Kamis, April 25, 2024

Air dan Kota: Jakarta (Jangan) Tenggelam

Rusydan Fathy
Rusydan Fathy
Research Center for Society and Culture - Indonesian Institute of Sciences (P2KK - LIPI) | Email: rusydan.fathiy@lipi.go.id / rusydanfathy@gmail.com

“Air adalah saudara, ada saatnya kita akan didatangi”

Ciliwung Institute.

Kalimat singkat sarat makna. Bagaimana tidak, quote tersebut mengandung esensi tentang hubungan berkelindan antara manusia dan lingkungan, antara sungai yang mengalir dan perkotaan, antara Jakarta dan banjir musiman.

Jakarta dan banjir ialah dua entitas yang tidak dapat dipisahkan, manifestasi dua sisi mata koin yang saling melengkapi. Namun, sadar atau tidak (ingin) sadar, hubungan tersebut jelas merupakan hubungan saling berbagi kerugian.

Lihatlah bagaimana Homo Jakartensis mencemari sungai setiap hari dan bagaimana banjir menghampiri mereka berkali-kali. Sementara itu belum lama ini, Ci Liwung (Baca: Ciliwung) meluap lagi.

Kita tahu Indonesia adalah negara perairan bertabur pulau-pulau. Belum lagi nenek moyang seorang pelaut. Namun ironisnya, potensi dan local wisdom itu terhanyut oleh derasnya ombak industrialisasi, tergerus oleh pesatnya laju pembangunan. Pembangunan dan industrialisasi dalam konstelasi perubahan sosial sejak dahulu memang sering tidak ramah lingkungan karena hanya berorientasi pertumbuhan ekonomi semata.

Tanah, udara dan air mengalami pencemaran. Terlebih lagi, paradigma manusia Ibukota masih menjadikan sungai sebagai halaman belakang, bukannya serambi terdepan. Sungai masih dijadikan tempat pembuangan limbah rumah tangga.

Oleh karenanya, dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, menurut Warsilah (2015), pertama-tama harus ada repositioning terkait hal itu. Masyarakat Jakarta sangat membutuhkan sungai. Kehidupan mereka bergantung pada air. Oleh karenanya mereka harus memiliki ketahanan air.

Posisi Jakarta sebagai kota Pesisir masih tidak disadari oleh warganya. Mereka seakan tidak ingin tahu bahaya kenaikan permukaan air laut yang mengancam. Padahal, dalam perjalanannya, perkembangan Jakarta menuju kota metropolitan senantiasa diwarnai banjir sebagai langganan kebencanaan. Cerita ini sudah dimulai sejak zaman kolonialisasi Belanda. Dalam konteks sejarah, Belanda telah mencoba menerapkan pola pengelolaan air bagi Indonesia.

Faktanya, Belanda yang telah mengkolonialisasi Batavia (Jakarta) selama kurang lebih 300 tahun tidak pernah 100% sukses mengatasi banjir Jakarta (Gunawan, 2018). Menurut Gunawan (2018), salah satu penyebabnya adalah tidak terintegrasinya aspek kebudayaan (cultural) dan perilaku (behavioral) masyarakat – Jakarta adalah entitas multi etnik.

Orang yang tinggal di dekat sungai atau laut tentunya memiliki perbedaan pandangan dengan orang yang tinggal di pedalaman. Penyebab lain yaitu faktor geografis Jakarta itu sendiri. Bukan rahasia jika 40% wilayah Jakarta berada di bawah permukaan air laut. Oleh karena itu, sudah seyogianya berbagai kebijakan memperhatikan beberapa aspek: ekonomi, lingkungan dan sosial sehingga dapat disebut sebagai pembangunan yang berkelanjutan.

Lalu bagaimana dengan kebijakan normalisasi DAS Ciliwung oleh Gubernur Jakarta mulai dari masa Ahok sampai Anies? Normalisasi sungai Ciliwung saat ini baru mencapai sekitar 60% (beritasatu.com).

Normalisasi DAS Ciliwung terutama terhambat oleh warga yang enggan direlokasi, konflik pembebasan lahan dan pro dan kontra antara pemerintah dengan masyarakat perihal beton-isasi sungai.

Ciliwung sedang meluap (lagi), warga harus mengungsi. Ketika Anies ditanya soal keberlanjutan normalisasi semasa Ahok, dirinya menjelaskan tentang konsep naturalisasi sungai – tentang bagaimana mengelola air dengan baik, menjaga debit air dan mempertahankan ekosistem sungai (www.tribunnews.com).

Yang terpenting dari kebijakan adalah implementasi yang komprehensif. Apapun program pemerintah untuk mengatasi banjir harus merupakan Sustainable Water Development (Pembangunan Air Berkelanjutan). Dalam pada itu mencakup bukan hanya aspek fungsi kawasan melainkan juga aspek manusia dan aspek berkelanjutan (Vidiyanti, 2014).

Beberapa kebijakan yang tidak memperhatikan hal ini nyatanya mengalami kegagalan kebijakan (lag of policy). Bukan hanya itu, ternyata kegagalan tersebut juga datang akibat ulah masyarakatnya sendiri. Dalam pada itu, maka Sustainable Water Development yang inklusif merupakan urgensi yang harus dimanifestasikan dalam rangka mewujudkan kota berkelanjutan yang memiliki ketahanan air.

Terkait hal tersebut, agenda global dalam kerangka Sustainable Development Goal’s atau pembangunan berkelanjutan (SDGs) juga menyorot pentingnya peranan komunitas sebagai organisasi masyarakat sipil. Pada level komunitas, peranan mereka sangat penting untuk mengubah paradigma masyarakat.

Signifikansi mereka akan terlihat dalam mengkampanyekan isu urbanandwater demi mewujudkan kesadaran untuk menciptakan harmonisasi kota Jakarta dengan sungai-sungai yang mengalir di dalamnya. Bagaimanapun, Jakarta akan terus menari di atas kompleksitas masalah air dan kota.

Solusi atas penyempitan aliran sungai, bangunan di bantaran sungai dan pencemaran sungai semoga cepat dicapai. Perubahan paradigma dalam penataan air kota tentunya menjadi keharusan jika ingin menyelesaikan kompleksnya masalah tersebut. Semoga kualitas ekologi sosial Jakarta dapat terus berangsur membaik. Semua berharap kesehatan Jakarta mencapai titik prima. Demikian Jakarta dengan segala isinya.

 

Referensi

Gunawan, Restu. Flooding in the Capital City (Jakarta): In Historical Perspektif. Power point. Disampaikan dalam Seminar Urban Water Universitas Tarumanegara 7 Maret 2018. Jakarta.

Vidiyanti, Christy. Sustainable Waterfront Development sebagai Strategi Penataan Kembali Kawasan Bantaran Sungai. Conference Paper. Disampaikan dalam Temu Ilmiah IPLBI 11-12 November 2014. Palembang.

Warsilah, Henny, (Peny). Pembangunan Inklusif Kota Pesisir Luar Jawa: Kasus Tanjung Benoa Bali dan Padang Pariaman Sumatera Barat. Makalah Rancangan Penelitian. Disampaikan dalam Seminar Riset Desain P2KK LIPI 20-22 Februari 2018. Jakarta.

Rusydan Fathy
Rusydan Fathy
Research Center for Society and Culture - Indonesian Institute of Sciences (P2KK - LIPI) | Email: rusydan.fathiy@lipi.go.id / rusydanfathy@gmail.com
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.