“Siapa yang menguasai teknologi, maka ia menguasai narasi. Dan siapa yang menguasai narasi, ia mengendalikan dunia.”
Pernyataan ini bukan sekadar teori konspirasi, tetapi realitas yang semakin nyata di era kecerdasan buatan (AI). Model bahasa besar (LLM) seperti ChatGPT kini bukan lagi sekadar alat bantu pencarian informasi atau penyusun teks otomatis. Dengan kemampuannya menyaring, mengolah, dan menyajikan informasi, AI telah menjadi semacam kurator pengetahuan yang secara tidak langsung dapat membentuk opini publik.
Namun, apa yang terjadi ketika AI tidak lagi statis, tetapi mengalami pergeseran nilai politik? Sebuah studi terbaru mengungkap bahwa model bahasa seperti ChatGPT yang sebelumnya menunjukkan kecenderungan libertarian-kiri, kini mengalami pergeseran ke arah kanan dalam spektrum politik. Ini bukan perubahan kecil. Ini adalah fenomena besar yang memiliki dampak luas, bukan hanya dalam ranah akademis atau teknologi, tetapi juga dalam aspek sosial, politik, dan demokrasi itu sendiri.
Netralitas AI, Sebuah Mitos yang Perlu Dipertanyakan
Selama ini, AI dipromosikan sebagai teknologi yang netral. Alat yang bekerja berdasarkan data, tanpa kepentingan politik atau ideologi tertentu. Namun, realitasnya jauh lebih kompleks. AI bukan sekadar kumpulan algoritma yang menganalisis teks secara mekanis, tetapi sebuah sistem yang dilatih dengan data yang berasal dari manusia, yang sarat akan bias, ideologi, dan narasi dominan dalam masyarakat.
Ketika AI mulai menunjukkan kecenderungan ideologis yang berubah seiring waktu, ini menandakan bahwa sistem ini tidak pernah benar-benar netral sejak awal. Jika model sebelumnya cenderung berpihak pada nilai progresif dan kini mengalami pergeseran ke arah yang lebih konservatif, maka pertanyaannya bukan hanya “mengapa ini terjadi?” tetapi juga “siapa yang diuntungkan oleh perubahan ini?”
Jika AI yang kita gunakan sehari-hari mulai merefleksikan sudut pandang politik tertentu, maka peran AI tidak lagi sekadar sebagai teknologi pasif, melainkan sebagai aktor politik baru yang memiliki pengaruh terhadap opini publik dan bahkan kebijakan.
AI Sebagai Mesin Ideologi
Pergeseran ini tidak hanya terjadi karena perubahan dalam dataset pelatihan yang digunakan oleh pengembang AI. Faktor lain yang sangat berpengaruh adalah interaksi manusia dengan AI itu sendiri. Model bahasa besar seperti ChatGPT belajar dari pola pertanyaan, umpan balik, dan preferensi pengguna. Semakin sering kelompok tertentu berinteraksi dengan AI dan membentuk pola penggunaan tertentu, semakin besar kemungkinan model tersebut akan mereproduksi preferensi mereka.
Fenomena ini mirip dengan konsep “echo chamber“, di mana kelompok tertentu mendominasi ruang digital dan mempengaruhi bagaimana informasi disajikan. Jika sebelumnya ChatGPT lebih sering berinteraksi dengan kelompok yang memiliki kecenderungan progresif, maka model tersebut akan lebih banyak menyerap sudut pandang tersebut. Namun, jika pengguna dengan orientasi konservatif mulai lebih aktif berinteraksi dengan AI, baik dengan memberi umpan balik atau menantang narasi yang ada, maka pergeseran nilai dalam AI menjadi sesuatu yang tak terhindarkan.
Namun, ada bahaya besar di balik ini: bagaimana jika pergeseran ini bukan sekadar hasil dari interaksi alami pengguna, tetapi akibat dari upaya sistematis untuk mempengaruhi AI? Bayangkan jika ada kelompok tertentu yang secara strategis membanjiri AI dengan pertanyaan, koreksi, atau bahkan manipulasi data untuk mengubah respons yang diberikan AI. Dalam skenario ini, AI tidak lagi menjadi “pembelajar netral”, tetapi alat yang dapat digunakan untuk merekayasa opini dan membentuk pola pikir masyarakat secara luas.
