Al-Quran menyimpan konsekuensi untuk di telaah sebagai produk keilmuan. Apakah sembrono bila Al-Quran kita anggap sebagai satu tatanan wacana yang mungkin ditelaah dan dikonstruksi sebagai sebuah produk keilmuan. Perlakuan ini kiranya banyak disalah artikan, dengan sikap yang men-desakralisasi Al-Quran. Namun perlu ditinjau ulang sikap penolakan realitas Al-Quran sebagai sebuah wacana ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa Al-Quran didekati sebagai satu epistemik keilmuan yang kaya.
Alih-alih sebuah desakralisasi Al-Quran, hemat penulis, sikap penolakan Al-Quran sebagai tatanan nilai yang mengandung keterangan teoritis yang kaya, justru mempersempit kesempatan Al-Quran membuka dirinya lebih luas. Upaya ini mencoba memberi pandangan atas sikap seseorang dalam berinteraksi dengan Al-Quran. Penempatan Al-Quran sebagai kitab yang kaya akan hikmah jadi satu penghormatan lebih serta sikap yang menunjukan pengakuan keagungannya.
Al-Quran harus dibaca sebagai realitasnya dalam dimensi yang memungkinkan darinya tercipta diskursus. Meminjam istilah Muhammad Arkoun dalam mengenalkan kemungkinan konstruksi keilmuan melalui pesan-pesan ketuhanan, Arkoun mengasumsikan keharusan atas realitas Al-Quran sebagai diskursus (Al-Quran as a Discourse). (Arkoun, 1994: 36)
Pembacaan Al-Quran sebagai discourse ini memberi konsekuensi-konsekuensi logis atas keharusan Al-Quran dibaca dalam konteks modernitas. Saat tagline keilmuan dewasa ini diliputi multidimensi yang saling terkait satu sama lain, maka Al-Quran pun akan mampu di baca dalam kualitasnya sebagai disiplin yang mampu dikaitkan satu dengan yang lainnya.
Ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu alam dewasa ini begitu gencarnya berdialog dengan Al-Quran. Diantara dialog-dialog inilah Al-Quran sebagai bagian dari alternatif wacana yang menghidupkan disiplin-disiplin keilmuan tersebut . Telah begitu lama kiblat keilmuan tersentral di barat atau western-center menjadi konsentrasi pandangan dunia selama hampir 5 abad lamanya.
Namun setelah memasuki babak baru, meliputi progresifitas keilmuan yang semakin luas, keberanian para sarjanawan muslim belajar dari barat, kini giat untuk melangkahi sejarah baru di dunia muslim mulai terbuka. Para sarjanawan muslim kian membuka kunci Al-Quran yang telah lama tertutup. Dimulai dari Mesir dengan penggerak utamanya Muhammad Abduh, Jalalludin Al-Afgahi serta Rasyid Ridha-lah ketakutan dan dogma akan sakralitas yang membelenggu umat muslim sedikit demi sedikit terbelalak.
Melalui tradisi intelektual inilah umat muslim membuka kotak pandora-nya. Menyingkirkan dogma aus yang menghentikan laju ijtihad serta menggerakkan kembali spirit iqra yang lama tertimbun oleh fanatisme buta dan dogma salah kaprah.
Pewacanaan Al-Quran
Butuh kesedian yang matang dalam menerima Al-Quran sebagai diskursus pewacanaan. Sebab jika tidak diterima dengan sepenuhnya, maka usaha ijtihad ini akan kembali pada penuturan dogma belaka. Perlu keterbukaan, kelewogooan dan keikhlasan membincangkan Al-Quran sebagai keharusannya menjadi wacana yang mampu dikritisi dan dibantah argumennya– interpretasi dari Al-Quran.
Oleh sebab itu, perlu pendasaran yang lebih memadai dalam memposisikan Al-Quran ini sebagai wahyu sekaligus kitab undang-undang Tuhan mengenai realitas. Memposisikan Al-Quran pada posisi ini sebagai Undang-undang yang meliputi hukum semata. Serta menelusuri rangkaian penjelasan logis dari setiap achievement bersamaan dengan punishment bagi setiap tindakan yang dilakukan manusia.
Ada sebuah diktat yang diterangkan oleh Arkoun mengenai Islam dalam sebuah pergumulan wacana. Menurut dia peran ortodoksi sangatlah penting dalam pemikiran Islam. Sebab konstruksi wacana Islam dibangun oleh sejarah dan tatanan imaginer yang berdasar pada ortodoksi dalam Islam, yaitu Al-Quran dan Sunnah. (Schonberger, 2010: 8)
Arkoun menambahkan keterangan tentang pentingnya pendekatan deskontruksi dalam menelisik basis ortodoksi melalui keterangan historis dalam kaitannya dengan wacana Islam (Weltanshaung), Arkoun berkata :
“For centuries religions have dominated the construction of different, intricate Weltanschauungen [world views] through which all realities were perceived, judged, classified, accepted, and rejected without the possibility of looking back at the mental-historical process which led to each Weltanschauung [world view]. The strategy of deconstruction is possible only with modern critical epistemology.” (Arkoun,1998: 207)
Maka dalam mengimplementasikan strategi deskontruksi ini, Arkoun menjelaskan tentang pentingnya mengkonstruksi makna imaginaire Menurutnya persepsi dominan yang dimiliki masyarakat itu merupakan kombinasi dari image (sifatnya objektif) dan imagination (subjektif). Maka pada keterangan tersebut, Arkoun membagi imaginaire kedalam tiga pembagian. Pertama, imaginaire religius yaitu ortodoksi yang meliputi perihal keyakinan-keyakinan pasti yang tidak bisa dirubah. Kedua, imaginaire sosial yaitu ortodoksi dari hasil kombinasi idea dengan habitus yang membentuk identitas. Ketiga, imajinaire personal yaitu usaha menghasilkan interpretasi realitas.
Keterangan Arkoun ini telah membuka satu penjelasan mengenai kemungkinan Al-Quran untuk dilibatkan dalam interaksinya sebagai discourse. Strategi deskontruksi yang dilakukan Arkoun ini merupakan upaya rethingking atas dominasi wordview yang menempatkan Al-Quran pada pensucian teks, atau istilah Abdul Mustaqim sebagai ma’bud ala nash. Sehingga telah menaruh satu pengharaman yang halus atas cara-cara yang menempatkan Al-Quran diluar kesucian yang telah dimaksud.
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلۡقُرۡءَانَ أَمۡ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقۡفَالُهَآ
“Maka tidakkah mereka menghayati Al-Qur’an ataukah hati mereka sudah terkunci?” (QS. Muhammad: 24)
Disebabkan oleh tertutupnya fungsi teoritis (hati dan akal) dalam tubuh manusialah, maka pesan Al-Quran tidak mampu dilihat secara keseluruhan. Kalangan muslim dewasa ini disibukkan oleh kapling-kapling yang memagari keluasan dari al-Quran itu sendiri. Sehingga yang tersisa hanyalah fanatisme.
Waallahu ‘Alamu bin Shawab