Minggu, Mei 19, 2024

Anak Milenial dan Sejuta Permasalahannya

Hans Catur Swastika
Hans Catur Swastika
Penulis adalah seorang guru di salah satu sekolah swasta. penulis memulai sebagai guru sejak tahun 2017.

Permasalahan-permasalahan yang muncul dikalangan milenial’s  kebanyakan muncul dengan masalah penampilan. Ini muncul diakibatkan oleh masifnya penggunaan media sosial yang cenderung menjadi ajang unjuk gigi para anak muda. Platform media sosial yang sangat banyak variasinya ini dapat diakses dengan mudah oleh semua kalangan masyarakat. Ditambah, adanya slogan era pemerataan digital disemua lapisan masyarakat.

Ketidaksiap-an masyarakat akan era digitalisasi muncul dengan banyak kasus-kasus yang berkaitan dengan media elektronik. Sebagai contoh, pada beberapa tahun silam marak ditemukan black campaign yang dilakukan oleh beberapa oknum pada masa pilpres dan pileg. Penggiringan opini dan ditambah dengan berita yang tersebar di media sosial hampir saja memecah belah bangsa ini.

Contoh kasus pada masa pemilu ini sendiri hanya sebagian kasus kecil yang muncul, Masih banyak lagi kasus yang dapat diambil sebagai contoh.

Namun, tidak perlu membahas kasus yang bersifat nasional dan ber-skala besar. Kita mulai saja dengan kasus- kasus yang paling dekat dengan kehidupan sehari-hari seperti contohnya pada kehidupan anak remaja.

Sesuai dengan sub judul bahasan, anak muda pada masa ini punya banyak masalah. Dimulai dari maslah yang mungkin sifatnya sederhana sampai pada permasalahan yang bersifat rumit. Atau permasalahan sederhana namun dibuat sulit, yang sulit justru dibuat sederhana dan tidak diperhitungkan.

Cinta, per-temanan dan masalah gengsi adalah permasalahan yang sebenarnya sederhana namun terasa sangat rumit bagi kalangan muda-mudi pada masa kini. Penulis masih sangat ingat pada masa penulis sekolah dulu, semuanya tampak sederhana saja.

Kami belajar dan bermain dengan sangat sederhana tanpa mempermasalahkan hal-hal seperti penampilan, gawai, dan status sosial yang dimiliki. Semua itu kami anggap hanya suatu hal yang tidak di –perdulikan. Selama kami bisa bermainn dengan penuh kegembiraan, itu sudah cukup. Berbeda dengan kondisi saat ini dimana anak-anak remaja cenderung memperhatikan outfit, tempat yang hype, dan smartphone  apa yang digunakan.

Bahkan pada saat ini, ada beberapa strata sosial yang diciptakan oleh kalangan muda untuk memperlihatkan jati diri mereka. mereka biasanya menyebutnya dengan circle. Tiap-tiap  circle  ini memiliki anggota yang aktif dalam memamerkan jati diri mereka melalui sosial media yang mereka punya.

Sebenarnya ini bukan menjadi permasalahan dalam kehidupan masyarakat. Karna selama tidak merugikan orang lain dan tidak mengganggu ketertiban masyrakat Maka hal-hal ini diperbolehkan. Namun dalam fakta realitanya hasil dari pembentukan-pembentukan strata sosial yang dibangun ini, terjadi kesenjangan sosial antar remaja yang menghasilkan justifikasi terhadap remaja-remaja yang dianggap tidak se-tingkat atau se-level dengan mereka.

Hate speech, bullying, discrimination dan lain-lain menjadi hal yang lumrah dalam kehidupan mareka. Dan tidak jarang perbuatan mereka ini memakan korban.  Korban-korban ini terdampak menjadi dua golongan, terdampak dan berusaha mengimbangi serta terdampak dan menjadi orang yang minder.

Untuk yang terdampak dan berusaha mengimbangi, mereka cukup dinilai hebat karna mampu mengelola emosi mereka kearah yang lebih baik. Walaupun, untuk sebagian kalangan usaha mereka untuk mengimbangi ini diiringi dengan paksaan-paksaan yang akhirnya bukan menaikkan level mereka tapi justru memperparah keadaan mereka.

Sebagai contoh, penulis pernah bertemu dengan salah satu remaja yang memiliki latar belakang masalah yang menurut penulis cukup rumit. Remaja ini merupakan seorang anak broken home, ibunya meninggal mengakibatkan ayahnya depresi  dan Ayahnya tidak mau mengurus anaknya lagi.

