“Kenapa sih buang sampah aja harus diajarin?” Pertanyaan itu sering terdengar di tengah masyarakat kita, disampaikan dengan nada frustrasi ketika melihat perilaku yang terasa tidak masuk akal: orang buang sampah sembarangan padahal tempat sampah hanya beberapa langkah, menyerobot antrean dengan wajah tanpa dosa, mengklakson agresif di jalan sempit, atau melempar komentar tubuh di media sosial seolah tak ada norma yang berlaku. Kita pun menyimpulkan: “Orang-orang ini nggak punya common sense, ya?”
Tapi mari kita berhenti sejenak dan bertanya balik: apakah common sense—akal sehat—benar-benar universal? Apakah semua orang otomatis memilikinya sejak lahir Jawabannya: tidak.
Common sense bukanlah bawaan biologis seperti rasa lapar atau refleks menutup mata. Ia adalah hasil dari proses panjang: pembiasaan, pengajaran, keteladanan, serta penegakan norma yang dimulai dari keluarga, diperkuat di sekolah, dan diperluas oleh masyarakat. Tanpa semua itu, yang kita anggap sebagai “akal sehat” hanyalah ekspektasi kosong terhadap individu yang tak pernah diajari bagaimana cara hidup bersama secara tertib dan beradab.
Lihatlah keseharian kita. Budaya antre masih lemah. Privasi masih dianggap bukan hak melainkan ruang bebas untuk diusik. Berkendara tanpa empati jadi pemandangan biasa. Media sosial diperlakukan seperti tong sampah emosional. Bahkan janji dan waktu pun dianggap bisa dilanggar tanpa beban. Semua ini bukan soal bodoh atau tidak peduli. Ini soal ketidakhadiran pendidikan karakter yang konsisten sejak dini.
Sayangnya, sistem pendidikan kita masih terlalu fokus pada akademis. Pendidikan karakter hadir hanya sebagai slogan kurikulum—dipajang di dinding kelas, tapi tak pernah benar-benar dijalankan. Di sisi lain, banyak keluarga juga tak membiasakan perilaku baik di rumah. Figur publik? Tak sedikit yang justru mempermalukan nilai-nilai sosial lewat arogansi dan pelanggaran yang terus diberi ruang di media.
Parahnya lagi, pelanggaran kecil dibiarkan dan dianggap wajar. Parkir sembarangan, melanggar lampu merah, menyeberang sembarangan, buang sampah dari jendela mobil—semua itu jadi “humor sehari-hari” alih-alih kesalahan kolektif. Ketika pelanggaran kecil dimaklumi, jangan heran jika kita tumbuh menjadi bangsa yang kehilangan rasa malu untuk melanggar.
Lantas, apakah akal sehat bisa diajarkan?
Tentu saja bisa. Tapi tidak dengan ceramah. Ia harus ditanamkan lewat pembiasaan dan keteladanan. Lewat keluarga yang mengajarkan arti antre tanpa menyerahkannya pada guru. Lewat sekolah yang tak hanya menilai nilai ulangan, tapi juga mengawasi siapa yang datang tepat waktu dan siapa yang jujur dalam tugas. Lewat masyarakat yang tidak takut menegur dengan santun, dan negara yang menindak pelanggaran kecil tanpa kompromi.
Perubahan tidak lahir dari satu undang-undang megah. Ia dimulai dari hal-hal kecil: datang tepat waktu meski orang lain tidak, membuang sampah di tempatnya meski tidak ada yang melihat, menunggu giliran dengan sabar meski antrean tampak kacau. Di situlah benih common sense ditanam. Diulang, dibiasakan, lalu diwariskan.
Jadi, alih-alih bertanya, “Mengapa orang lain tidak punya akal sehat?”, mari kita tanya: “Sudahkah aku mencontohkannya hari ini? “Karena perubahan sosial tidak pernah dimulai dari orang lain. Ia selalu lahir dari diri sendiri—dari satu langkah kecil yang dilakukan terus-menerus dengan kesadaran penuh, demi hidup bersama yang lebih manusiawi.