Jumat, April 26, 2024

Aksi Reuni 212, Sakralisasi Simbol, dan Ilusi Kebangkitan Islam

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Setelah pagelaran Aksi Bela Islam yang berjilid-jilid mulai 1 sampai 7 kali aksi sejak 2016-2017 dengan memilih tanggal tertentu secara simultan, persentase ekstremisme di Indonesia berada pada titik mengkhawatirkan. Ia tidak sama sekali menurun pasca kasus penistaan agama oleh Basuki Thahaja Purnama alias Ahok selesai, justru semakin menjadi-jadi dan, sebagai klimaksnya, adalah munculnya Presidium Alumni 212.

212, sebagai simbol momentum Aksi Bela Islam III pada 2 Desember 2016, tidak lagi pada ad hoc-nya, namun telah bertransformasi menjadi semacam benteng akhir kebangkitan Islam di akhir zaman, yang memosisikan diri sebagai peretas status quo, dan mengklaim absolutisme kebenaran dengan menganggap yang tidak sealur dengannya sebagai orang munafik, taghut, dan lain sebagainya. Ia menjadi semacam kekuatan politik, yang klimaks politisasinya adalah sakralisasi terhadap simbol itu sendiri.

Seiring waktu pula, geliat para aktor 212 ini bergumul secara alot dalam sistem negara kita. Ia tidak sekonfrontatif HTI, misalnya, karena memiliki dalih yang lumayan kuat, yakni mengaku representasi umat Islam, yang kebangkitannya di akhir zaman sudah dinubuatkan Nabi Muhammad.

Kali ini, pada tahun ketiga, Aksi Reuni 212 digelar pada 2 Desember 2018, tetapi tidak ke Masjid Istiqlal seperti tahun sebelumnya, melainkan ke Monas. “Acara di Istiqlal akan dihadiri Joko Widodo. Kami enggak mau massa salah tempat. Jokowi beda dengan kami,” kata Jubir PA 212, Novel Bamukmin, seperti dilansir Tempo.

Tentu, muatan politik kontra-pemerintah ini bukan tak beralasan. Aksi Reuni 212 memiliki senjata ampuh memobilisasi 4 juta massa yang ditargetkannya, yakni dengan pengibaran Satu Juta Bendera Tauhid berwarna-warni di tengah aksi tersebut. Ini erat kaitannya dengan polemik yang baru saja terjadi, yakni pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid oleh salah satu oknum pro-pemerintah beberapa waktu yang lalu. Sampai di sini saja sebenarnya sudah jelas, aksi tersebut tidak lain adalah aksi menentang pemerintah itu sendiri.

Secara de facto, dinamika 212 dapat dipandang dari logonya. Tidak lagi ditulis sebagai angka biasa seperti awalnya, 212 dijadikan logo yang menyerupai lafaz ‘Allah’ dalam desainnya. Simbol politik tersebut seakan menemukan relevansinya; ia dianggap momok kebangkitan umat Islam di satu sisi, serta mensakralisasi simbol untuk memobilisasi massa di sisi lainnya. Jangankan Al-Qur’an, seperti pada kasus Ahok, bahkan Allah sendiri mereka manipulasi demi melicinkan siasat terselubungnya.

Menarik dicatat bahwa pergerakan masif ini tak dapat dipandang sebelah mata. Para politisi di balik aksi itu memahami betul medan yang dihadapi. Ketika melihat kenyataan keluarnya beberapa anggota dari aksi-aksi semacam itu, gerakan ini adalah menyasar orang awam dengan menjadi provokasi di tengah mereka. Sayangnya itu tidak dianggap sebagai alur provokatif, orang awam memahaminya sebagai langkah membela Islam di tengah kesemrawutan yang sedang terjadi.

Kampung-kampung di mana Islam progresif tak memiliki posisi, hari ini menjadi sarang ekstremitas, tetapi nasib HTI menjadi preseden buruk gerakan yang bersembunyi di balik simbol ini untuk tak mengadakan perlawanan konfrontatif. Yang terang, geliat kebangkitan Islam itu tak terbendung, dan tidak ada yang dapat menghentikannya. Aksi Reuni 212 merupakan bukti konkret dari geliat kebangkitan Islam tersebut.

Secara birokratif Aksi Reuni 212 memang bukan merupakan aksi ilegal. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, yang secara politik merupakan oposisi telah memberi izin Lapangan Monas menjadi tempat reuni. Dengan pula mengundang Nissa Sabyan untuk memeriahkan reuni tersebut, maka Aksi Reuni 212 tidak hanya kentara politik, melainkan euforia absurd dari ilusi kebangkitan Islam itu sendiri. Bagaimana mungkin ulama yang hadir juga menyukai Gambus?

Wacana kebangkitan Islam akhir zaman, yang oleh sementara kalangan diidentikkan dengan aksi-aksi masif umat Islam dewasa ini merupakan wacana yang kompleks. Ia jalin-jemalin antara nubuat Nabi Saw. dalam satu hadisnya dengan pengalaman traumatik umat Islam yang merasa diinjak-injak, berada di lini belakang secara perekonomian maupun politik. Ironinya cita-cita kebangkitan tersebut tidak didasari progresivitas Islam seperti di masa lalu, justru dipenuhi hasrat-hasrat awam yang mengatasnamakan ‘kemurnian Islam’.

Kebangkitan tersebut kemudian sebatas menjadi ilusi, dan ketimbang disebut kebangkitan Islam, barangkali lebih pas disebut ‘kebangkitan habaib’. Kenyataannya setiap aksi selalu memancing emosi massa melalui narasi perlawanan, yang oratornya adalah seorang habib, orang yang paling dihormati itu. Dengan kata lain, kalau keturunan Nabi Saw. sudah berseru demikian, apa lagi alasan untuk tidak mengikutinya?

Begitulah, mindset awam ini menyelinap menjadi ilusi kebangkitan Islam melalui jalur perebutan politik yang mereka inginkan. Sampai itu terjadi maka aksi-aksi semacam Aksi Reuni 212 akan terus menerus digelar, sebagai hasrat ilusif kebangkitan Islam akhir di zaman.

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.