Kecerdasan buatan atau AI makin tak terlepas dari aktivitas kita. Mulai dari chatbot yang melayani pelanggan 24 jam, sistem analisis keuangan, sampai teknologi kesehatan yang bisa memprediksi pola penyakit, AI sudah jadi bagian penting dalam kehidupan kita. Tapi di balik kecanggihannya, ada pertanyaan besar: Apakah AI benar-benar aman?
Faktanya, AI membuka peluang baru sekaligus celah baru. Bayangkan deepfake yang begitu meyakinkan hingga bisa menipu perusahaan besar, atau serangan “data poisoning” yang diam-diam menyusup ke data latih AI dan membuat hasil analisisnya keliru. Belum lagi kasus model AI yang diretas, sehingga sistem yang mestinya melindungi malah bisa diperalat.
Data terbaru juga bikin kita makin waspada. Laporan Accenture tahun 2025 menyebut hanya sekitar 10% organisasi di dunia yang benar-benar siap menghadapi ancaman siber berbasis AI. Sementara itu, survei Cisco menunjukkan 86% perusahaan sudah pernah mengalami insiden keamanan terkait AI dalam setahun terakhir. Di Indonesia, riset AI Readiness Index 2024 mengungkap hanya 40% responden yang merasa siap menghadapi serangan siber berbasis AI, meski hampir semua pelaku bisnis mengaku khawatir dengan maraknya penipuan seperti deepfake.
Kesenjangan ini menunjukkan bahwa teknologi berkembang jauh lebih cepat daripada kesiapan keamanan kita. Banyak perusahaan masih menganggap keamanan sebagai urusan belakangan, padahal AI tanpa perlindungan justru bisa jadi pedang bermata dua.
Langkah yang paling realistis adalah mulai membangun cyber readiness. Caranya bisa lewat audit keamanan rutin, monitoring ancaman secara real-time, hingga edukasi tim supaya nggak jadi korban human error. Prinsipnya sederhana, keamanan bukan tambahan, tapi pondasi. Tanpa itu, semua inovasi bisa runtuh dalam sekejap.
Di Indonesia, kesadaran akan pentingnya keamanan AI mulai tumbuh, terutama di kalangan perusahaan yang gencar mengadopsi teknologi baru. Untuk itu, berbagai solusi keamanan juga ikut berkembang. Salah satunya adalah Vulnerability Assessment and Penetration Testing (VAPT), yang dirancang untuk mendeteksi celah tersembunyi dalam sistem digital.
Beberapa penyedia layanan keamanan siber, seperti Widya Security, sudah mulai menerapkan metode ini agar perusahaan bisa mengidentifikasi potensi risiko lebih awal. Dengan langkah preventif semacam ini, ancaman bisa diminimalisasi sebelum berkembang menjadi serangan nyata.
AI memang menjanjikan masa depan yang lebih efisien dan inovatif. Tapi, tanpa kesiapan cyber yang memadai, semua janji itu bisa berubah jadi bumerang. Pertanyaannya sekarang, sudahkah sistem AI yang kita gunakan cukup aman untuk menghadapi ancaman siber yang terus berkembang?
