Rabu, April 24, 2024

Analisis Kasus Novel Baswedan: Hukum Indonesia Bertuan

Novianto Topit
Novianto Topit
Akrap di sapah Novry, Usia 26 Tahun, asli Kota Bitung, Sulawesi Utara, Lulusan IAIN Manado, Fakultas Tarbiyah, Jurusan PAI, Wakil Bendahara DPP IMM.

Hukum dan adil layaknya dua hal yang tidak terpisahkan. Namun, realita menunjukan bahwa dalam beberapa kasus persidangan di Indonesia, justru hukuman yang diberikan kepada terdakwa tidak memperlihatkan adanya keadilan. Katakanlah, kasus penyiraman Novel Baswedan yang sedang hangat diperbincangkan publik belakangan ini.

Cerita panjang penelusuran kasus penyiraman air keras pada Novel Baswedan yang merupakan salah satu penyidik senior KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), setelah kurang lebih Tiga Tahun Enam Bulan, akhirnya berakhir dengan menuai kritikan. Karenanya, putusan hakim dan dakwaan JPU  (Jaksa Penuntut Umum) dianggap memihak kepada terdakwa.

Novel Baswedan Penghianat?

Pada saat proses sidang, kedua tersangka menyampaikan bahwa alasan mereka melakukan kejahatan tersebuat karena tidak suka dengan Novel Baswedan, dalam pandangan mereka Novel Baswedan adalah penghianat. Pertanyaannya, pada siapa Novel Baswedan berkhianat?

Jika di tarik simpul dari kedua tersangka yang berstatus anggota Polri, dan Novel Baswedan yang merupakan anggota Polri, bisa di ambil suatu kesimpulan bahwa yang dimaksutkan mereka adalah Novel Baswedan berhianat pada Polri.

Dalam biografi Novel Baswedan, kita bisa mengetahui bahwa Novel Baswedan merupakan anggota Polri yang mengundurkan diri demi tugasnya sebagai penyidik di KPK, sekiranya kegiatan itu terjadi pada Tahun 2014.

Selain itu Novel Baswedan juga pernah terlibat penyelidikan dugaan kasus korupsi yang menjerat Djoko Susilo, dan juga Budi Gunawan, yang keduanya merupakan elite Polri. Apakah ini yang dinamakan penghianatan?

Dalam konteks pengabdian kepada Polri mungkin Novel Baswedan bisa dikatakan penghianat, namun dalam konteks pengabdian pada bangsa dan negara Novel Baswedan masih setia mengabdi, berkontribusi, memberikan diri untuk menuntaskan kasus – kasus korupsi di Indonesia.

Meski begitu,  melakukan kejahatan kepada orang lain karena menganggap dia penghianat, atau alasan apapun, bukanlah cara yang dibenarkan di hadapan hukum. Apalagi yang melakukan tindak kejahatan adalah anggota Polri yang merupakan bagian dari penegak hukum di Indonesia.

Lantas, apa perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anggota Polri, bukan suatu penghianatan terhadap isntitusi Polri itu sendiri?

Hukum Indonesia Memiliki Tuan

Saya merasa takjub dengan kehebatan terdakwa kasus penyiraman air keras yang mengakibatkan salah satu mata Novel Baswedan mengalami cacat permanaen ini. Dua orang anggota Polri yang tidak begitu dikenal publik, mampu mendapatkan pertimbangan hukum dengan vonis yang rendah dari Jaksa Penuntut Umum. Luar biasa bukan?

Rahmat dan Rony mungkin juga memiliki keahlian menghilangkan jejak, yang bahkan melebihi teroris sekelas Amrozi. Dalam waktu, kurang dari 1 Bulan, Amrozi bisa langsung ditangkap oleh Polri.

Namun, Rahmat dan Rony bisa mengelabuhi Polri, Komnas HAM, KPK, Akdemisi dan unsur lainnya yang terlibat dalam Tim Gabungan pengungkap kasus Novel Baswedan, yang di bawah tanggung jawab Tito Karnavian.

Sebenarnya dalam proses penyelidikan ini merupakan hal yang wajar terjadi, karena merupakan opsi terakhir dari suatu lembaga untuk menduga anggotanya melakukan tindak pidana. Layaknya, seorang ibu yang pasti enggan menuduh anaknya ketika terjadi kehilangan di rumahnya sendiri.

Namun ketika publik mendapatkan informasi adanya seseorang yang mendapatkan perlakuan kusus oleh JPU dan Hakim dalam putusan pidana, dengan memilih putusan terendah dengan alibi yang kelihatan aneh dan mencurigakan, tentu merupakan suatu kewajaran jika publik menduga ada dalang dibelakang pelaku.

Saya tidak ingin menelusuri lebih dalam tentamg siapa dalang dibalik tindakan kejahatan yang dilakukan Rahmat dan Rony pada Novel Baswedan, atau menduga bahwa Rahmat dan Rony hanyalah tumbal. Namun yang jelas, indikasi ini jelas menunjukan bahwa hukum di Indonesia adalah hukum yang bertuan.

Seakan, ada seseorang yang dengan mudah dan sewenang – wenang mengendalikan jaksa dan hakim dari balik layar. Lihat saja, bagaimana penanganan hukum di Indonesia, memberikan isyarat bahwa orang tertentu dapat dipidanakan dengan mudah dan mengambil dakwaan paling berat, dan ada orang tertentu yang prosesnya lama, dan mengambil dakwaan yang ringan.

Hal lain, yang memperkuat ini, ketika dalam.beberapa kasus oknum yang memiliki peran penting dalam suatu lembaga hukum negara terjerat kasus korupsi atau suap. Semakin jelas bahwa hukum di Indonesia memiliki tuan, iya kan?

Jika ada yang tanya siapa tuan hukum di Indonesia, yang sewenang–wenang mengendalikan hukum dari balik layar, jawaban sederhanya adalah:

Pertama, politisi, pejabat pemerintahan, atau pengusaha yang memiliki pengaruh atau kekuasaan politik dalam menentukan nasib seseorang atau sekelompok orang yang memainkan peran sebagai pimpinan atau anggota lembaga penegak hukum yang ada di Indonesia.

Kedua, politisi, pejabat pemerintahan, atau pengusahan yang mampu berikan uang dengan jumlah uang yang banyak, untuk mempengaruhi dakwaan Jaksa dan putusan hukum Hakim yang menangani kasus yang dimaksut.

Oleh karenanya, belajar dari kasus Novel  Baswedan, merupakan harapan masyarakat Indonesia, bahwa hukum dapat benar–benar ditegakkan dengan seadil – adilnya. Layaknya, proses hukum bertuan pada keadilan, bukan pada tuan – tuan yang hanya mempedulikan keluarga, dan kolega.

Novianto Topit
Novianto Topit
Akrap di sapah Novry, Usia 26 Tahun, asli Kota Bitung, Sulawesi Utara, Lulusan IAIN Manado, Fakultas Tarbiyah, Jurusan PAI, Wakil Bendahara DPP IMM.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.