Sabtu, April 20, 2024

Ajaran Agama Menghormati Tokoh Agama

wibowo waskito
wibowo waskito
penerima Maarif Fellowship (MAF) tahun 2017. Pegiat Studi Islam

Akhir-akhir ini tenun kebangsaan sedang berusaha dikoyak oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Salah satu sendi terpenting berdirinya bangsa ini, kehidupan beragama, mendapat serangan bertubi-tubi. Publik kerap dipertontonkan aksi-aksi teror terhadap para pemuka agama, maupun rumah peribadatan melalui layar televisi dan media cetak lainnya.

Diawali kasus penyerangan oknum terhadap salah seorang pucuk pimpinan Pondok Pesantren Al Hidayat KH. Umar Basri, Sabtu (27/1/2018). Selang tiga hari kemudian, kasus serupa terjadi di kota Bandung dan kemudian berlanjut di berbagai daerah lain. Kekerasan ini tak hanya terjadi kepada umat Islam, pasalnya seorang Biksu menjadi korban persekusi sekelompok orang di daerah Legok, Tangerang.

Ia dituding menyalahgunakan rumahnya sebagai tempat peribadatan dan aktifitas keagamaan umat Budha. Selang beberapa hari, publik kembali digegerkan ulah pemuda yang mengamuk di Gereja St. Lidwina Sleman Yogyakarta. Aksinya tersebut melukai empat orang jemaat misa termasuk seorang Pastur.

Banyaknya kasus penganiayaan terhadap pemuka agama yang terjadi secara beruntun, sangatlah wajar apabila masyarakat berasumsi bahwa kejadian tersebut merupakan kejadian setingan atau by design. Akan tetapi, tulisan ini tidak akan berkutat pada konteks ini.

Terlepas kasus di atas merupakan fenomena yang direncanakan ataupun tidak, kasus penganiayaan terhadap para pemuka agama sangatlah tidak dibenarkan. Namun salah satu efek domino yang ditimbulkan tetap tidak dapat terelakkan. Salah seorang kyai di Lamongan suatu saat pernah bersinggungan dengan orang gila sampai akhirnya berujung pada pengejaran kepadanya. Sontak pikiran masyarakat saat itu segera tertuju pada rentetan kasus yang sedang booming. Rasa was was dan cemas segera menyebar luas ke lapisan masyarakat, khususnya di tataran akar rumput.

Ironis ketika menyaksikan para punggawa negeri ini tengah berjuang menyuarakan misi kerukunan antar umat beragama di mata dunia, lantas ‘wajah kedamaian’ itu dirusak oleh segelintir oknum di ‘rumahnya’ sendiri tanpa berpikir panjang. Sungguh tak berlebihan jika dikatakan bahwa para pelaku adalah orang-orang egois yang nihil pemahaman agama.

Dalam agama Kristen, ajaran untuk menghormati pemeluk ajaran lain dan mengedepankan kerukunan terlukiskan dalam sebuah kisah yang menceritakan seorang Samaria yang baik hati (Luk 10:29-37). Dikisahkan bahwasanya seorang Samaria telah menolong seseorang yang dirampok oleh sekawanan penjahat.

Di mana korban tersebut merupakan seorang Yahudi. Bukan rahasia umum bahwa Yahudi merupakan musuh bangsa dan agamanya. Kisah ini tentunya dapat diteladani oleh semua orang, tidak hanya Kristen saja, tentang mengedepankan hati nurani dan kasih sayang dalam bergaul dengan sesama. Tidak lagi memperhatikan dari mana asal, suku, agama, kawan atau lawan.

Begitu juga dengan agama Budha. Terdapat kisah yang menjelaskan sikap toleransi Sang Budha kepada pemuka agama lain. Bermula ketika datang seorang bernama Upali yang merupakan murid dari Nigantha Nataputha, seorang guru besar dari sekte agama Jaina, datang untuk berdialog terkait ajaran agama Budha.

Hingga akhirnya Upali merasa tertarik untuk menjadi pengikut Budha dan meninggalkan agama serta gurunya. Tanpa disangka, Sang Budha malah menyuruh Upali untuk memikirkannya kembali, karena dia adalah murid dari seorang guru besar yang ternama, dan juga merupakan orang yang terpandang di masyarakat.

