Rabu, September 3, 2025

Analisis Dampak Perang Dagang AS terhadap Perekonomian Indonesia

Rizaldy Ali
Rizaldy Ali
Global Politics and Social Policy Issues Analyst
- Advertisement -

Perang dagang AS dimulai pada 2018 di bawah pemerintahan Trump, yang mengenakan tarif impor 25% untuk baja dan 10% untuk aluminium (Max Zahn, 2024). Kebijakan ini bertujuan melindungi industri domestik, menciptakan lapangan kerja, dan mengurangi defisit perdagangan.

Selain itu, langkah ini didasari kekhawatiran AS akan pertumbuhan pesat Tiongkok yang dianggap sebagai ancaman langsung terhadap dominasi ekonomi AS.Dikutip dari arsip Office of the United States Trade Representative (2018), Amerika Serikat berkomitmen untuk menggunakan semua alat yang tersedia untuk menanggapi perilaku China yang tidak adil dan mendistorsi pasar.

Praktik perdagangan Tiongkok yang belum pernah terjadi sebelumnya dan tidak adil merupakan tantangan serius tidak hanya bagi Amerika Serikat, tetapi juga bagi sekutu dan mitra kami di seluruh dunia.Kebijakan tarif Trump berdampak pada rantai pasok global, memperlambat ekonomi, dan meningkatkan ketidakpastian pasar (HKS, 2025). Hal ini melemahkan peran WTO dan mendorong proteksionisme, menciptakan lingkungan ekonomi global yang tidak stabil.

Penulis secara spesifik akan membahas mengenai; Bagaimana potensi dampak perang dagang Amerika Serikat terhadap perekonomian Indonesia?Menurut Trump, defisit perdagangan AS, khususnya dengan Tiongkok, merupakan indikasi kerugian ekonomi. Ia menganggap uang yang mengalir untuk membeli barang impor adalah kerugian dan menggunakan tarif sebagai alat untuk memperbaiki ketidakseimbangan ini (Andrew Walker, 2019). Faktanya, AS juga mengalami inflasi yang puncaknya 9,1% pada Juni 2022, jauh di atas target Federal Reserve 2%, meskipun telah turun menjadi 2,3% pada April 2025.Menurut Trump, defisit perdagangan adalah kerugian ekonomi. Ia menggunakan tarif sebagai alat untuk memperbaiki ketidakseimbangan ini (Andrew Walker, 2019). Sementara itu, AS mengalami inflasi ekstrem yang mencapai 9,1% pada Juni 2022, meskipun kemudian turun menjadi 2,3% pada April 2025.

Tarif Universal 10% & Tarif Resiprokal

Tarif universal merupakan pajak impor sebesar 10% yang diterapkan pada seluruh barang yang masuk ke AS, kecuali untuk produk seperti minyak mentah, farmasi, dan semikonduktor. Tarif ini bersifat universal karena berlaku bagi semua negara mitra dagang AS.

Adapun tarif resiprokal adalah tarif tambahan dan lebih tinggi yang diberlakukan pada impor dari negara-negara tertentu yang dianggap memiliki defisit perdagangan besar dengan AS atau yang AS yakini menerapkan tarif lebih tinggi atau praktik perdagangan tidak adil pada produk ekspor AS. Negara-negara yang masuk daftar “tarif resiprokal” akan menghadapi tarif yang jauh lebih tinggi daripada 10% universal. Tarif ini bervariasi, mulai dari 11% hingga bahkan mencapai 50% (Knight Alert & Holland, 2025).

Tarif Bea Cukai Nasional Sektor Tertentu (Section 232 Tariffs)

Pajak impor untuk baja dan aluminium naik dari 25% menjadi 50% bagi sebagian besar negara, kecuali Inggris. Aturan ini juga berlaku untuk sektor lain seperti truk, suku cadang, mineral, kayu, pesawat, mesin jet, farmasi, dan semikonduktor.

Tarif Hak Kekayaan Intelektual Terhadap Tiongkok (Section 301 Tariffs)

Berdasarkan Undang-Undang Section 301, USTR (Kantor Perwakilan Dagang AS) berwenang menindak kebijakan perdagangan negara lain yang dinilai tidak adil. Di era pemerintahan Trump, undang-undang ini digunakan secara lebih agresif dan sepihak, terutama terhadap Tiongkok.Hubungan dagang Indonesia-AS sejak 1949 didominasi ekspor produk industri dan komoditas dari Indonesia. Sebaliknya, impor Indonesia dari AS berfokus pada kebutuhan industri seperti mesin dan petroleum. Kini, kebijakan tarif resiprokal AS menjadi tantangan besar bagi Indonesia.

