Minggu, Oktober 13, 2024

Akhir Pekan yang Panjang di Musim Pandemi

Sarani Pitor Pakan
Sarani Pitor Pakan
Dosen SV UGM

Ketika rekor baru kasus corona per hari tercatat di Indonesia, Jumat (28/08) sore, yakni lebih dari tiga ribu kasus, saya seperti sedang membaca sesuatu yang ditunggu-tunggu. Sesuatu yang wajar-wajar saja. Kita baru melewati dua akhir pekan yang panjang (long weekend) berturut-turut, terkait dengan tanggal merah pada 17 dan 21 Agustus lalu. Apa yang lebih mengerikan dari musim libur bertaut dengan musim pandemi?

Relasi antara long weekend dan kenaikan jumlah kasus corona juga diutarakan oleh Atik Choirul Hidajah, Kepala Departemen Epidemiologi FKM Universitas Airlangga, seperti dirilis Kumparan. Kerumunan dan mobilitas manusia pada saat long weekend, katanya, akan menjadi salah satu satu faktor yang berpengaruh terhadap proses penyebaran corona. Teorinya, kita perlu melihat tren kenaikan kasus corona selama 2-3 minggu ke depan.

Di beberapa negara Eropa, jumlah kasus naik lagi menyusul libur musim panas yang ‘memaksa’ orang-orang keluar rumah, berpergian, dan menikmati cuaca yang hangat dengan bervakansi atau sekadar bercengkrama dengan orang lain di ruang publik. “Kita akan membayar liburan musim panas kita dengan lockdown di musim dingin,” tulis Devi Shridar, pakar kesehatan masyarakat Universitas Edinburgh, pada artikel opininya di New York Times.

Di Indonesia, dua long weekend beruntun adalah momentum penting. Setidaknya, seharusnya kita membacanya seperti itu. Di situlah letak ujiannya. Sayangnya, di media sosial pribadi, saya melihat orang-orang berlibur dengan asyik, menikmati hari-hari bebas setelah bulan-bulan yang panjang #dirumahaja. Saya mencoba meng-kroscek ke beberapa kawan, apakah hal yang serupa mereka temukan di medsos masing-masing. Jawabannya iya.

Pilihan untuk berpergian, jalan-jalan, liburan, traveling, staycation, vakansi, makan di luar, hangout, nongkrong, atau apa pun namanya, adalah sah-sah saja. Bersenang-senang adalah hak. Berpergian juga, termasuk untuk berlibur. Dan, semakin sah ketika negara seperti mendorong kita untuk melakukannya, atas nama perputaran roda ekonomi. Masalahnya, apakah jalan-jalan di tengah kurva pandemi yang merangkak naik adalah sesuatu yang pantas?

Wisata sebagai arena moral

Suatu artikel menggelitik saya, beberapa pekan lalu, tentang vakansi di masa pandemi. Judulnya agak lucu dan sedikit provokatif, tergantung bagaimana kita mencernanya: “Pssst, kita pergi liburan”. Sejak awal pandemi ini, berpergian adalah salah satu hal pertama yang dibatasi dan bahkan dilarang di banyak negara. Kita tahu mudik sempat dilarang di Indonesia, juga betapa rumitnya syarat berpergian keluar-masuk Jakarta beberapa waktu lalu.

Yang diijinkan hanyalah perjalanan-perjalanan ‘esensial’, dan liburan tentu tak termasuk di dalamnya. Ketika batas-batas dikendurkan, dan pintu-pintu sedikit dibuka, orang-orang mulai berpikir keluar rumah dan berlibur. Masalahnya, pandemi masih bergulir. Beberapa orang akhirnya tetap berpergian, tapi tanpa gembar-gembor di media sosial, sekaligus menyiratkan bahwa berwisata telah memasuki arena moral yang pelik di masa pandemi.

“Pandemi ini menunjukkan kasus unik dimana traveling memasuki wilayah moral, karena ada dua hal yang terjadi ketika anda berpergian. Pertama, saya mengambil risiko terhadap diri sendiri. Kedua, dengan meletakkan risiko ke diri sendiri, saya bisa saja menyebarkan virus corona ke orang lain,” ujar Jillian Jordan, asisten profesor Harvard Business School.

