Sabtu, April 20, 2024

Alasan Berkoalisi dalam Pilpres 2019

M. Addi Fauzani
M. Addi Fauzani
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Pendaftaran Calon Presiden (capres) dan Wakil Presiden (cawapres) dalam pemilihan presiden (pilpres) 2019 telah dibuka 4-10 Agustus 2018. Sampai saat ini, setidaknya terlihat dua kubu yang eksis dan dapat dipastikan mengikuti gelaran demokrasi penentuan presiden dan wakil presiden tersebut.

Dua kubu yang telah mengemuka adalah kubu Joko Widodo (Jokowi) dan kubu Prabowo (pembahasan ini terlepas dari kemungkinan adanya poros ketiga di luar dua kubu tersebut).

Masing-masing kubu sejak jauh-jauh hari telah menghimpun koalisinya untuk menstimulus laju dalam pilpres nanti sekaligus untuk memenuhi syarat pencalonan presiden (presidential threshold) yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

Ketentuan presidential threshold tercantum pada Pasal 222 UU Pemilu yang berbunyi, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”

Pro dan Kontra Presidential Threshold

Ketentuan presidential threshold tersebut menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat sejak diundangkannya ketentuan tersebut, sehingga pernah dimohonkan uji materi (judicial review) di Mahkamah Konstitusi (MK) oleh beberapa pemohon di antaranya oleh Partai Idaman.

Pemohon beralasan bahwa ketentuan presidential threshold yang mendasarkan pada perolehan suara 2014 sudah daluarsa dan tidak relevan dengan peta perpolitikan pada 2019 ini. Namun, MK menolak permohonan uji materi Pasal 222 UU Pemilu yang teregistrasi dengan nomor 53/PUU-XV/2017 tersebut.

Setidaknya MK memberikan 2 (dua) pertimbangan sekaligus menjadi alasan mengapa presidential threshold adalah konstitusional. Pertama, ketentuan Pasal 222 UU Pemilu sesuai dengan amanah reformasi yaitu memperkuat sistem presidensial. Hal ini dilakukan agar Presiden tidak lemah dalam mengambil keputusan sehingga tidak terjebak dengan kompromi-kompromi atau tawar menawar politik (political bargaining) di parlemen dengan parpol-parpol pemilik kursi di DPR.

Kedua, MK juga mendasarkan bahwa batu uji Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jika ditafsirkan secara sistemais maka akan memuat kebijakan hukum terbuka (open legal policy) sehingga kebijakan tersebut dikembalikan kepada pembentuk undang-undang yakni DPR.

Peta Politik Pilpres 2019

Implikasi dari aturan presidential threshold tersebut yaitu partai politik (parpol) atau gabungan parpol harus mengantongi 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional untuk bisa mengusung pasangan capres dan cawapres pada pilpres 2019 ini. Karena pemilu legislatif dan pemilu presiden 2019 digelar serentak, ambang batas yang digunakan adalah hasil pemilu legislatif 2014 lalu.

Melihat perolehan suara pada pemilu 2014, tidak ada satu pun partai politik yang meraih 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional. Sehingga suka atau tidak suka, parpol yang mendukung kubu Jokowi maupun Prabowo akan saling menghimpun koalisi untuk memenuhi syarat tersebut dan menstimulus laju di pilpres.

Kubu Jokowi saat ini sudah mengantongi sekitar 61,25% (suara sah nasional Partai Nasdem, PKB, PDIP, Golkar, PPP, dan Hanura). Sedangkan kubu Prabowo telah mengantongi sekitar 36,38% (suara sah nasional PKS, Gerindra, Demokrat, dan PAN jika bersedia bergabung dalam kubu Prabowo).

Dapat kita sadari bahwa secara prosedural, koalisi menjadi syarat untuk bisa mengusung capres dan cawapres dalam pilpres 2019 ini, karena tidak ada satu pun partai politik yang meraih 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional. Di samping itu, secara subtantif, koalisi juga bagian dari langkah memperkuat sistem presidensial karena pemilik-pemilik kursi di DPR adalah partai yang mendukungnya ketika maju di pilpres ini.

M. Addi Fauzani
M. Addi Fauzani
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.