Di akhir sang Budha menerima Upali sebagai muridnya dengan memberikan syarat bahwa dia diizinkan mengikutinya namun dengan harapan agar tetap menghargai agamanya yang lama dan menghormati bekas gurunya, serta membantunya.

Adapun Islam, sebagai agama samawi terakhir ditelisik dari sisi bahasa memiliki arti yaitu kedamaian. Dalam mewujudkan kedamaian baik diantara pemeluknya maupun kepada pemeluk agama lain di seluruh jagad semesta, Islam mengedepankan konsep penghargaan atas manusia itu sendiri. Hal ini tertuang dalam Al-Qur’an (Al-Isra’:70) dengan terjemahan sebagai berikut:

“Dan sungguh kami telah muliakan umat manusia, dan kami bawa mereka baik di daratan maupun di lautan, dan kami telah mencurahkan mereka rizki yang baik, dan kami anugerahi keunggulan atas makhluk ciptaan kami yang lain.”

Dalam ayat tersebut, disebutkan bahwasanya manusia seluruhnya dimuliakan dengan berbagai cara. Mulai dari diberi kemampuan untuk menjelajah seluruh wilayah bumi, kemudian limpahan rizki yang baik, dan keunggulannya dari makhluk lain yang tercipta.

Dan perlu diketahui bahwa dalam ayat ini digunakan kata laqod di awal yang berfungsi untuk memberikan penekanan. Sehingga dari awal manusia memang tercipta dengan kemuliaan dan hendaknya dihormati, baik dari harga dirinya, agamanya, hartanya, dan keluarganya.

Lebih jauh, Islam secara tersurat dan lantang memberikan posisi yang terhormat kepada pemuka agama lain. Hal ini tercermin dalam salah satu aturan perang yang diberlakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Beliau selalu menyerukan kepada pasukannya ketika hendak berperang dengan memberikan instruksi “Lâ Taqtulû Ashhâba As-Shawâmi’” atau dapat diartikan dengan “Janganlah membunuh para penghuni biara (Rahib)”.

Dalam redaksi lain disebutkan “Walâ Mun’azilan Bi Shouma’atin” (janganlah membunuh (rahib) yang sedang berada di gereja). Arahan sebelum perang seperti ini juga kemudian diikuti oleh para Khulafaur Rosyidin (empat sahabat pengganti rosul).

Imam Al-Auza’i ketika ditanya seseorang terkait bolehnya menyerang Rahib, wanita, dan anak-anak yang berpotensi dan dikhawatirkan dapat memberikan bala bantuan kepada pasuka musuh, beliau menjawab dengan tegas, “tidak boleh, meskipun ada kekhawatiran seperti itu. Karena sasaran perang itu tidak boleh berdasarkan dugaan semata.”

Dari tinjauan tersebut diketahui bahwa Islam sangat menghormati posisi seorang pemuka agama. Secara khusus bahkan mereka disebutkan dengan representasi seorang ‘Rahib’ untuk dilindungi ketika perang. Islam sangat memahami bahwa mereka selain bertugas mensyiarkan dan menjaga keberlangsungan agamanya, juga sebagai salah satu dari simbol agama masing-masing.

Maka ketika dalam kondisi perang saja mereka mendapatkan perlindungan dari amukan, terlebih ketika kondisi damai. Penyerangan dalam bentuk apapun kepada mereka pastinya tidak dibenarkan dalam agama Islam. Pelanggaran akan hal ini sama dengan melanggar batas yang telah digariskan. Batas dalam kehidupan manusia secara umum dan batas dalam kehidupan antar umat beragama.

Merujuk pada diskursus di atas, perlu digarisbawahi bahwa legitimasi penyerangan kepada pemeluk agama lain, terlebih kepada pemukanya, sama sekali tidak didapati dari berbagai ajaran agama. Apapun motif dan tujuan dari tindakan tersebut sangatlah bertentangan dengan semangat perdamaian yang diusung oleh tiap agama.

Patut diingat, masyarakat sebaiknya tidak mudah terprovokasi dan bisa menyikapi dengan bijak dan dewasa. Persatuan di rumah bersama yang bernama Indonesia ini harus dikedepankan. Semoga kelak tindakan persekusi tidak dijumpai lagi. Amin.

wibowo waskito
wibowo waskito
penerima Maarif Fellowship (MAF) tahun 2017. Pegiat Studi Islam
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.