Senin, Oktober 7, 2024

Anarki, Mengapa Ditakuti?

Anicetus Windarto
Anicetus Windarto
Peneliti di Litbang Realino, Sanata Dharma, Yogyakarta

Aksi yang dilakukan oleh kelompok “Anarko Sindikalisme” di beberapa kota seperti Bandung, Jakarta, Malang dan Surabaya, pada peringatan May Day (Hari Buruh) tahun 2019 ini cukup mengejutkan.

Meski di tahun 2018 lalu di Yogyakarta, tepatnya di jalan utama sekitar kampus UIN Kalijaga, aksi serupa juga terjadi dengan gaya yang serupa. Berpakaian hitam-hitam, kebanyakan berumur di bawah 20 tahun, dan beraksi secara individual meski ada dalam sebuah kelompok.

Bagi Benedict Anderson (Di Bawah Tiga Bendera. Anarkisme dan Imajinasi Antikolonial, Marjin Kiri, 2015), aksi seperti itu sesungguhnya memiliki sejarah yang cukup panjang dan biasanya berujung pada kekerasan, bahkan kematian.

Hal itu disebabkan karena aksi yang bergerak kalap terus-menerus seperti hubungan antar bintang di langit terlanjur dipandang meresahkan, mengganggu, bahkan mengancam, ketenangan dan kenyamanan dalam hidup sehari-hari.

Maka tak heran jika pada konvensi Partai Republik tahun 2004 di New York, kepolisian metropolis menyatakan bahwa ancamannya bukan berasal dari orang-orang komunis, bukan pula dari fanatikus Muslim, melainkan dari kaum anarkis.

Pernyataan yang sebenarnya agak tendensius itu tampak mau mewariskan suatu “ketakutan” yang sebelumnya telah distigmakan, baik pada orang-orang komunis maupun fanatikus Muslim.

Dengan stigma itu, masyarakat pun dengan mudah dibuat tunduk dan patuh tanpa mampu melakukan perlawanan apapun. Maka tak heran jika tuduhan, seperti komunis, teroris, dan/atau radikalis, begitu dihindari dan dijauhi agar tidak terkena “tulah/kutukan” daripadanya.

Penting untuk diketahui bahwa anarki adalah gerakan yang khas bentuknya dan beraneka ragamnya di akhir abad ke-19 dengan prinsip “berorganisasi tanpa pemimpin”. Dengan prinsip itu, kaum anarkis dengan bebas bergerak secara individual untuk melawan imperialisme dan/atau kolonialisme yang telah berganti wajah dalam globalisasi mutakhir.

Penemuan teknologi modern, seperti telegraf, percetakan, kapal uap, atau kereta api, justru semakin memperluas gerakan perlawanan kaum anarkis yang dengan cepat memanfaatkan migrasi lintas samudra untuk berjejaring dengan siapa saja dan di mana saja. Petani dan buruh di luar Eropa, termasuk penulis dan seniman “borjuis”, serta gerakan nasionalis “kecil” dan “ahistoris”, dirangkul sebagai sesama aktivis politik yang bukan lagi berpaham Marxis, melainkan anarkis migran.

Salah satu tokohnya adalah José Rizal dari Filipina yang adalah novelis jenius di Asia. Rizal yang dikenal juga sebagai bapak nasionalisme di Filipina telah dieksekusi mati di hadapan regu tembak di ruang terbuka bernama Bagumbayan (Taman Luneta) pada 30 Desember 1896.

Padahal sebagai novelis, Rizal telah menerbitkan dua karya termahsyur, masing-masing dengan judul Noli me tangere (Jangan Sentuh Aku) dan El Filibusterismo (Merajalelanya Keserakahan). Dua karya yang telah menciptakan sebuah imajinasi tentang “masyarakat” di Filipina yang utuh dan kontemporer serta “tanpa kelas”.

Hanya sayangnya, Rizal terlampau tergoda untuk menjadi guru politik bangsanya dengan mengandalkan pada kekuatan pidato atau artikel kritis, sebagaimana kaum terpelajar Filipina pada umumnya, lebih daripada novel-novelnya. Itulah mengapa Rizal yang baru berumur 36 tahun dengan segera diadili dengan dakwaan penghasutan dan pengkhianatan di hadapan mahkamah militer.

Meski tanpa dihadiri oleh para juri, sidang yang berlangsung hanya satu hari menjatuhkan vonis hukuman mati pada Rizal di tempat di mana seperempat abad sebelumnya tiga orang pastor sekuler dihukum cekik dengan gelang besi.

Tragis, memang. Namun, kematian Rizal yang dianggap sebagai martir nasional telah menyulut api pemberontakan di Filipina. Jalan lapang menuju cita-cita kemerdekaan dari imperium Spanyol pun terbuka bagi bangsa Filipina.

Hanya sayangnya, proyeksi novel ketiga yang “indah” dan “artistik” tak membuahkan apa pun juga. Bahkan dua novel sebelumnya hanya tinggal menjadi kenang-kenangan yang sudah berada di luar cita-cita gerakan revolusionernya yang bertumpu pada anarkisme.

Inilah wajah anarki yang telah kehilangan imajinasi dan dengan mudah diberantas, bahkan distigmakan setara atau lebih daripada komunis dan/atau teroris. Anarki yang pada mulanya merupakan suatu gerakan kritik sosial baru dengan prinsip di atas selalu dianggap sebagai bahaya besar justru karena dikerjakan tidak dengan serius dan militan.

Artinya, para anarkis yang sesungguhnya anti imperialisme, kolonialisme, dan bahkan globalisme, seakan-akan mustahil untuk menciptakan “kegelisahan”, sebagaimana dibayangkan oleh Sutan Sjahrir pada akhir tahun 1945, jika tanpa ada yang merekayasakannya.

Faktanya, pada peristiwa Haymarket Martyrs di Chicago, akhirnya diketahui bahwa yang membuat kericuhan dengan melempar bom ke tengah pasukan polisi dalam demonstrasi damai kaum buruh adalah para agen polisi sendiri.

Maka, adilkah jika memandang anarkisme sebagai bahaya besar yang lucunya di tempat cikal bakalnya Hari Buruh 1 Mei (May Day) dinobatkan hanya diperingati dengan sebuah monumen?

Anicetus Windarto
Anicetus Windarto
Peneliti di Litbang Realino, Sanata Dharma, Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.