Pertanyaan tersebut disodorkan oleh seorang ekonom, Amartya Sen dalam bukunya “Kekerasan dan Ilusi tentang Identitas” yang juga peraih Hadiah Nobel Ekonomi tahun 1998, melihat bagaimana perhatian mata dunia dalam memahami dan menganalisis mengenai segala bentuk peristiwa yang cenderung mengasosiasi serta mengaitkan dengan erat identitas seseorang maupun kelompok yang diwujudkan melalui afiliasi tunggal, yaitu agama.
Jika memperhatikan persepsi diatas dan kaitannya dengan acara Aksi Damai Reuni 212 yang berlangsung tanggal 2 Desember kemarin, dan digelar di pelataran Monumen Nasional, Jakarta, menarik perhatian beberapa pihak untuk ikut menganalisis dan menilai peristiwa tersebut yang substansi gerakannya masih bisa diambangi berbagai kemungkinan dan pertanyaan apakah substansi aksi damai ini bernuansa gerakan moral.
Mobilisasi gerakan politik, keagamaan, dan lain sebagainya. Tentunya ini mengajak kita untuk memilih diantara beberapa sikap yang berbeda berkenaan dengan persoalan-persoalan yang melibatkan politik, moral, sosial, tanpa harus mencampuradukkan preferensi keagamaan di dalamnya.
Akan tetapi, peristiwa reuni 212 memperlihatkan bahwa sumbangan penting ihwal agama di dalamnya bermula dari visi orang-orang yang menggerakkannya, dan tidak tertutup kemungkinan bahwa gerakan tersebut digerakkan oleh penggabungan kepentingan politis secara tidak langsung maupun agama secara langsung.
Meskipun begitu, kata “identitas” yang selama ini memenuhi ruang publik kita dan segala tindak tanduk yang disebabkan oleh perbedaan identitas, membawa kita pada masa dimana terkikisnya dan kurangnya nalar kritis dalam menganalisis dan mengidentifikasi identitas seseorang bahkan kelompok.
Namun demikian, masalah yang bisa kita anggap lebih besar dan lebih umum adalah konsekuensi buruk dari klasifikasi tunggal yang disusun eksklusif di seputar identitas keagamaan.
Reuni 212 kebanyakan di “judge” sebagai gerakan yang sepenuhnya beridentitaskan Islam. Sungguh suatu kerancuan yang menghasilkan pemahaman yang sangat keliru apabila menyimpulkan secara serampangan bahwa Reuni 212 adalah kumpulan individu yang sepenuhnya beridentitaskan muslim tanpa mencaritau aneka ragam latar belakang sosial, budaya, politis, maupun ideologi yang ikut dimiliki oleh individu tersebut.
Dalam bukunya, Amartya Sen mengelompokkan pemisahan mendasar bahwa terdapat suatu keengganan untuk membedakan antara (1) aneka asosiasi dan afiliasi yang dimiliki oleh seorang muslim (orang per orang bisa sangat berlainan) dengan (2) identitas khususnya sebagai orang Islam, cenderung mengalami kehampaan dalam ruang publik kita.
Rasionalitas tentang Identitas
Manakala kebutuhan untuk menjaga jarak antara kepentingan yang satu dengan yang lain adalah penting, dan disitulah seringkali orang memanfaatkan identitas sebagai pembatas pemberi sekat antara identitas lain yang berbeda dengannya.
Penyempitan akan “klaim” identitas tersebut mengejawantahkan hilangnya potensi pengembangan pemikiran rasional masing-masing orang untuk mencerdasi tentang pentingnya hal ihwal banyaknya identitas diluar etnisitas keagamaan yang sama-sama relevan untuk memahami diri seseorang dan hubungan antarwarga yang beragam latar belakang.
Bertolak kembali pada peristiwa Reuni 212 tidak bisa dipungkiri akan banyaknya pemilahan identitas dengan menggunakan pendekatan soliteris, yaitu pendekatan yang memandang manusia hanya sebagai bagian dari satu kelompok semata. Maka melalui tulisan ini saya mengajak pembaca sekalian untuk ikut memperbaiki nalar yang agak rancu tanpa perlu timbul nuansa kearah SARA.
Sesungguhnya, banyak pemaksaan identitas ini kerapkali menghilangkan diskursus masyarakat untuk mengkaji dan menalar ulang mengenai kemajemukan identitas masyarakat Indonesia secara umum.
Aksi damai reuni 212 mengikutkan beberapa partisipan yang memang bukan hanya berbuntut pada personalnya sebagai muslim. Nah disini kita akan membuka dan menarik kembali diskursus tersebut dengan mengatakan bahwa identitas seseorang yang sama tersebut dapat mengambil sekaligus identitasnya sebagai seorang muslim.]
Disamping itu, dia adalah seorang artis, pendukung petahana maupun penantang petahana, pecinta lingkungan, aktivis pembela HAM, identitasnya termasuk sebagai warga Jakarta, baik yang berasal dari Jawa maupun diluar Jawa, identitas profesinya sebagai guru honorer, PNS, dosen atau akademisi, anggota parpol, dan lain sebagainya.
Sehingga sangat menentukan kepada kita bahwa dari masing-masingnya partisipan yang ikut dalam aksi damai reuni 212 tersebut, tidak ada satu pun yang bisa disebut sebagai satu-satunya identitas yang dimiliki oleh orang tersebut, misalnya meng-judge bahwa dia hanya dikategorikan dalam identitas tunggalnya sebagai muslim saja.
Aksi damai Reuni 212 menandakan bahwa keinginan masyarakat Indonesia untuk mencerdasi kegiatan tersebut sangat minim. Keleluasaan kita untuk berpikir kritis sekarang tidak dilandasi dengan keinginan keluar dari hegemoni yang membatasi pemikiran kita sehingga akan lebih berbahaya apabila terjadi keserampangan wacana yang dibuat oleh seseorang mengenai pembicaraan seputar identitas.
Dengan adanya perbaikan diskursus mengenai “identitas” ini, kita berharap mampu membuka kembali sekat-sekat pemikiran lama yang mengatakan bahwa seseorang musti dipandang sebagai personal yang memiliki peran tunggal dalam setiap hal.
Akan tetapi, jika berbicara mengenai konteks dalam reuni 212 tersebut, kita tidak bisa salah men-diagnosis peristiwa itu dengan sikap yang menyebabkan konfrontatif di kalangan masyarakat yang beragam.
Perspektif mengenai identitas ini akan lebih jelas dan lengkap, serta rasional apabila diungkapkan dengan komprehensif, terbuka, juga berisi argumentatif konsisten. Akhir kata, dari analisis diatas dapat diambil fragmen yang penting, yaitu “Reuni 212 adalah Integritas yang melambangkan mutu dari personal yang tidak terlalu resisten, dan dicerdasi dengan mengambil logika yang benar bahwa identitas selalu terikat beragam dalam diri individu”.