Jumat, April 26, 2024

Ali Syariat Sebagai Pendidik

ilnur Hidayatullah
ilnur Hidayatullah
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ketua Umum KBM Galuh Jaya Jabodetabek

Bagi kita sang pembelajar,  berguru kepada seseorang yang masih hidup dan sezaman merupakan hal yang lumrah. Kita bisa Bertemu, mendengarkan, bertanya , berdiskusi atau bahkan berkorespondensi ketika  tidak memungkinkan untuk bertemu. Belajar kepada orang yang masih hidup tidaklah cukup, karena zaman ini terbentuk dari rentetan sejarah yang saling berkisambungan.

 Maka perlu juga kita belajar kepada orang-orang telah tiada, orang yang telah berjasa pada  zamannya, orang yang telah ambil bagian dalam keberlangsungan hidup sejarah manusia,  orang yang mencoba mendidik generasi setelahnya dengan karya-karyanya, orang yang mau menghabiskan sisa hidupnya untuk memikirkan masa depan zamannya.     

Dengan jasa dan karya-karyanya, mereka mencoba untuk selalu ada ditengah-tengah kita. Mereka adalah guru dalam ketiadaanya, mereka adalah pengajar dalam ketidak wujudannya, mereka selalu hadir dalam alam pikiran kita, mereka selalu tertanjab dalam sanubari kita. Pengaruhnya ada dalam ketiadaanya.

Ali Syariati mengkaji karl Marx dalam ketiadaanya, Kita mengkaji Ali Syariati dalam ketiadaanya. Begitupun yang terjadi dengan saya, buku karya ali syariati sangat saya sukai. Ali tidak satu zaman dengan saya, tapi ali selalu hadir disetiap zamannya. Buah pikiranya selalu bergelayut dalam pikiran ini, menyisakan rasa penarasan, nalar saya dibuatnya berputar, jidat saya dibuatnya mengerut.

Ali tidak nampak dihadapan saya, dia tidak hadir untuk memerintah, menekan apalagi memberikan tugas perkuliahan. Ali hanya memberikan buah pikirannya kepada generasi kita. Dipikirkan atau tidak, itu dikembalikan kepada diri kita masing-masing. Bagi saya mengkaji karya beliu menimbulkan kenyamaan tersendiri, membuat saya bisa berlama-berlama menjamahnya.

Ali dalam ketiadaanya mengajarkan kepada saya arti kebebasan berproses, memaknai setiap waktu, memaknai setiap fenomena, memaknai setiap ruang menjadi proses belajar yang alamiah. Belajar tidak mesti terkungkung dalam defenisi ruang tembok yang pengap. Belajar merupakan ruang kehidupan yang setiap saat kita bisa merauk ilmunya.

Tiap dentuman kata yang ali tulis dalam bukunya, membuat jiwa ini serasa hidup dalam alur sejarah kehidupannya. Ali menuyun jiwa ini untuk mendayung menyelami masa hidupnya yang penuh dengan romansa pejuangan dan dinamika pergolakan. Ali ingin menegaskan bahwa nalarnya terbangun dari pergulatan akademik dan dinamika sosial.

Ali memiliki karakter yang dinamis sesuai dengan usia dan fase pertumbuhannya. Pada awal-awal sekolah menengah pertama, ali memiliki dua prilaku yang berbeda. Pendiam Dan Rajin. Penyendiri tidak banyak bergaul dengan teman sekelas. Ali sering menghabiskan waktu malam bersama ayahnya membaca. Dia tidak pernah membaca bacaan yang diwajibkan sekolah.

Memasuki sekolah menengah keatas, ali memiliki kesukaan terhadap kajian filsafat dan mistisisme. Ali banyak belajar dirumah, ia ingat bahwa perhatiannya kepada filsafat timbul berkat sebaris kalimat Maeterlnick yang berbunyi: Bila kita meniup mati lilin, dimanakah perginya lilin itu ?. Bila suasana hatinya sedang baik.  Ali menjadi anak bandel yang ikut dalam komplotan pelajar dikelas yang mengolok-ngolok guru. Ia terkenal suka humor dan cerdas.

Keasyikan belajar dan berpikir, membuat krisis keimanan yang serius. Pada suatu malam dimusim dingin, ia berpikir untuk bunuh diri di Estakhr-e Koohsangi yang romantis di Masyhad. Berkat Matsnawinya maulawi Jalaludin Rumi, ali mengurungkan niat untuk bunuh dirinya.

Ali dalam ketiadannya mengajarkan kepada saya arti ada dan menengada. Ada dalam arti yang pasif, dan menengada dalam arti yang dinamis. Manusia dalam alam pikirannya ialah mahluk yang menengada terus berproses, terus berovulusi, menuju kepada kemulian yang hakiki, menuju kepada kesucian sang ilahi.

Manusia baginya adalah mahluk yang tidak bisa didefiniskan secara defenitif, manusia bukan mahluk yang divonis jadi, manusia adalah mahluk yang menjadi. Ia berproses membentuk dirinya, ia berbeda dengan benda yang esensinya sudah diketahui terlebih dahulu baru kemudian ekstensi atau wujudnya.

Tukang kursi lebih tahu dahulu bentuk kursi baru kemudian dibuat menjadi sebuah kursi. Benda, terlebih dahulu diketahui eseninya baru kemudian eksistensi. Manusia sebaliknya, eksistensi atau wujud baru kemudian esensi. Manusia membentuk sendiri dirinya. Begitulah manusia mahluk yang misterius, hidupnya selalu dihinggapi dengan berbagai kejutan. semua itu berangkat dari esensi hidup manusia yang dinamis.

Bagi saya, sosok ali menjadi inpirasi revolusi. Buah karyanya renyah dan nyaman untuk dikosumsi oleh akal. Ali menjadi sosok yang tidak asing dalam kehidupan saya, dalam ketiadaanya beliau hidup dengan ide-ide yang termaktub dalam karya-karya monumentalnya. Ia sudah seperti guru bagi kehidupan saya. Dalam kepasifannya ia mendidik saya untuk menjadi manusia revolusinor. Tidak ada sesuatu yang terlembagakan selain kejumdan, sesuatu itu harus tetap dinamis dan hidup.

Ali menjadi soko guru dalam ketiadaanya, ia bersayam dalam jiwa-jiwa manusia yang revolusioner. Bersama karyanya saya bisa menyelami suatu petualangan yang dinamik, bersama karyanya saya didik, bersama karyanya saya akan tuliskan pergulatan intelektual saya dengannya, dalam benak saya beliu adalah pendidik dalam ketiadaanya.    

ilnur Hidayatullah
ilnur Hidayatullah
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ketua Umum KBM Galuh Jaya Jabodetabek
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.