Saat sebagian rakyat Papua marah dan tersinggung dengan sebuatan “Monyet”, saya langsung bertanya kepada diri sendiri, “Bagaimana seandainya jika saya menjadi salah satu bagian dari warga asli Papua?”
Begitulah cara pertama saya memahami ketersinggungan saudara-saudara saya di Papua. Ternyata, setelah saya renungi dalam-dalam, ketersinggungan warga Papua itu adalah sebuah hal yang sangat wajar meskipun juga berlebihan ketika sampai turun ke jalan dan berujung kerusuhan.
Perlu disadari dan dipahami bahwa bisa jadi, saya ataupun Anda, pernah memiliki pemikiran bahwa saudara kita di Papua memang berbeda, terutama dalam hal fisiknya. Bahkan, disadari atau tidak, saat kita bertemu dengan orang dengan rambut gimbal dan kulit hitam, akan buru-buru mengamini bahwa orang itu adalah orang Papua. Padahal, bisa jadi orang itu bukan orang Papua.
Saya yang hidup di Yogyakarta dan pernah mengenyam bangku kuliah di salah satu Universitas di Kota Pelajar itu, melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana saudara-saudara di Papua yang kuliah di Yogyakarta dikucilkan, terlebih sejak meletusnya kasus penyerbuan oknum TNI di Lapas Cebongan beberapa tahun lalu.
Pada taraf nasional, rakyat Papua juga harus menelan pil pahit saat kekayaan alamnya dikeruk. Sama seperti daerah lain yang warganya memprotes beberapa tambang yang membuat lingkungannya rusak dan berujung kerusuhan. Sebabnya sama, ada rasa ketidakadilan. Begitulah yang dirasakan saudara-saudara kita di Papua.
Semua itu diperparah dengan adanya media sosial yang menjadi api dalam sekam. Sejak kemajuan media sosial, otomatis ujaran kebencian SARA semakin liar dan tidak terkontrol.
Ketika sebagian warga Papua merasa tertindas, merasa dikucilkan serta merasa menjadi orang asing di negeri sendiri, tentu tidaklah bijak serta merta menyalahkan mereka. Bisa jadi, saya atupun Anda pernah secara langsung atau tidak langsung memperlihatkan kebencian kepada mereka. Mencaci mereka karena fisiknya yang berbeda. Bisa jadi pula, bangsa ini sendiri yang belum memahami benar apa itu Pancasila dan apa itu Bhineka Tunggal Ika.
Menjaga keutuhan, kerukunan serta persatuan bangsa ini menjadi tugas seluruh rakyat Indonesia, termasuk saya dan Anda. Maka sangat tepat apa yang dikatakan oleh Pramoedya Ananta Toer berikut ini:
“Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.” (Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, 1975.)
Fenomena fallacy (kekeliruan berfikir) harus dihilangkan. Jangan sampai ada pikiran saya lebih baik dari orang Papua, orang Jawa lebih baik dari orang Papua, atau lainnya. Jika pemikiran seperti itu masih ada di benak rakyat dan pemerintah, maka Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika hanya menjadi kata tiada bermakna, begitu juga teriakan Saya Pancasila, NKRI harga mati, hanya sebatas teriakan kosong saja.
Maka pertanyaan yang perlu kita jawab bersama, “Apakah kita sudah adil dengan saudara-saudara kita asal Papua, dan apakah kita benar-benar menganggap mereka sebagai saudara sebangsa dan setanah air?”
Tidak mudah menjadi berbeda, tidak mudah pula menjadi orang yang terasing, itulah yang saya rasa menjadi beban tersendiri bagi saudara-saudara kita di Papua yang seringkali dianggap beda dan asing ketika berada di daerah lain.