Bukan seorang politisi namanya jika tidak mempunyai rencana yang sangat baik untuk terus berusaha dalam menciptakan reputasi positif di mata publik. Tak pelak jika sampai saat ini para pendukung fanatik dari politisi tersebut sangat sulit untuk berpaling ke lain hati, manipulasi demi manipulasi politik pun seringkali dianggap sebagai pencerahan dari surga oleh para pendukungnya.
Oleh karenanya, beberapa tindakan politik yang diciptakan oleh para politisi tentunya akan berimplikasi terhadap semua aspek dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya para politisi tersebut membantu gotong royong di sebuah daerah yang tidak diperhatikan oleh politisi sebelumnya, hingga pada akhirnya masyarakat merasa tersanjung, karena politisi yang baru adalah politisi yang lebih baik daripada politisi sebelumnya.
Untuk menjadi politisi yang baik, memang tidak sedikit juga para ahli yang menjadi pencetus teori mengenai bagaimana cara untuk menjadi politisi yang mencintai rakyatnya, salah satu teori yang selalu menjadi buah bibir adalah di mana para politisi harus mengutamakan etika politik.
Teori tersebut menjelaskan bahwa politisi yang baik adalah mereka yang memiliki sikap jujur, santun, memiliki integritas dalam menghargai orang lain dengan menrima pluralitas, serta memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum (Hafied Cangara, 2009: 361). Tetapi pada kenyataanya, teori itu hanyalah sebuah kata-kata yang menjadi etalase di ruang tamu, untuk selanjutnya teori tersebut hanya dijadikan kotoran binatang yang tidak berguna sama sekali.
Pada umumnya politisi di Indonesia memang selalu melakukan hal-hal yang sangat praktis, walaupun di satu sisi yang lainnya sangat dibolehkan juga jika kita menganggap bahwa tindakan tersebut bukan suatu tindakan politik praktis. Misalnya kunjungan presiden dengan beberapa ulama, kunjungan tersebut bisa ditafsirkan sebagai politik praktis, dan bisa juga ditafsirkan sebagai tindakan yang positif.
Tetapi pada kenyataannya, pada saat ini kedua hal tersebut bisa dikonvergensikan, dan bisa terjadi secara simultan, sehingga akhirnya bisa disebut dengan puffery politik.
Puffery Politik Masa Kini
Puffery berasal dari verba to puff yang berarti “meniup, membesar-besarkan, atau menyatakan secara berlebihan masalah penilaian dan opini subjektif dalam menaksir selera keindahan, kesenangan, popularitas, keawetan, dan sifat-sifat serupa” (Dan Nimmo, 2011: 103). Secara garis besar, dapat disimpulkan bahwa puffery politik adalah suatu tindakan atau pernyataan subjektif mengenai hal apapun itu yang pada umumnya juga seringkali dilontarkan oleh politisi untuk mencapai tujuan tertentu.
Seiring berjalannya waktu, puffery politik adalah strategi para politisi ketika kampanye yang diberikan sangat terbatas, dan solusi yang paling tepatnya adalah dengan melakukan puffery politik.
Ketika kampanye yang hanya diberikan dari pagi sampai sore, ataupun waktu kampanye sudah mau habis, maka para politisi tidak akan diam saja, mereka juga akan melakukan cara lain untuk tetap berkomunikasi dan menjaga reputasi dengan pendukung ataupun masyarakat luas. Misalnya para politisi berdakwah via media sosial, dengan membawa-bawa firman tuhan.
Kemudian para politisi mencoba untuk lebih akrab dengan institusi media massa maupun online, para politisi juga bisa melakukan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan anak muda, dan banyak lagi hal-hal yang dilakukan demi kepentingan reputasi dan kemenangan untuk dirinya dan pasangannya.
Terlebih lagi disaat bulan ramadhan tiba, maka para politisi bisa memanfaatkan momentum tersebut dengan kegiatan-kegiatan yang sangat agamis. Misalnya berkumpul dengan ibu-ibu pengajian, menyantuni anak yatim, melakukan buka puasa bersama dengan pendukungnya, ataupun dengan cara lainnya. Tanpa dipungkiri jika hal itu terus dilakukan oleh para politisi, tentunya akan menjadi strategi paling ampuh untuk menjadi pemenang dalam pilkada serentak nanti.
Pada intinya puffery politik yang dilakukan oleh para politisi tidak melanggar peraturan yang ada, sehingga hal itu bisa dilakukan kapanpun dan dimanapun itu. Jadi sangat terlihat jelas perbedaan antara kampanye dengan puffery politik yang dilakukan oleh para politisi.
Oleh karenanya hal ini yang harus diperhitungkan untuk semua kalangan masyarakat, dalam memilih pasangan, masyarakat juga harus lebih teliti untuk melihat mana pasangan yang hanya melakukan puffery, dan mana pasangan yang sungguh-sungguh dalam melakukan program-program yang berorientasi terhadap kepentingan masyarakat. Lalu apakah puffery politik akan semakin gila di bulan ramadhan? Lihat saja nanti.
Daftar Pustaka:
Cangara, Hafied. 2009. Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Nimmo, Dan. 2011. Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sumber Foto: https://pixabay.com/en/megaphone-government-speech-40679/ (diakses pada tanggal 11 Mei 2018, pukul 16:14)