Masyarakat Indonesia beberapa bulan terakhir ini dirundung duka yang begitu mendalam. Bagaimana tidak, belum usai duka yang telah tercatat menewaskan 515 korban atas saudara kita di belahan timur Indonesia pada Agustus 2018 Silam.
Kemudian kabar duka disusul atas hentakan gempa dan tsunami yang menimpa saudara-saudara kita di Palu dan Donggala pada Oktober lalu, berdasarkan catatan korban peristiwa ini menelan korban 2.045 orang, belum kering duka saudara-saudara tersebut.
Tanah air dikejutkan pada hari Senin lalu tepatnya tanggal 29/10/18 dengan peristiwa naas jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 di perairan Karawang, Jawa Barat yang mengangkut 181 penumpang dan 7 kru pesawat.
Kesedihan atas goresan duka akibat tiga peristiwa nasional tersebut, menjelang penghujung tahun 2018 tepatnya 22 Desember 2018 bangsa Indonesia kembali disuguhkan dengan peristiwa tragis, Tsunami di Selat Sunda kembali meminta “tumbal” yang hingga 23/12/2018 tercatat 165 orang ditemukan telah pergi untuk selamanya.
Bagi orang beriman, peristiwa tersebut menjadi penggugah hati dan alarm agar kita mempersiapkan bekal untuk kematian. Bukankah Rasulullah saw. pernah menyampaikan bahwa orang paling cerdas yaitu orang yang paling banyak mengingat mati dan paling banyak mempersiapkan diri sebelum kematiannya. Dzikrul maut (mengingat kematian) merupakan salah satu upaya menghidupkan hati kita. Artinya orang yang jarang ingat mati perpeluang besar hatinya kian mengeras (qolbun qoshi).
Sayangnya, kita sering alergi mendengar kata kematian. Karena kematian dianggap akhir perjalanan kita sebagai manusia di muka bumi, padahal kematian justru perjalanan awal dari kehidupan abadi.
Maut diangggap peristiwa mengerikan dalam kehidupan kita, mengapa? Karena kita terlalu senang dengan perhiasan dunia fana ini. Rasa takut kehilangan kemilau atribut dunia lebih besar dari rasa takut tidak membawa husnul khotimah saat kembali kepada Nya.
Padahal bila mau jujur, kita hanya mampir di terminal kehidupan yang bernama dunia ini. Kematian merupakan episode yang pasti akan menjemput kita semua. Dia bisa datang kapanpun dan dimanapun, kita sadari atau tidak kematian mengincar kita setiap waktunya.
Oleh karena itu, harus kita sadari bahwa setiap detik tarikan nafas kita bisa menjadi momen kematian, karena kematian tidak pernah memberikan aba-aba, kode atau isyarat nyata kapan kepastiannya. Maka dari itu, mari pelihara niat agar selalu lurus, ikhtiar selalu dipelihara di atas jalan kebenaran yang diridlai-Nya.
Kapanpun kematian menjemput kita sudah siap untuk berakhir dalam husnul khotimah. Saat keluar rumah pamit dulu kepada orang tua, keluarga atau anak istri, sebab kita tidak tahu jangan-jangan moment itu merupakan pertemuan terakhir.
Mau tidur, akhiri dengan perbuatan baik, kalau orang Islam bisa dengan bersuci agar tidur membawa wudlu’, karena tidak ada jaminan besok akan bangun lagi. Lebih baik lagi, sebelum tidur tidak mengingat hutang, mengingat dunia, mengingat “si dia” karena pasti lebih baik mengingat Sang Khalik, bila tertidurpun insyallah sepanjang tidur dianggap dzikir, kalau wafat insyallah husnul khotimah.
Saat berpisah dengan teman atau kolega jangan lupa akhiri pertemuan dengan salaman, selain bisa meleburkan permusuhan dan dosa tidak ada jaminan besok akan berjumpa kembali. Saat keluar rumah niatkan selalu di jalan yang diridlaiNya, bisa jadi perjalanan itu merupakan perjalanan terakhir.
Termasuk bila hendak bermaksiat “mikir-mikir” dulu jangan-jangan saat melakukan maksiat ajal sudah menunggu kita. Tidak sedikit kita mendengar orang meninggal saat merampok/membegal, meninggal saat sedang menikmati pil haram, atau tewas saat sedang minum khomr, termasuk berakhir tragis saat berada di kamar hotel dengan pasangan selingkuhannya.
Namun, kita tidak perlu takut berlebihan menghadapi kematian yang harus kita takutkan minimnya bekal saat telah kematian datang menjemput kita. Seorang tentara tidak perlu takut saat turun ke medan pertempuran, yakinlah bahwa setiap peluru sudah tertulis alamat kematiannya, karena berangkat ke medan perang bukan penyebab umur kita pendek.
Walau kita sudah mendatangi ladang-ladang kematian semua tiket kematian sudah ada namanya, malaikat tidak akan salah mencabut nyawa. kita tidak perlu takut naik pesawat karena jatah kematiannya tidak akan tertukar. Serta tidak perlu menyalahkan ombak Tsunami atau penitia penyelenggaranya.
Kalau memang bukan waktunya banyak cara yang Tuhan lakukan agar seseorang tidak sampai pada takdir ajal kematiannya entah terlambat boardingpass atau tertinggal, tertidur ataupun lupa atas acara tersebut dan sebagainya.
Sebaliknya bila memang saatnya dan dengan cara kecelakaan, tertimpa gempa atau tsunami sebagai jalur kematiannya, Tuhan akan menggerakan hati hambanya untuk berkumpul menaiki pesawat, digerakan untuk datang pada suatu acara/kegiatan dan waktu yang sama, kemudian Malaikat pencabut nyawa menjalankan tugasnya seperti mencabut saluran listrik utama di rumah kita, Blek serentak semua lampu padam.
Demikian juga proses terjadinya kematian. Bukan Tsunami, Banjir, sakit, penyakit, gempa, kecelakaan yang menyebabkan kita mati tapi semua itu hanya cara yang didesain Sang Pencipta agar hambanya sampai pada takdir kematiannya. Meninggal tidak harus sakit, dan sakit bukan penyebab orang meninggal tetapi sakit merupakan cara dan media. Karena orang meninggal hakikatnya hanya satu, yaitu sudah sampai pada batas kontrak kehidupannya.
Kita berharap semoga sisa hidup kita penuh berkah dan semoga kita terampil mengingat kematian sehingga bisa mengisi hidup dengan kualitas ibadah yang tinggi. Serta semoga bisa menyempurnakan amal ibadah agar kapanpun ajal menjemput kita selalu siap membawa label husnul khotimah. Amin.