Beberapa wilayah di Provinsi Bengkulu mengalami banjir setelah diguyur hujan dengan intensitas cukup lebat pada Jumat (26/04) lalu.
Masyarakat Kota Bengkulu, Kabupaten Kepahiang, Kabupaten Bengkulu Tengah, Kabupaten Bengkulu Utara, Kabupaten Bengkulu Selatan dan di Kabupaten Kaur harus menjadi korban.
Atas kejadian banjir ini, sungai-sungai yang ada di daerah sekitar meluap mengakibatkan pemukiman warga tergenang. Tidak hanya rumah-rumah warga saja yang tergenang, banjir juga merusak infastruktur yang ada disana.
Menurut data yang disampaikan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Banjir di Provinsi Bengkulu memakan dua puluh sembilan korban jiwa yang meninggal, tiga belas orang yang hilang belum diketahui dan dua belas ribu orang yang mengungsi di pengungsian.
Menurut pengamatan dari aktivis lingkungan Genesis Bengkulu, jika ingin memeriksa lebih jauh lagi, banjir dan tanah longsor merupakan salah satu penanda dari mulai menurunnya daya serap kawasan terhadap air hujan yang menurun. Air hujan yang tidak bisa diserap dengan maksimal tersebut akhirnya langsung mengalir ke sungai-sungai, lalu menimbukan daya tampung sungai tidak memadai sehingga menimbulkan sungai meluap.
Kawasan serap air saat ini telah dibebani oleh izn-izin pertambangan dan perkebunan monokultur skala besar seperti kelapa sawit. Tidak jarang juga kawasan-kawasan tersebut berubah bentuk menjadi perkebunan dan pertambangan.
Dari luapan air sungai Bengkulu tersebut, memiliki titik rawan wilayah banjir yang meliputi antara lain, wilayah Kota Bengkulu, sepeti kelurahan Bentiring, Rawa Makmur, Tanjung Agung, Tanjung Jaya daba beberapa lokasi lainnya.
Meluapnya sungai Bengkulu adalah fakta dari rusaknya wilayah hulu DAS Bengkulu akibat adanya aktivitas beberapa perusahaan pertambangan batu bara.
Selain wilayah Kota Bengkulu, Kabupaten Kepahiang juga dilanda banjir yang merupakan dampak dari rusaknya hutan lindung Bukit Daun yang menjadi tangkapan air Sungai Musi. Kerusakan tersebut merupakan kerusakan yang diakibatkan dasri aktivitas pembukaan hutan.
Meluapnya DAS Ketahun menimbulkan banjir di wilayah Ketahun dan Bengkulu Utara. Hal ini dikarenakan tutupan kawasan resapan air telah berubah menjadi perkebunan monokultur dan pertambangan batu bara dari sejumlah perusahaan pertambangan batu bara.
Sementara itu, dari Kabupaten Kaur dan Kabupaten Bengkulu Selatan yang wilayah hulunya telah banyak dibuka menjadi perkebunan monokultur kelapa sawit dengan skala yang tidak kecil.
Direktur Ganesis Bengkulu, Uli arta Siagian mengatakan, bahwa banjir ini termasuk banjir terbesar dan serentak dialami hampir di seluruh wilayah provinsi Bengkulu.
“Alam dan aktivitas manusia memiliki hukum kausalitas. Jika eksploitas sumber daya alam berbasis industri ekstraktif seperti tambang dan perkebunan monokultur dengan skala yang besar terus massif, maka banjir, longsor serta bencana ekologis lainnya aka terus kita tunai, korbanya masyarakat Bengkulu tanpa kecuali,”jelasnya.
Uli juga menjelaskan, meminimalisir bencana ekologis dapat menggunakan dengan cara upaya-upayah memperhatikan wilayah yang menurutnya rawan serta memiliki fungsi yang penting.
“Salah satu cara untuk meminimalisir bencana ekologis ini adalah memperhatikan wilayah-wilayah yang genting dan memiliki peranan penting. Seperti hutan di sepanjang Bukit Barisan tidak untuk pertambangan dan perkebunan monokultur dengan skala besar, karena jika tingkat deforestasi hutan terus meningkat, maka selama itu juga banjir dan longsor akan terjadi, lebih besarnya lagi akan mempercepat pemanasan global, penandanya adalah anomaly peruajam iklim seperti saat ini,”terangnya.
Ia juga menjelaskan, bahwa penataan ruang menjadi suatu hal yang penting dan strategis untuk disusun lebih bijak lagi.
“Penataan ruang menjadi hal yang penting dan strategis untuk disusun lebih bijak lagi dengan memperhatikan daya dukung serta daya tampung lingkungan,”ujarnya.
Pemerintah dalam hal ini, memiliki kewenangan untuk menindak tegas perusahaan yang tidak memperhatikan keselamatan lingkungan dengan aturan yang berlaku.
Pemerintah juga memiliki wewenang untuk mendesak perusahaan-perusahaan yang terlibat untuk mengalokasikan kawasan konservasi di konsesi izin yang mereka miliki, seperti halnya, kewajiban menjaga kawasan High Conservation Value (HCV).
“Yang kita harus ingat adalah, alam yang memiliki keterbatasan untuk menampung aktivitas yang bersifat eksploitatif terhadap tubuhnya dan alam memiliki keterbatasan untuk memulihkan dirinya,”tutup Uli.
Sementara itu, aktivis lingkungan Walhi daerah Bengkulu menanggapi soal kerusakan sepuluh DAS yang mengakibatkan banjir dan longsor di empat puluh lima desa dan kelurahan mengakibatkan delapan belas koran meninggal dunia di Provinsi Bengkulu.
Wilayah Bengkulu dengan memiliki level kelerengan mencapai dua puluh lima sampai empat puluh persen, dengan level kelerengan cukup terbilang tinggi, maka sangat di butuhkan tutupan dan lapisan tanah yang bagus sehingga dengan bagusnya lapisan atau tutupan ini sangat menentukan fungsi hidrologi agar menciptakan keseimbangan dalam struktur tanah. Pada situasi hulu di sepanjang Bukit Barisan saat ini mengalami kehilangan lapisan atas tanah (degradasi).
Situasi tersebut dapat mempengaruhi perubahan kepekaan terhadap tanah sehingga kandungan pasir, dan unsur lainnya mudah terurai. Terkait hali tersebut, hal ini cenderung berbahaya dan dapat menimbulkan tanah longsor.
Sebelumnya, disela-sela terjadinya banjir, Sabtu (27/04) terjadi gempa bermagnitudo 5.3 berbarengan dengan banjir. Hal ini harus menjadi pusat perhatian, karena disaat struktur tanah yang di stabil, fungsi kesimbangan tidak berjalan juga bisa menyebabkan likufaksi terutama pada daerah-daerah alluvium, wilayah ini disebabkan pantai barat Provinsi Bengkulu, Muara Bengkulu, Pulau Bai, dan sepanjang tanggul.