Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 21-22 Mei 2019, masyarakat dihebohkan oleh aksi-aksi di depan Kantor Bawaslu, Jakarta. Aksi tersebut merupakan aksi yang digelar oleh massa dengan dalih tuntutan agar gelaran Pemilu 2019 dengan jujur dan adil.
Aksi ini awalnya berjalan aman dan damai. Lantunan-lantunan sholawatan terdengar beriringan terasa sejuk. Para pewarta pun menginformasikan pada publik seperti yang terjadi di lokasi aksi tersebut. Mekanisme aksi berjalan lancar, dari mulai orasi penyampaian tuntutan, buka puasa bersama, hingga sholat tarawih pun berjalan lancar.
Tak diduga, disela-sela perpisahan, massa dengan pihak keamanan yang sempat berjabat tangan secara kekeluargaan tersebut, ada pihak-pihak yang mengotori kedamaian nan sejuk itu. Mereka memprovokatori sampai terbitlah kericuhan pecah terjadi. Batu-batu hingga benda apapun berterbangan di udara entah arahnya kemana.
Hingga terdengar kabar beberapa orang harus kehilangan nyawa dan tak sedikit orang yang mengalami luka-luka akibat aksi masa tersebut.
Dalam hal ini pewarta memiliki pekerjaan sebagai media yang memberikan informasi lewat media massanya, tetap memberikan informasi apa yang terjadi sesuai dilokasi. Niat baik dan pekerjaan yang mulia tersebut tetap saja salah dimata orang yang tidak suka. Karena memang pastilah salah satu pihak merasa dirugikan.
Disini saya menilai menjadi pekerjaan sebagai wartawan tersebut serba salah. Padahal wartawan memberikan informasi yang diliputnya sesuai kejadian secara objektif tanpa melihat ke satu sisi.
Banyak informasi yang beredar, kericuhan tersebut kerap mempersekusi para wartawan yang bekerja. Mulai dari tindakan bully yang diterima hingga fitnah. Melihat prihal yang terjadi, saya beranggapan hal tersebut membuat wartawan menjadi ambigu. Seolah-olah liputan beritanya hanya memperbaiki citra satu sisi. Padahal, para wartawan bekerja telah menjalani SOP sebagai pemberi informasi ke publik.
Perlu diketahui, sebagaimana artikel saya sebelumnya, wartawan bekerja profesional menyajikan informasi kepada masyarakat sesuai kejadian yang ada dilokasi tanpa memiliki satu sudut pandang tertentu.
Banyak produk-produk berita maupun video yang beredar dikalangan sosial media seolah-olah memprovokasi masyarakat yang tidak turut hadir dilapangan. Mereka hanya menyaksikan video-video yang menurut saya mengambil dari satu sudut pandang. Padahal, kalau mereka lihat secara langsung, mereka bakal tahu siapa yang salah, dan siapa yang benar.
Masyarakat yang merasa dirugikan tak sempat datang langsung di tempat kejadian beranggapan tak adil, sebab apa yang beredar dan diterima mereka hanyalah perlakuan-perlakuan buruk tanpa memandang pihak lain yang mendapatkan perlakuan sama.
Saya yakin, para wartawan dalam menanggapi hal tersebut dengan bijak sekaligus sabar. Tak perlu dirubah karena memang telah menjalani pekerjaan sesuai SOP. Namun, wartawan harus terus memiliki sikap profesional dalam bekerja.
Terlepas dari rasa kebingungan prihal menaggapi emosi masyarakat, wartawan harus tetap fokus pada pekerjaannya yang menyajikan berita-berita terhangat sesuai fakta.
Dalam kejadian aksi 21-22 Mei 2019, masyarakat yang tak hadir belum mengetahui pasti kejadian. Wartawan yang sedang bekerja meliput kejadian yang sedang terjadi seringkali menerima intimidasi-intimidasi. Hal tersebut tidak pernah diketahui masyarakat. Bahkan ancaman nyawa menjadi taruhannya pun diterima oleh seorang yang bekerja sebagai wartawan.
Dalam menyikapi informasi-informasi di publish media-media massa atau media sosial, seharusnya masyarakat yang terprovokasi dengan naik darah tingkat tinggi melihat informasi yang tersaji tersebut, harus mampu menganalisa dan mencari tahu serta melihat beberapa sumber berita tentang kejadian tersebut. Namun, lagi-lagi patah omongan, sebab mereka sudah dapat dipastikan memiliki pemikiran bahwa media-media A,B, dan C sampai Z telah dikuasai oleh pihak tertentu. Wajar hal persepsi tersebut terjadi, toh mereka bagian yang merasa dirugikan.
Dari segala problema tersebut, saya sempat memiliki pemikiran bahwa bekerja sebagai wartawan adalah pekerjaan yang membingungkan. Bagaimana tidak membingungkan? “Ya dong ini salah, itu salah gak ada yang benernya, jadi yang mana yang benarnya?”. Itu sudah biasa diterima media massa penyaji informasi publik.
Hingga saat ini terkait kericuhan yang terjadi, para wartawan masih tetap bekerja mengambil gambar dan observasi keadaan disekitar pasca kejadian demi memberikan informasi ke seluruh penjuru masyarakat.
Maka daripada itu alangkah baiknya kita saling menghargai pekerjaan orang lain. Apalagi pekerjaan sebagai wartawan tidak mudah, dann kita wajib menghargai betul. Sebab pekerjaan sebagai penyaji informasi harus profesional dan bekerja sesuai aturan yang belaku dengan didasari Kode Etik Jurnalistik serta Undang-undang Pers Nomor 40 Tahun 1994.