Kecerdasan buatan (AI) kini menjadi simbol kemajuan. Di berbagai forum internasional, teknologi ini dipuja sebagai motor penggerak revolusi industri keempat.
Di Indonesia, kita menyambutnya dengan antusiasme yang hampir religius. Seminar daring, kelas AI gratis, konten-konten edukasi, hingga strategi nasional kecerdasan artifisial seakan berlomba mengukuhkan narasi: AI adalah masa depan. Dan masa depan itu sudah di depan mata.
Namun, di tengah gegap gempita optimisme ini, ada satu pertanyaan penting yang jarang diajukan secara serius: Siapa yang sebenarnya siap menyambut masa depan ini? Dan siapa yang diam-diam sedang didepak dari kursi penumpang menuju ruang tunggu yang tak berujung?
Euforia yang Elitis
Kecerdasan buatan dipromosikan seolah-olah sebagai jalan pintas menuju masa depan: efisiensi meningkat, pekerjaan dipermudah, dan siapa saja bisa menjadi “lebih produktif” dengan bantuan teknologi.
Namun siapa sebenarnya yang dimaksud dengan “siapa saja”? Realitanya, euforia AI yang sedang berlangsung di Indonesia adalah euforia yang eksklusif. Ia bergerak dalam lingkaran terbatas—kota besar, kelas menengah digital, dan kalangan profesional yang sudah melek teknologi sejak awal.
Sementara di balik perayaan itu, jutaan masyarakat Indonesia masih bergulat dengan masalah koneksi internet yang tidak stabil, akses perangkat yang terbatas, hingga kemampuan literasi digital yang masih rendah.
Mereka yang paling banyak jumlahnya justru tak banyak dilibatkan dalam diskusi mengenai teknologi yang kelak akan menentukan nasib mereka. Maka tidak heran jika AI, dalam konteks Indonesia hari ini, lebih terasa sebagai proyek menara gading ketimbang gerakan transformasi sosial.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah narasi AI yang begitu diglorifikasi di ruang publik—seolah hanya ada satu arah masa depan: adaptasi atau tertinggal. Padahal belum tentu semua orang punya pijakan yang sama untuk memulai adaptasi itu.
Alih-alih menjadi kekuatan yang mendemokratisasi akses, AI berpotensi menjadi simbol baru ketimpangan: antara mereka yang punya alat dan pengetahuan untuk memanfaatkannya, dan mereka yang hanya menjadi objek dari sistem yang tidak mereka pahami.
Tanpa koreksi arah dan keberpihakan yang jelas dalam kebijakan, AI di Indonesia bisa saja berakhir sebagai revolusi yang hanya dinikmati oleh segelintir elit digital—sementara mayoritas masyarakat kembali menjadi penonton di panggung yang semestinya mereka miliki.
Siapa yang Terancam?
Banyak laporan menyebutkan bahwa pekerjaan-pekerjaan berbasis rutinitas mulai tergeser oleh otomatisasi. Di luar negeri, chatbot menggantikan layanan pelanggan. Sistem AI mengambil alih entri data, penulisan konten dasar, hingga analisis laporan keuangan.
Di Indonesia, ini bukan lagi soal “kapan,” tapi “siapa yang akan terdampak lebih dulu.”
Pekerja administrasi, customer service, bahkan sebagian pekerja kreatif—sudah mulai merasakan pergeseran itu. Sayangnya, mereka adalah kelompok yang paling jarang mendapatkan pelatihan ulang (reskilling) atau perlindungan sosial yang layak.
Sementara itu, perusahaan yang mengadopsi AI bisa memangkas biaya operasional. Di atas kertas ini efisien, dalam praktiknya bisa berarti PHK dalam skala besar jika tidak diimbangi dengan transisi yang adil.
Konsumen AI, Bukan Produsen
Ironi berikutnya: Indonesia begitu semangat mempromosikan AI, tapi mayoritas tools yang digunakan berasal dari luar negeri. Kita mengimpor teknologi, mengimpor budaya kerja berbasis otomatisasi, bahkan ikut menyumbang data untuk memperkaya sistem luar—tanpa tahu kita sedang bermain di ekosistem yang bukan kita kendalikan.
Data adalah emas baru. Tapi siapa yang punya tambangnya?
Tanpa inovasi lokal yang kuat, Indonesia hanya akan menjadi pasar dari teknologi global—bukan pelaku utama. Kita akan terus tergantung pada platform asing, bukan hanya secara teknis, tapi juga secara nilai. Kita membentuk pola pikir generasi muda berdasarkan logika sistem yang tak kita ciptakan sendiri.
Demokratisasi atau Penjajahan Digital Baru?
Tentu, AI bisa membawa manfaat besar: mempercepat layanan publik, membantu petani memprediksi cuaca, mempercepat proses riset, bahkan membantu guru membuat materi ajar. Tapi tanpa pemerataan akses, teknologi hanya akan memperdalam ketimpangan.
Kita tidak sedang menyambut revolusi teknologi. Kita sedang menyambut sistem baru yang, jika tak disiapkan dengan baik, bisa menjadi bentuk penjajahan digital baru—di mana mereka yang tidak punya akses hanya akan menjadi buruh bagi sistem yang tak mereka mengerti.
AI bisa membantu membangun bangsa. Tapi siapa yang akan membangun manusianya?
Apa yang Harus Dilakukan?
Indonesia perlu bergerak cepat. Bukan sekadar membangun infrastruktur digital, tapi juga membekali masyarakat dengan literasi yang memadai. Pendidikan harus menyesuaikan diri, bukan hanya dengan teknologi, tapi dengan nilai-nilai kritis dalam menghadapinya.
Pemerintah perlu merancang kebijakan perlindungan bagi sektor pekerjaan yang paling rentan. UMKM harus dilibatkan dalam transformasi digital secara inklusif. Dan yang paling penting, publik harus diajak berpikir kritis—agar tidak hanya menjadi konsumen pasif dari kemajuan yang penuh jebakan.
Karena jika tidak, AI bukan lagi alat bantu manusia. Ia akan menjadi alat kendali. Dan mereka yang tidak siap, bukan hanya akan tertinggal—mereka akan digerakkan, diarahkan, dan diperah potensinya tanpa pernah diberi ruang untuk ikut menentukan arah.
Indonesia tidak boleh puas hanya jadi penonton revolusi teknologi. Kita harus jadi pemain aktif—yang membentuk teknologi sesuai kebutuhan bangsa, bukan hanya menyesuaikan diri dengan logika sistem global.
Jika tidak, AI akan terus berkembang. Dan kita? Kita hanya akan jadi data, jadi angka statistik, atau lebih buruk: jadi budak dari sistem otomatisasi yang katanya diciptakan untuk memudahkan hidup manusia.
Pertanyaannya: apakah kita masih cukup sadar untuk bilang “tidak”?