Sabtu, April 20, 2024

Anak Sekolah Terlalu Dini?

Ami Pertiwi Suwito
Ami Pertiwi Suwito
Mahasiswa S1 Arsitektur Universitas Gunadarma

Salah satu anugerah indah yang bisa dimiliki oleh sepasang suami istri adalah seorang anak. Kelahiran seorang anak tentu tidak bisa dipandang seagai hasil pembuahan saja, namun juga sebagai titipan Tuhan yang harus dididik sebaik mungkin supaya mereka siap menjadi generasi penerus bangsa. Maka dari itu, setiap orangtua wajib menghidupkan pendidikan anak usia dini di rumah sebelum menyerahkan sang buah hati ke institusi pendidikan lain (sekolah).

Namun, kian hari tak sedikit orangtua yang terburu-buru menyekolahkan anaknya yang masih di bawah usia 5 tahun. Tindakan orangtua tersebut bisa terjadi karena beberapa masalah seperti kesibukan orangtua mencari uang, mengikuti tren, kebiasaan menyerahkan tangggung jawab mendidik anak kepada institusi pendidikan luar, dll. Maka tak heran kalau muncul anak-anak yang lebih banyak memperoleh pendidikan dini dalam institusi formal dibandingkan di rumah. Rumah pun yang seharusnya menjadi sekolah pertama bagi anak usia dini kini mulai dipersempit menjadi tempat memenuhi kebutuhan fisik keluarga saja.

Elly Risman sebagai psikolog anak pun menegaskan bahwa anak yang berusia di bawah 5 tahun masih butuh rangkulan orangtua yang intensif di rumah. Sehingga para orangtua hendaknya fokus mendidik anak di rumah terlebih dahulu, apalagi umur 0 sampai 5 tahun merupakan golden age bagi sang buah hati.

Artinya selama lima tahun tersebut, otak dan fisik anak bertumbuh secara maksimal. Begitupun dengan kepribadian anak, seperti pola perilaku, sikap, dan ekspresi emosi akan berkembang dalam golden age. Dengan demikian, orangtua perlu menjadi pendamping utama anak selama masa golden age, sehingga tidak perlu terburu-buru menyerahkan anak ke playgroup, PAUD, dan lembaga pendidikan lain yang sejenis.

Selain masalah golden age, dampak menyekolahkan anak terlalu dini terbukti menimbulkan dampak negatif yang signifikan. Ibu Elly Risman pernah menyampaikan kutipan dari buku “The Disappearance of Childhood” karya Neil Postman yakni “Jangan kau cabut anak-anak dari dunianya terlalu cepat, karena kau akan mendapatkan orang dewasa yang kekanakan.” Jika kita cermati pelan-pelan, kita mudah menjumpai tokoh-tokoh berumur dewasa namun berulah seperti anak kecil, mulai dari artis, komedian, sampai politikus. Mungkin ada yang bertanya, “masa cuma gara-gara menyekolahkan anak terlalu dini masyarakat bisa rusak”? Berikut di bawah ini alasannya:

Terlalu Banyak Peraturan

Hidup memang tidak pernah terlepas dari peraturan, guna menciptakan ketenteraman dalam kehidupan dunia akhirat. Namun banyaknya peraturan dalam kehidupan manusia pun tidak bisa langsung diterapkan sekalaigus, harus secara perlahan-lahan. Apalagi untuk anak usia dini. Anak-anak hendaknya mulai menerapkan peraturan-peraturan yang mendasar dulu sebagai pemanasan, seperti adab membuang air, membersihkan gigi, cara berdoa, dsb.

Jika anak di bawah umur 5 tahun sudah disekolahkan, maka akan ada peraturan tambahan yang berpotensi menimbulkan stress. Waktu pengajaran peraturan mendasar kepada anak di rumah saja tidak singkat, sehingga penambahan peraturan sekolah akan menjadi beban mental. Sebagai analogi, orang yang baru belajar menggambar baiknya menggambar yang sederhana dulu. Kalau orang tersebut baru mulai belajar tapi sudah disuruh membuat gambar sketsa yang detail, tentu ia akan stress mengerjakannya dan kurang fokus mengaplikasikan ilmu-ilmu dasar menggambar dengan terburu-buru.

Konsep Bermain yang Kurang Cocok

Salah satu alasan yang mendorong masyarakat unutk menyekolahkan anak pada usia dini adalah dengan fasilitis bermain yang lengkap dan terstruktur. Namun kita perlu bertanya kembali, apa betul anak memutuhkan alat permainan yang terstruktur? Elly Risman mengatakan tidak, karena anak usia dini cocoknya bermain dengan hal-hal sederhana di rumah. Contohnya seperti menggunakan sarung untuk terbang, bisa juga menggerakkan karpet untuk dijadikan mobil-mobilan.

Terakhir, mainan yang tak kalah penting bagi anak usia dini adalah tubuh Ibu dan bapaknya. Contohnya seperti bermain watak, bermain muka, petak umpat, dsb. Sebab permainan tubuh orangtua inilah yang akan menambah kelekatan antar anak dengan orangtua.

Alokasi Waktu yang Salah

Sebelumnya telah disebutkan bahwa masa anak-anak dari setiap manusia tidak boleh dicuri supaya kita tidak menemukan orang-orang dewasa yang kekanak-kanakan. Lantas jika orangtua menyekolahkan anak sebelum umur 5 tahun, alokasi waktu yang seharusnya dihabiskan untuk mempererat hubungan batin anak dan orangtua akan berkurang. Ingat, sebagus apapun pendidikan dan fasilitas dalam sekolah, itu tidak bisa menggantikan dunia bermain anak-anak dengan dampingan orangtua.

Lalu bagaimana jika kedua orangtua harus bekerja di luar rumah? Pertama, Ayah sebagai kepala rumah tangga wajib mencari nafkah untuk keluarga. Mau itu di dalam atau di luar rumah, menempuh perjalanan dekat atau jauh, yang pasti sang Ayah bertanggung jawab untuk mencari rezeki halal. Bagaimana dengan Ibu yang bekerja? Boleh-boleh saja selama pekerjaan tersebut tidak menjadikan sang Ibu lalai dalam mengurusi anak.

Sebab ikatan batin antar ibu dan bayi harus dijaga sebaik mungkin, mulai dari menyusui, mengendong, menggantikan popok, dsb. Jika sang ibu tidak sanggup, lebih baik fokus dulu menjadi ibu rumah tangga. Ingat, ibu rumah tangga juga merupakan profesi mulia meskipun tidak digaji seperti profesi lain. Sang Ayah tentunya perlu sang anak juga saat sudah sampai di rumah.

Sekian argumen penulis untuk mendorong masyarakat supaya tidak menyekolahkan sang buah hati terlalu dini. Para orangtua cukup fokus saja mendampingi anak dengan pendekatan emosional dan fisik.

Referensi:

Santi, Theresia. 2021. “Golden Age pada Anak dan Tahapan Pentingnya”, https://www.siloamhospitals.com/informasi-siloam/artikel/golden-age-pada-anak-dan-tahapan-pentingnya, diakses pada 9 Mei 2022.

Suci. 2018. “DAMPAK SEKOLAHKAN ANAK TERLALU DINI BY ELLY RISMAN”. https://suciryzkyaputri.wordpress.com/2018/02/21/dampak-sekolahkan-anak-terlalu-dini-by-elly-risman/, diakses pada 9 Mei 2022.

Ami Pertiwi Suwito
Ami Pertiwi Suwito
Mahasiswa S1 Arsitektur Universitas Gunadarma
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.