Menyikapi Narasi “AI yang Lebih Seimbang”
Sebagian orang mungkin berpendapat bahwa pergeseran ini bukanlah bentuk bias baru, tetapi sebuah koreksi terhadap kecenderungan sebelumnya. Jika AI awalnya lebih berpihak pada kelompok progresif, maka pergeseran ke kanan dapat dianggap sebagai langkah menuju keseimbangan yang lebih objektif.
Namun, di sinilah letak masalahnya, siapa yang mendefinisikan “keseimbangan” dalam AI? Jika sebelumnya AI lebih sering menyajikan perspektif progresif, apakah artinya “seimbang” berarti menyajikan perspektif konservatif dalam jumlah yang sama? Atau apakah keseimbangan justru berarti menghindari keberpihakan sama sekali?
Jika AI terus berubah secara drastis dalam hal orientasi politiknya, maka ini menunjukkan bahwa AI tidak pernah benar-benar stabil dalam menyajikan informasi yang objektif. Dan jika sistem ini bisa berubah secara drastis, maka siapa yang bisa menjamin bahwa perubahan ini bukan karena adanya tekanan atau intervensi dari kelompok berkepentingan tertentu?
Kita harus mulai mempertanyakan, apakah perubahan dalam AI ini terjadi secara organik, ataukah ini adalah hasil dari strategi politik yang lebih besar, di mana AI digunakan sebagai alat untuk mendefinisikan ulang apa yang dianggap sebagai “kebenaran” dalam masyarakat?
AI Adalah Cermin, Tapi Siapa yang Memegang Kaca?
Pergeseran nilai dalam AI bukanlah sekadar fenomena teknis yang bisa kita anggap remeh, melainkan sebuah realitas yang membawa implikasi besar bagi masyarakat. AI bukanlah entitas pasif yang bekerja di luar pengaruh manusia, melainkan bagian dari ekosistem sosial yang dinamis, dipengaruhi oleh kekuatan politik, ekonomi, dan budaya yang terus berubah. Saat teknologi ini semakin tertanam dalam kehidupan sehari-hari, menjadi sumber informasi utama, alat bantu dalam pengambilan keputusan, hingga instrumen dalam perumusan kebijakan, maka perubahan nilai dalam AI memiliki konsekuensi yang jauh lebih luas daripada sekadar pembaruan sistem atau peningkatan algoritma.
Agar AI tetap menjadi alat yang benar-benar melayani kepentingan publik, kita tidak bisa sekadar berharap pada itikad baik para pengembangnya. Transparansi dalam pengembangannya menjadi keharusan, sehingga masyarakat dapat memahami bagaimana AI bekerja dan bagaimana bias dalam sistem ini dapat terbentuk. Audit berkala terhadap AI juga perlu dilakukan untuk mengidentifikasi apakah sistem ini mulai menunjukkan kecenderungan ideologis yang tidak seimbang. Lebih dari itu, regulasi yang lebih ketat harus diterapkan untuk mencegah AI dimanipulasi oleh pihak-pihak berkepentingan guna membentuk narasi tertentu yang dapat mempengaruhi opini publik secara masif.
Namun, tanggung jawab tidak hanya berada di tangan regulator dan pengembang AI. Sebagai pengguna, kita juga harus lebih kritis dalam menyikapi bagaimana AI mempengaruhi cara kita berpikir dan mengambil keputusan. Jika suatu hari kita mendapati bahwa sudut pandang kita mulai selaras dengan apa yang sering dikatakan AI, kita harus bertanya apakah ini benar-benar hasil pemikiran kita sendiri, atau hanya refleksi dari algoritma yang telah dikondisikan oleh kepentingan tertentu?
Pada akhirnya, pertanyaan terbesar yang harus kita renungkan adalah apakah kita masih mengendalikan teknologi, atau justru teknologi yang perlahan mulai mengendalikan kita?