Dalam kehidupan sehari-hari si ayah hanya memberikan contoh yang tidak baik. Marah-marah, mabuk-mabukan, bahkan tidak jarang memukul anaknya sendiri, Semua kejadian tadi membuat anaknya menjadi trauma dan takut kepada sosok ayahnya. Hingga pada usia remaja anak tersebut mulai mencari sosok orang yang mau memperdulikannya, menyayanginya dan mengayominya.

Sayangnya di masa remajanya dia malah dihadapkan dengan kekerasan seksual lagi dan pada akhirnya dia merasa semakin terpukul dan terjatuh. Kekerasan seksual yang dialami disebarluaskan oleh orang-orang yang disekitarnya sehingga memperparah kondisinya dengan makin banyaknya justifikasi-justifikasi yang muncul di sekitarnya. Justifikasi tadi lambat laun memperparah pola pikirnya,dan dengan sedikit dorongan dari orang-orang yang ingin “membantunya” justifikasi tadi berubah menjadi jati dirinya.

Hal ini terjadi karna orang yang katanya ingin “membantu” tersebut hanya ingin memanfaatkan anak tersebut. Awalnya mereka menerim dan mendengarkan segala keluh kesah  yang dialami si-anak, seolah-olah mereka sangat memperdulikannya. Dan secara perlahan mereka mulai menyusupi pola pikir anak untuk menjadi dan menerima justifikasi tadi sebagai jati diri untuk menaikkan level hidup dan mulai masuk ke circle yang lebih hype  lagi.

Karena kurang mendapat arahan dari kecil si-anak remaja ini dengan pola pikir sederhananya meng-iyakan dan mulai menjalankan sesuai apa yang diarahkan oleh orang-orang tersebut

Selanjutnya kehidupan sang anak tadi, tidaklah baik-baik saja. Pada akhirnya disaat dia mulai dewasa dan mulai dapat berpikir jernih ia mulai menyadari kesalahan yang telah ia kerjakan selama ini. Kesadaran yang hadir di masa yang suda dewasa membuatnya semakin sulit untuk berbaur.

Pandangan masyarakat sudah terlanjur jelek. Meskipun, ia sudah berusaha memperbaiki segala sesuatunya namun tetap saja dianggap tidak dapat masuk ke dalam “circle baik-baik”  yang ada di dalam masyarakat yang ada. Hal ini pada akhirnya membuatnya menjadi di terima di semua circle, semua menolaknya.

Keadaan ini akhirnya memperparah kondisi mentalnya dan beberapa kali mencoba untuk meng-akhiri . hidupnya. Percobaan bunuh dirinya saja sudah variatif, mulai dari menyayat urat nadi namun gagal, mencoba overdosis obat-obatan dan ingin menabrakan diri dengan mobil ia lakukan.

Untungnya, semua percobaan ini gagal dan akhirnya sang remaja yang kini mulai menjadi wanita dewasa dapat berpikir dengan jernih dan menerima kondisi yang ada. Ketika bercerita dengan penulis dia mulai menjalani hidupnya dari awal dan mulai membuka usaha kecil di luar dari daerah asalnya. Ia hidup sederhana dikalangan orang-orang yang belum dikenalnya.

Dari cerita diatas dapat disimpulkan insecure bukan hanya tentang kekurangan secara fisik namun juga bisa dari segi sosial dan psikis yang dimiliki seseorang. Kondisi tokoh yang disebutkan tadi sempurna dalam fisik tapi tidak sempurna secara psikis dan sosial. Di lingkungan sosialnya ia di tolak, mentalnya di hancur dengan justifikasi dan bully-an . depressi dan di-asingkan membuat hidupnya terasa tidak hidup.

Kesimpulannya untuk yang memilik bentuk fisik sempurna saja masih ter-ancam serangan “insecure”  apalagi orang yang memiliki kekurang dalam fisiknya. Yang menjadi masalah saat ini hilangnya kontrol dan kepedulian sosial yang mengakibatkan tatanan masyarakat menjadi semena-mena dan sesuka hati dalam berpersepsi.

Kepedulian itu merupakan tidakan lanjutan dari buah hasil persepsi seseorang. Ketika seseorang berpandangan bahwa semua orang memiliki posisi yang sama dan kesempatan yang sama tentu ia akan menumbuhkan kepedulian kepada sesama.

Hans Catur Swastika
Hans Catur Swastika
Penulis adalah seorang guru di salah satu sekolah swasta. penulis memulai sebagai guru sejak tahun 2017.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.