Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2002, Pasal 1 ayat (1) tentang Perlindungan Anak, “anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Perkembangan secara kognitif dan kematangan secara psikis yang belum sempurna, menyebabkan mereka akan lebih mudah terkena dampak dari dunia digital.
Anak-anak sebagai individu yang dapat dikatakan belum sempurna baik secara fisik maupun psikologis, menjadikan mereka sebagai salah satu audiens khusus dalam dunia digital. Selain itu, belum cukupnya usia mereka (terkadang dianggap sebagai individu yang lemah), ketidakmampuannya untuk melawan, terutama kepada orang yang mungkin lebih tua darinya menyebabkan anak-anak rentan mendapatkan tindak kekerasan di ruang digital.
Kekerasan pada anak di dunia digital dapat diartikan sebagai segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan, baik secara emosional, fisik, penganiayaan, seksual atau perilaku pengabaian terhadap anak di ruang digital (Nunung & Siti, 2024). Sementara eksploitasi seksual anak dapat merujuk pada pemanfaatan anak sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan seksual melalui manipulasi atau kekerasan. Anak dijadikan sebagai sebagai objek seksual dan komersial, salah satunya melalui perdangangan anak sebagai pemuas kebutuhan seksual. Anak-anak merupakan target yang mudah untuk dijadikan objek kekerasan dan eksploitasi baik secara langsung, maupun di dalam dunia digital.
Dilansir dari situs Kemetrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak(PPPA), tercatat kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia per Januari hingga Juni 2024 mencapai 7.842 kasus, dimana kasus kekerasan seksual menempati kasus tertinggi sejak tahun 2019 hingga 2024 (KPPPA, 2024).
Kasus ini meningkat berbarengan dengan perkembangan teknologi. Kekerasan seksual yang biasa terjadi dalam dunia digital dapat merujuk pada kegiatan mengekspos foto-foto anak dalam keadaan telanjang, memberikan komentar yang mengarah kepada konteks seksual, dan mengirimkan konten-konten yang berbau seksual. Pelaku biasanya akan melakukan berbagai pendekatan, seperti pemberian hadiah, uang, juga termasuk dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kepada korban agar mereka menuruti dan memenuhi apa yang diinginkan oleh pelaku.
Kasus kekerasan seksual di Indonesia terhadap anak dibawah umur merupakan salah satu isu yang mencuri banyak perhatian di berbagai kalangan. Kasus kekerasan seksual yang dialami anak di dunia digital terjadi karena kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh orang tua serta rendahnya kemampuan literasi digital yang dimiliki baik oleh anak, bahkan para orang tua.
Kasus kekerasan yang terjadi dalam media digital biasanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak dikenali sebelumnya oleh korban. Mereka melakukan komunikasi dan menjalin hubungan melalui sebuah aplikasi. Tetapi kekerasan seksual di Indonesia menjadi sangat ironis ketika pelaku dari kekerasan seksual adalah orang-orang terdekat dari anak tersebut, seperti teman, bahkan anggota keluarga sendiri.
Kekerasan seksual terhadap anak bukanlah kasus kekerasan yang tidak bisa dianggap remeh karena berdampak pada proses tumbuh kembang anak. Kekerasan seksual dapat memberikan trauma, ketakutan, hingga stress yang berkepanjangan. Hal tersebut tentunya akan menjadi penghambat bagi anak dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Anak sebagai generasi penerus bangsa memegang peran penting dalam pembangunan di masa yang akan datang. Setiap anak di Indonesia berhak atas keberlangsungan hidup mereka, tumbuh dan berkembang dan berhak mendapatkan perlindungan dari diskriminasi dan kekerasan. Hal tersebut selaras dengan Undang-Undang Dasar Pasal 28B Ayat (2).
Fenomena kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur dapat dilihat denganmenggunakan teori kekuasaan milik Michel Foucault. Dalam konteks kekerasan seksualterhadap anak, teori ini menggambarkan bagaimana pengaruh kekuasaan yang dimiliki oleh pelaku sebagai orang yang lebih tua, terhadap anak-anak sebagai korban yang bahkan mungkin belum memiliki kemampuan untuk mengontrol bahkan menguasai dirinya sendiri.
Online Child Sexsual Expliitatuinnand Abuse (OCSEA), merupakan salah satu istilah yang menggambarkan bentuk-bentuk eksploitasi secara seksual pada anak. Berikut ini bentuk-bentuk kekerasan seksual pada anak yang terjadi di dunia digital (Hana & Siti, 2024):
1. Child sexsual abuse material atau CSAM, merupakan bentuk kekerasan yang merujuk pada seluruh materi yang merepresentasikan eksploitasi anak secara seksual, misalnya memproduksi dan menyebarkan video, gambar, atau konten digital lainnya yang tentunya melibatkan anak-anak di bawah umur.
2. Grooming Online, merupakan proses ketika orang yang lebih dewasa mencobamembangun dan menjalin hubungan dengan seorang anak yang dilakukan melaluimedia digital. Grooming juga dilakukan dengan tujuan untuk mengeksploitasi anaksecara seksual. Pelaku akan memposisikan dirinya sebagai teman virtual korban agarlebih mudah dalam mengeksploitasi anak secara seksual.
3. Sexting, adalah bentuk kekerasan seksual di dunia digital dimana anak memfoto atau merekam bagian-bagian tubuh mereka, kemudian mereka sebarkan kepada orang lain. Sexting dapat berisiko menjadikan anak sebagai korban cyberbullying dan pemerasan seksual karena memungkinkan gambar mereka disalin untuk digunakan sebagai koleksi materi seksual.
4. Live Streaming, merupakan bentuk kekerasan seksual berupa pelecehan seksual anak dan eksploitasi yang dilakukan secara real-time, yang dilihat melalui streaming.
5. Sextortion atau pemerasan seksual, merujuk pada kegiatan pelaku memeras anaksebagai korban untuk memenuhi kebutuhan seksualnya, meminta uang, dan sebagainya dengan menggunakan ancaman. Ancaman tersebut biasanya berupa men share atau mengunggah foto atau video anak di media sosial.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh (Anna, Astuti, Patrick, & Yonna, 2020), menjelaskan tentang bagaimana fenomena grooming online dan pelecehan seksual terhadap anak dibawah umur dilakukan melalui teknologi digital, yaitu aplikasi game online “Hago”.
Memperkenalkan dunia digital pada anak mungkin akan membuat para orang tuamenghadapi dilema yang besar. Di satu sisi, perkembangan teknologi yang bergerak sangat cepat, menuntut setiap individu untuk dapat menggunakan teknologi agar mereka tidak tertinggal oleh zaman.
Di sisi lain, dampak negatif dari teknologi dapat menjadi ancaman besar bagi perkembangan anak. Yang mungkin dapat dilakukan oleh para orang tua adalah dengan memperkenalkan teknologi dan dunia digital yang dibarengi dengan kemampuan literasi digital pada diri anak-anak.
Melalui literasi digital, dapat mendorong perkembangan anak dalam menghadapi kompetisi digital, kemandirian, dan kreativitas. Selain itu, literasi digital juga dapat memberikan anak-anak pengetahuan tentang bagaimana menggunakan teknologi seharusnya, kemanan internet, etika online, serta meningkatkan keterampilan dasar penggunaan digital (Agus, 2024).Dengan demikian, pentingnya peran para orang tua dalam mengawasi anaknya ketika menggunakan gadget serta penanaman kemampuan literasi digital kepada anak sedini mungkin untuk meminimalisir kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di dunia digital.