Penting diingat bahwa berwisata atau jalan-jalan memang telah lama menyangkut wilayah moral, yaitu terkait nilai soal baik dan buruk. Narasi wisata berkelanjutan, misalnya, juga terkait soal kesempatan turis untuk ‘merasa baik’ (feeling good) ketika menikmati liburannya. Seakan-akan dengan menerapkan prinsip wisata berkelanjutan, kita merasa terbebas dari jejak karbon yang telah kita keluarkan untuk keluar rumah dan berwisata.

Kasus voluntourism juga salah satu topik yang kerap dibahas ketika pakar kajian pariwisata menautkan pariwisata dan moral. Apakah berwisata dengan dalih ‘menyelamatkan dunia’ benar-benar baik? Apa dampak yang dihasilkan dari jenis wisata, mengutip Jim Butcher, ‘sun, sand, and saving the world’? Konsep wisata yang kerap dilabeli ‘baik’, seperti voluntourism dan ecotourism, pada praktiknya toh tak luput dari unsur eksploitasi.

Dalam konteks itu, berwisata di kala pandemi hanyalah babak baru dalam kelindan pariwisata dan moral. Dan, karena ini wilayah moral, kemungkinan besar jawabannya kembali ke diri masing-masing, mengingat baik bagi satu orang belum tentu baik bagi yang lain. Seperti sebuah kontras yang saya temukan di linimasa Facebook, dimana di bawah foto liburan seorang kawan adalah berita kematian seorang dokter akibat corona.

Akhir pekan sebagai politik

Selain soal moral yang sulit diperdebatkan, dua long weekend beruntun kemarin membuat saya mengingat soal hubungan akhir pekan dan politik. Akhir pekan adalah sesuatu yang politis. Kenapa kebanyakan kita libur pada hari Sabtu dan Minggu adalah urusan politik, juga kenapa beberapa negara Skandinavia merencanakan akhir pekan yang lebih panjang, guna mereduksi jumlah hari kerja dengan dalih meningkatkan produktivitas.

Ian Henry, penulis The Politics of Leisure Policy, mengemukakan bahwa waktu luang (leisure) adalah persoalan politis, meski kerap diabaikan, karena ia menjalankan fungsi ideologis tertentu. Misalnya soal kegiatan waktu luang apa yang dianggap ‘pantas’ oleh negara dan masyarakat. Dalam konteks itu, minum alkohol, gulat, berjudi, dan adu binatang adalah contoh yang kerap diteliti. Selain itu, berwisata bisa jadi dianggap ‘pantas’ pada satu periode tapi dianggap ‘tidak pantas’ pada periode yang lain.

Maka, long weekend juga soal politis karena ia dirancang negara dengan tujuan tertentu. Salah satunya adalah kesempatan untuk bersilahturami, berlibur, dan menggerakan roda ekonomi via aktivitas pariwisata. Sebelum pandemi, argumen seperti itu sah, terlebih dalam logika neoliberal dan konsumersisme yang kental. Logikanya, akhir pekan yang lebih panjang akan mendorong lebih banyak kelas menengah pergi ke mal atau tempat-tempat wisata dan menghamburkan uangnya di situs-situs kesenangan itu.

Logika yang sama sepertinya dilanggengkan pada dua long weekend beruntun kemarin. Secara sekilas, rencana itu berhasil. Orang-orang keluar rumah dan memberi pelumas bagi lancarnya putaran roda ekonomi kita. Sejak awal, seperti menghapus libur cuti bersama Lebaran, negara sebenarnya bisa mengurangi jumlah hari akhir pekan kemarin. Tapi, pilihan itu tak ada selama yang menjadi mandor adalah ekonomi, ekonomi, ekonomi.

Oleh karena itu, yang bisa kita lakukan sekarang hanyalah memeriksa kurva peningkatan kasus corona dalam 2-3 pekan ke depan dan berharap dua long weekend kemarin, serta meningkatnya mobilitas dan kerumunan manusia di dalamnya, tidak menjadi petaka. Sebaliknya, ‘endless first wave’ yang ditulis Al Jazeera bukan tak mungkin akan jadi kenyataan. Dan, jika benar, long weekend pertengahan Agustus ini bisa jadi berperan besar.

Sarani Pitor Pakan
Sarani Pitor Pakan
Dosen SV UGM
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.