Kamis, Agustus 7, 2025

AI, Musuh atau Partner di Era Digital?

Rafif Muhammad
Rafif Muhammad
saya merasa tertarik untuk mencurahkan keresahan saya terhadap fenomena sosial di sekitar saya dalam sebuah tulisan. mencoba menjadi individu yang lebih bijak dalam mengkritisi suatu hal di hidup saya
- Advertisement -

Artificial Intelligence (AI) semakin menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan manusia modern, termasuk di Indonesia. Namun, di tengah pesatnya perkembangan teknologi ini, masih banyak orang yang justru melihat AI sebagai ancaman, bukan partner. Ketakutan itu sering muncul dalam bentuk pertanyaan cemas, “Kalau AI bisa melakukan semuanya, lalu apa yang tersisa untuk kita?” Padahal, sejak awal AI dikembangkan bukan untuk menggantikan manusia sepenuhnya, melainkan untuk memperkuat kapasitas kerja manusia agar lebih cepat dan efektif.

Di berbagai negara maju, AI telah membantu dokter membaca hasil rontgen dengan akurasi tinggi, mendukung analis keuangan mendeteksi penipuan secara lebih cermat, hingga memberi rekomendasi rute tercepat bagi pengemudi transportasi online. Namun keputusan strategis dan moral tetap berada di tangan manusia. AI hanya mengolah data dalam jumlah besar dan menemukan pola yang berguna, sedangkan pemahaman konteks dan penentuan tindakan final selalu menjadi ranah manusia.

Sayangnya, di Indonesia, AI masih sering dianggap sebagai saingan yang akan merebut pekerjaan. Narasi media yang menekankan potensi AI menggantikan kasir minimarket hingga analis data tanpa menjelaskan fungsi aslinya menimbulkan ketakutan kolektif. Minimnya literasi teknologi digital membuat sebagian besar masyarakat menganggap AI memiliki kesadaran seperti manusia, padahal AI hanyalah alat bantu cerdas yang bekerja sesuai data dan perintah manusia.

Budaya kerja yang menekankan senioritas juga mempengaruhi resistensi terhadap AI. Di banyak kantor, kehadiran AI mendukung karyawan muda bekerja lebih cepat justru dianggap sebagai ancaman bagi struktur kerja lama. Ditambah lagi, framing fiksi ilmiah Hollywood yang sering menampilkan AI sebagai robot cerdas perusak peradaban, semakin menanamkan ketakutan bawah sadar akan teknologi ini.

Padahal, jika kita terus memandang AI sebagai musuh, Indonesia akan tertinggal dalam persaingan global. Negara lain telah mengintegrasikan AI ke dalam hampir semua sektor strategis. Penolakan terhadap AI hanya akan menimbulkan stagnasi keterampilan dan hilangnya peluang untuk menciptakan inovasi yang mampu menyelesaikan masalah kompleks. Di saat banyak tenaga kerja dunia memanfaatkan AI untuk mengakselerasi produktivitas, menolak beradaptasi sama saja dengan menutup peluang untuk relevan di masa depan.

Sesungguhnya, AI hanya akan menggantikan manusia yang menolak belajar menggunakannya. Persaingan di masa depan bukan lagi antara manusia dan AI, melainkan antara mereka yang mampu berkolaborasi dengan AI dan mereka yang bersikeras bekerja dengan cara lama. AI bekerja dalam konsep augmentation – meningkatkan kapasitas manusia dengan mengambil alih tugas-tugas repetitif, sehingga manusia dapat fokus pada kreativitas, empati, pengambilan keputusan strategis, dan inovasi.

Langkah awal yang diperlukan adalah membangun literasi AI sejak sekarang. Mengenal AI, memahami cara kerjanya, dan menggunakannya langsung dalam tugas sehari-hari akan menumbuhkan kepercayaan diri untuk beradaptasi. Narasi kolektif pun perlu diubah: AI bukanlah musuh yang hendak menyingkirkan kita, melainkan partner yang menunggu diarahkan untuk membantu kita melaju lebih cepat. Karena pada akhirnya, AI hanyalah alat. Sama seperti komputer dan internet yang dulu ditakuti akan menghapus banyak profesi, kini justru melahirkan ribuan pekerjaan baru yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Pertanyaannya kini bukan lagi apakah AI akan menggantikan manusia, melainkan apakah kita mau belajar dan beradaptasi untuk menjadikannya partner terbaik kita. Di era digital ini, yang bertahan bukanlah mereka yang terkuat atau terpintar, melainkan mereka yang paling mampu beradaptasi terhadap perubahan zaman.

Rafif Muhammad
Rafif Muhammad
saya merasa tertarik untuk mencurahkan keresahan saya terhadap fenomena sosial di sekitar saya dalam sebuah tulisan. mencoba menjadi individu yang lebih bijak dalam mengkritisi suatu hal di hidup saya
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.