Qabil dan Habil dalam mitologi drama kosmik adalah seorang anak Adam, yang mempunyai saudara kembar. Qabil maupun Habil mempunyai adik perempuan. Ali Shariati melihat kaum penguasa dan yang dikuasai dalam konsep Qabil dan Habil adalah suatu struktur sosial. Ali Shariati, mempunyai esensi konsep yang sama dengan Karl Marx. Dalam teori Marx, muncul term Borjuis dan Proletar. Ekuivalensi dengan konsep Qabil dan Habil.
Tulisan ini merupakan sebuah Resensi dari Karya M. Subhi-Ibrahim. Artikel ini bertujuan untuk melengkapi kajiannya Ilnur Hidayatullah di GeoTimes, yang berjudul “Ali Syariati sebagai Pendidik”.
Ali Shariati (1933-1977)
Ali Shariati seorang sosiolog Iran. Lahir pada tanggal 24 November 1933. Pemikirannya terpengaruh oleh ayahnya sendiri, Muhammad Taqi. Muhammad Taqi adalah seorang Mulla/ulama modernis. Ayahnya yang pertama mengajarkan tentang seni berpikir dan seni hidup manusia.
Tahun 1941, Shariati masuk sekolah tingkat pertama di sekolah swasta Ibn Yamin. Di sekolahnya, Shariati bersifat “mendua” jika sudah berada di kelas ia ingin keluar, tetapi ketika sudah berada di luar ia ingin masuk kelas. Ia seorang pendiam, tak mau diatur, namun rajin. Ia pun jarang mengerjakan PR, meskipun demikian di rumah ia adalah seorang kutu buku. Bersama ayahnya, Shariati banyak menghabiskan waktu membaca di perpustakaan ayahnya, yang mempunyai 2000 koleksi buku. Karya Vickor Hugo, Les Miserables, dalam terjemahan Persianya, telah ia lahap sejak di sekolah dasar.
Mistisme dan Filsafat dikenal shariati ketika menginjak bangku sekolah menengah atas. Saat itu, sebenarnya shariati lebih meminati sastra, filsafat dan kemanusiaan ketimbang ilmu sosial dan ilmu keagamaan. Shariati mengaku bahwa ketertarikannya pada filsafat dipicu oleh sebaris kalimat Maeterlinck yang berbunyi, “Bila kita meniup mati lilin, kemanakah perginya nyala lilin itu?”
Shariati mengalami krisis kepribadian antara tahun 1946-1950 karena terlalu dini mengenal tulisan-tulisan barat, seperti yang sudah di paparkan di atas. Bahwa sejak sekolah dasar, shariati sudah dikenalkan dengan tulisan-tulisan dan bacaan-bacaan “berat”. Hal itu membuat keyakinan religiusnya terguncang. Kegelisahan dan keraguan menyelimuti Shariati, krisis keimanan yang akut melanda sukmanya. Baginya, eksistensi tanpa Tuhan begitu menakjubkan, sepi dan asing, hingga kehidupan ini menjadi suram dan hampa. Di ujung kegamangannya ia berkesimpulan bahwa kebuntuan pemikiran yang dihadapinya hanya dapat diselesaikan dengan jalan bunuh diri atau gila. Skeptisme filosofis mengantarkan Shariati berhadapan dengan maut. Di tepi jurang pergolakan pemikiran yang mengancam hidupnya tersebut, Shariati tertolong oleh Matsnawi-nya Rumi. Rumilah yang menyelamatkan Shariati dari kehancuran diri.
Pada tahun 1950, setamat dari sekolah menengah, Shariati masuk Kolese Pendidikan Guru (Danisysaray-i Tarbiyat-i mu’allim) di Mashhad, yang dijalaninya sembari mengajar. Pada masa ini, akhirnya Shariati mencapai titik kematangannya dalam pencarian eksistensi, yaitu ketika ia lulus dari Kolese tersebut pada tahun 1952. Shariati yakin bahwa Islam merupakan medium epistimologis untuk mencandra kehidupan, baik individual maupun sosial.
Gejolak politik di Iran menyeret Shariati ke gelanggang politik. Ia aktif dalam berbagai organisasi-organisasi. Cita-cita politik Shariati adalah membebaskan rakyat Iran dari penindasan rezim Shah Iran yang korup.
Tahun 1955, Shariati secara resmi menjadi mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Mashad. Kecerdasan intelektual dan ketajaman intuitifnya menjadikan Shariati populer di kalangan politikus dan intelektual. Shariati pun pernah dipenjara bersama ayahnya karena gerakan-gerakan yang dilakukan Shariati dan sebulan kemudian Shariati dibebaskan.
Cinta Shariati bersemi semasa di Universitas Mashhad. Pertemuannya dengan Puran-e Syari’at Razavi berlanjut ke pelaminan. Kedua insan itu menikah pada 15 Juli 1958 di Mashhad. Selang lima bulan kemudian, Shariati meraih gelar BA Sastra Persia. Selanjutnya, berkat prestasi akademiknya, ia mendapat beasiswa untuk studi ke Sorbonne. Tahun 1959 ia berangkat ke Paris meski tak disertai istri dan puterinya (Ehsan) yang baru lahir, yang menyusul satu tahun kemudian.
Di paris ia dipengaruhi pemikiran Fanon dan merupakan salah satu tokoh yang sangat dikagumi Shariati. Ide Fanon yang meresap pada karakter berpikir Shariati adalah komitmen pembebasan dunia ketiga dari penindasan, kolonialisme, dan imperialisme.
Shariati aktif menulis, baik berbentuk terjemahan, prosa, puisi, artikel sosial politik dan kebudayaan, jurnal mahasiswa iran di Perancis kerap menerbitkan tulisan-tulisan Shariati. Nama Pena yang sering digunakan Shariati dalam berbagai tulisannya, adalah syam, yang dalam bahasa Persia berarti lilin [………]