia. Artinya,  92,99  juta lainnya belum tersentuh fasilitas tersebut.

Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo, 2019) menyebutkan, ada sekitar 24 ribu desa yang belum terjangkau akses internet. Dengan asumsi, jumlah penduduk desa berdasarkan klasifikasi Desa Kecil hingga Desa Terbesar dirata-ratakan 1.000 jiwa, maka 24 ribu desa baru mencapai 24 juta jiwa.

Dapat dianggap,  sebagian besar lainnya adalah penduduk miskin yang tersebar di perkotaan atau desa-desa yang sudah terakses internet. Jadi meski pun langkah pemerintah menggolontorkan anggaran yang terbilang besar, pada kenyataannya belum mampu sepenuhnya melaksanakan mandat konstitusi, “setiap warga negara  berhak mendapatkan pendidikan“(UUD 1945, Pasal 33, ayat 1).

Pentingnya pendidikan dapat dilihat dari UUD 1945 yang mewajibkan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD dialokasikan untuk pendidikan (UUD 1945, Pasal 33, ayat 4).  Pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020, pemerintah mengalokasikannya hingga 29,6%. Angkanya mencapai Rp. 505,8 triliun.  Angka ini naik di RAPBN 2021 sebesar Rp. 549, 5 triliun,  kendati persentasenya menurun ke batas minimal 20%.

Mahal dan Minimnya Manfaat

Dokumen Kementerian Keuangan berjudul Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Fiskal (KEM-PPKF) 2021, menjelaskan bagaimana postur RAPBN untuk 2021 dengan kondisi dunia pendidikan nasional yang memprihatinkan. Indikator kinerja pendidikan antara lain, Skor PISA (Programme for International Student Assessment), HCI (Human Capital Index), kompetensi guru, dan ketimpangan kualitas pendidikan antardaerah, masih belum menunjukan perbaikan yang signifikan (KEM-PPKF, 2020).

Skor PISA 2018,  menempatkan pelajar Indonesia dalam kategori low performer pada tiga subjek (literasi, matematika dan sains). Indonesia hanya di atas Myanmar (peringkat 107) dan Timor Leste (peringkat 118). Laporan Bank Dunia tahun 2018 juga menunjukkan, skor HCI Indonesia menempati peringkat 87 dari 157 negara, di bawah Singapura (peringkat 1), Vietnam (peringkat 48) dan Malaysia (peringkat 55).

Besarnya anggaran pendidikan dan rendahnya pencapaian, menurut analisis Kemenkeu berakibat pula pada rendahnya daya saing dan ketahanan ekonomi. Walau Indonesia sejak tahun 2019 sudah diakui dalam kategori upper-middle class group,  komposisi penduduk Indonesia masih didominasi oleh Aspiring Middle Class (AMC) yang potensial turun ke golongan rentan dan mudah kembali terjebak kemiskinan. Menurut data Susenas 2019, sekitar 48,2 % penduduk masuk dalam kriteria AMC dan 20,6%  masuk golongan rentan yang mudah jatuh kembali miskin, sementara upper class sendiri hanya 0,4%.

Mengubah Paradigma

Analisis Kemenkeu menunjukkan pengetahuan yang mendalam tentang kondisi pendidikan di Indonesia. Hanya saja, solusi yang ditempuh masih mengikuti mindset pertumbuhan ekonomi. Hal ini ditunjukan dengan gagasan menyelaraskan pendidikan dengan prioritas sektor produksi dengan yang masih dianggap lemah.

Untuk itu kebijakan yang akan diambil antara lain adalah: 1) Menjadikan sektor produksi dengan impak ekonomi tinggi sebagai target investasi terutama yang bersumber dari luar negeri, baik dengan impor teknologi maupun Foreign Direct Investment (FDI) guna membangun kapabilitas pengetahuan (know-how); 2) Menghilangkan regulasi yang menghambat proses investasi dan kemudahan berusaha (KEM-PPKF, 2020).

Mengikuti logika pertumbuhan ekonomi yang mensyaratkan modal finansial yang besar dan harus mengandalkan investasi asing,  pada kenyataannya sudah dijalani sejak rezim Orde Baru (Orba). Capaiannya memang terbukti dengan cepat melesatkan angka pertumbuhan ekonomi, yang di rezim sebelumnya dianggap terpuruk.

Namun, konsekuensi dari pertumbuhan yang tinggi tersebut adalah terjadinya kerusakan alam dan kesenjangan sosial yang akut. Perilaku kekuasaan politik yang berkelindan dengan segelintir aktor ekonomi, menghasilkan kelompok yang superkaya.

Logika trickle down efect, pada kenyataannya bukan berbentuk distribution of wealth, melainkan kendali politik pada masyarakat yang pada umumnya miskin. Reformasi tidak mampu menghilangkan kendali itu, karena residu politik dari rezim Orba, justru masih dan semakin menguat. Kroni dan anak-cucunya semasa Orba masih beredar di pusaran kekuasaan hingga kini.

Pandemi Covid-19 sedang menguji berbagai sistem yang kita anut, termasuk sistem pendidikan. Pendidikan selama ini diakui hanya berdasarkan tingkatan dan ijazah yang dimiliki oleh seseorang. Saat memasuki dunia kerja, pengetahuan diakui hanya berdasarkan tingkatan dan nilai-nilai akademis yang diperolehnya. Sementara pengetahuan, sebagian besar bukan berasal dari sekolah formal. Persyaratan untuk itulah yang membuat pendidikan berkontribusi pada diskriminatif  sosial (Illich, 1972).

Kemampuan keuangan negara yang terbatas harusnya dijadikan dasar untuk mengubah paradigma pendidikan. Pendidikan sudah saatnya tidak lagi diidentikkan dengan sekolah formal. Output dari pendidikan adalah pengetahuan yang turunannya berupa ketrampilan yang berguna bagi orang ketika hendak menggunakan haknya untuk bekerja.

Pekerjaan sendiri, sudah saatnya kembali memperhatikan kebijaksanaan tradisional, bahwa fungsi kerja pada hakikatnya adalah: memberi kesempatan orang untuk memanfaatkan dan mengembangkan bakat-bakatnya; memampukan orang mengatasi sifat egoisme dengan bergabung dengan orang lain dalam tugas bersama; dan menghasilkan kebaikan-kebaikan dan jasa- jasa yang dibutuhkan semua orang untuk eksistensi yang layak. Pekerjaan semacam itu disebut sebagai pekerjaan yang bermartabat (Schumacher, 1980).

Namun pilihan pekerjaan yang bermartabat dalam perkembangannya semakin langka. Pekerjaan bahkan mengalienasi kemanusiaan para pekerja. Eksploitasi yang sebelumnya ditujukan hanya pada sumberdaya alam, juga dialami oleh para pekerja. Hal ini tak lain disebabkan oleh orientasi pertumbuhan ekonomi yang mengedepankan industrialisasi tanpa mempertimbangkan  aspek kemanusiaan dan ekologis.

Kerusakan ekologis dampak dari industrialisasi yang serampangan, berakibat pada ketidakseimbangan dalam ekosistem. Hal inilah yang membuat bencana-bencana alam dan non alam sering terjadi, termasuk virus-virus penyakit baru seperti Covid -19.

Dwi Munthaha
Dwi Munthaha
Fasilitator andragogi tematik.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.