Penelitian oleh Team DBS menyatakan bahwa penerapan tarif resiprokal 32 % untuk Indonesia berpotensi memangkas pertumbuhan GDP Indonesia sebesar 0.5 % tahun ini.

- Advertisement -

Penurunan Daya Saing Produk Indonesia

Pernyataan resmi pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri juga menyatakan bahwa: ” Pengenaan tarif resiprokal AS ini akan memberikan dampak signifikan terhadap daya saing ekspor Indonesia ke AS” (Kemlu, April 2025). Kenaikan tarif ekspor produk Indonesia ke AS menjadi 10% dari sebelumnya 0-5% langsung mengurangi daya saing. Biaya impor yang lebih mahal membuat produk Indonesia kehilangan daya tarik di pasar AS.

Penurunan Profitabilitas Eksportir Indonesia

Kenaikan harga jual produk Indonesia di AS akan menyebabkan hilangnya pembeli dan mengikis margin keuntungan eksportir. Hal ini pada akhirnya dapat mengurangi volume ekspor komoditas unggulan Indonesia ke AS.

Votalitas Pasar

Penurunan ekspor Indonesia ke AS dapat memicu volatilitas pasar keuangan dan menekan Rupiah. Bank Dunia (2024) memproyeksikan, tarif 10% berpotensi menurunkan ekspor manufaktur hingga $1,2 miliar pada 2025 (Pasardana, 2025). Data BPS (April 2025) juga menunjukkan nilai ekspor turun 10,77%, membuat surplus perdagangan anjlok (CNBC, 2025).Menurut Prof. Ali Muhammad, kebijakan tarif Trump mencerminkan meningkatnya sikap unilateralisme AS sejak 2017. Hal ini diperkuat dengan penarikan diri AS dari berbagai kesepakatan global, seperti Perjanjian Paris dan keanggotaan WHO (Kemlu 2025).

Analisis perang dagang AS dapat dilihat dari dua perspektif: Neoliberalisme Institusional dan Konstruktivisme. Neoliberalisme menganggap tindakan AS yang mengabaikan WTO melemahkan institusi global.

Sementara itu, Konstruktivisme menyoroti peran slogan “America First” dalam membentuk identitas proteksionis.Penulis menawarkan beberapa solusi perihal isu ini: 1.) Indonesia perlu untuk menggencarkan negosiasi dengan AS untuk menghindari tarif tinggi dan mengupayakan tarif yang lebih rendah; 2.)  Indonesia juga harus melakukan diversifikasi pasar ekspor dan memperkuat produk domestik; 3.) Upaya hilirisasi dan perbaikan iklim investasi menjadi krusial untuk menciptakan nilai tambah dan menarik investasi asing. Semua langkah ini harus didukung oleh kolaborasi yang solid antara pemerintah dan sektor swasta.

Referensi:

CNBC. (2025). Surplus Neraca Dagang April Terendah 60 Bulan Terakhir, Ini Sebabnya!. Diakses dari https://l1nq.com/NmF0p HKS. (2025, April 9).

HKS International Trade Expert Robert Lawrence on What Higher Tariffs Will Mean for the United States and the World. Diakses dari https://encr.pw/Lopet Kemlu. (2025).

Pernyataan Pemerintah Indonesia Terkait Penerapan Tarif Resiprokal Amerika Serikat. Diakses dari https://l1nq.com/lcist Smith, J. (2025, Mei 1).

Rethinking Global Trade: New Tariffs Impact Developing Nations. BBC News. Diakses dari https://sl1nk.com/FN6Ea

Trading Economic. (2025). United States Inflation Rate. Diakses dari https://tradingeconomics.com/united-states/inflation-cpiUSTR Archives. (2018, Maret 22).

President Trump Announces Strong Actions to Address China’s Unfair Trade. Diakses dari https://l1nq.com/f7BtL Walker, A. (2019, November 28). What Trump Wants from Global Trade. BBC News. Diakses dari https://www.bbc.com/news/business-50465651Zahn, M. (2024, Mei 31).

What’s Next for President Trump’s Tariffs After Whiplash Court Rulings?. Abs News. Diakses dari https://shorturl.at/VKtzR

Rizaldy Ali
Rizaldy Ali
Global Politics and Social Policy Issues Analyst
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.