Minggu, Oktober 13, 2024

Ahmadiyah dan Maaf yang Tak Pernah Terucap

Isyraf Madjid
Isyraf Madjid
Pembaca yang berupaya menulis.

Agama tak ubahnya tuntunan etis bagi kita umat manusia, yang kemudian hal tersebut membantu kita untuk menjalani kehidupan dengan lebih teratur dan layak. Maka dari itu, aktivitas keagamaan seyogyanya dilakukan dengan seindah dan sepuitik mungkin, hingga mampu membawa kita pada panggung nirvana. Namun, segala hal tersebut nampaknya tidak berlaku pada para Jemaat Ahmadiyah Indonesia.

Ahmadiyah, bukanlah kata baru bagi kita. dari segi eksistensi, Ahmadiyah adalah sebuah gerakan kebangkitan Islam dan mazhab baru dalam Islam. Jejak nya dimulai ketika Mirza Ghulam Ahmad mendakwahkan diri sebagai seorang pembaru, Masih Mau’ud (Isa yang dijanjikan), dan Imam Mahdi yang ditunggu oleh umat Islam pada akhir zaman. Hal tersebut kemudian ia tuangkan menjadi sebuah gerakan keagamaan Islam yang lahir di India pada 23 Maret 1889.

Usianya memang baru lahir lebih dari satu abad lalu, dalam artian sebuah usia yang cenderung pendek jika dikaitkan dengan gerakan keagaamaan, Namun di usianya beranjak dewasa tersebut, dirinya seakan tak pernah lepas dari kontroversi. Ahmadiyah dinilai tidak memiliki konsistensi dalam syahadat Islam, akibat keyakinannya terhadap sosok Mirza Ghulam Ahmad yang diposisikannya sebagai nabi, padahal Islam mainstream memandang Muhammad SAW adalah khatamul nabiiyin (nabi mutakhir).

Bagi beberapa pihak, perbedaan prinsip ini tidak lagi berada dalam wilayah yang dapat ditoleransi. Pendapat dari berbagai pihak itulah yang kemudian menuai beragam tindakan, dari yang paling kecil seperti tidak mengakui dan menerima jemaat Ahmadiyah sebagai sesama umat beragama yang memiliki keyakinan yang sama, hingga yang paling besar, melakukan persekusi ke beberapa masyarakat yang tergolong pada JAI tersebut.

Dalam torehan sejarah kita telah terekam berbagai peristiwa, dilansir CNN Indonesia beberapa peristiwa tersebut diantaranya ialah peristiwa Cikeusik, Monas dan berbagai daerah lainnya. Seakan tak mengenal batas ruang, tindakan persekusi ini pun turut terjadi di bagian lain daerah negara ini, wujudnya ialah pengusiran dan penyerangan jemaat Ahmadiyah di NTB. Naasnya hal tersebut tidak hanya dilakukan sekali dua kali, melainkan berkali-kali.

Menurut penuturan bapak Saleh selaku pimpinan JAI di lombok, tindakan persekusi telah mereka alami sejak 1999, dimana sasarannya ialah pengrusakan rumah hunian hingga tempat ibadah. Kemudian tragedi selanjutnya terjadi pada 2001, dimana jemaat Ahmadiyah Pancor, Lombok Timur, menjadi korban penyerangan. Meski tidak ada korban jiwa dalam kejadian ini. Namun, mereka semua kembali diusir dari tempat tinggalnya.

Jemaah Ahmadiyah yang terusir itu kemudian terus berpindah mencari tempat tinggal. Sempat membeli tanah, rumah mereka kembali dirusak oleh sekelompok massa dan terusir kembali. Hingga akhirnya mereka ditampung oleh Pemerintah Provinsi NTB di Wisma Transito milik Pemprov, di Mataram, Lombok Barat.

Dasar manusia, dimana kekejaman dan kebengisan telah menjadi suatu hal yang terkesan melekat di pembuluh kapilernya. Rententan persekusi dan pengusiran jemaat Ahmadiyah di NTB pun kembali terjadi, tepatnya di Desa Greneng, Kec. Sakra Timur, Kabupaten Lombok Timur, NTB. Dimana penyerangan dilakukan sebanyak tiga kali yakni pada Sabtu siang hingga malam serta Minggu pagi pada bulan Mei 2018.

Tentu timbul pertanyaan mengapa mereka tidak melakukan perlawanan, mengapa mereka tidak melakukan pelaporan dan lain sebagainya ataupun pertanyaan paling nyeleneh seperti kenapa tidak berpindah madzhab saja. Mari mengulik jawabannya.

Teruntuk pertanyaan pertama, bagi mereka tindakan kejahatan yang dibalas dengan tindakan serupa tentu bakal menciptakan sebuah situasi kekacauan yang mana turut menurunkan marwah agama Islam serta memberikan penegasan bahwa mereka merupakan sekelompok golongan yang benar-benar menyeleweng dari ajaran Islam itu sendiri. Adapun sikap mereka terkait kekerasan yang diperoleh hanyalah mengambil hikmah, serta disisi lain berdoa semoga yang melakukan tindakan tersebut memperoleh hikmah kebaikan yang sama.

Menyinggung pertanyaan selanjutnya, apa penyebab mereka tidak melakukan pelaporan diantaranya ialah dikarenakan perilaku itu pun banyak yang dilakukan oleh pihak berwewenang dan kalau bukan pihak berwewenang, maka tindakan tidak acuh yang bakal bermunculan. Sebagaimana diutarakan oleh Bapak Saleh kepada BBC Indonesia, bahwa sampai sejauh ini dan dari semua proses peristiwa beruntun yang terjadi sebelum-sebelumnya terjadi, tidak pernah satu pun pelaku itu diproses atau ditindak dan selalu yang dibawa ke Mapolres adalah korban yang diserang.

Terakhir mengenai pertanyaan ternyeleneh tersebut yang juga kerap hadir ditengah masyarakat, saya kira tak bakal pernah menemui jawaban yang memusakan ketika dilontarkan oleh orang yang tak benar-benar utuh memaknai agama dan keyakinan. Sebab, agama dan keyakinan punya dimensi lain, dimensi yang sangat sulit untuk ditembus oleh nalar sains maupun rasio. Bahkan bagi beberapa orang dimensi keyakinan lebih dahulu hadir pada diri manusia, melampaui nalar sains ataupun rasio.

Jemaat ahmadiyah dalam hal ini telah banyak mengajarkan kita, bahwa agama adalah salah satu energi yang tumbuh untuk menghasilkan suatu nilai, yakni cinta kasih untuk semua, dan kebencian tidak untuk siapapun. Perwujudannya ialah bagaimana mereka aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial. Donor darah, bantuan kemanusiaan dalam bencana rutin adalah sebagian contoh dari kontribusi kekinian yang mereka lakukan.

Dilansir BBC Indonesia, JAI merupakan sebuah organisasi massa yang sering melakukan tindakan donor mata. Berdasarkan data JAI, sudah terdapat 385 mata yang didonorkan, selain 15.000 calon siap donor mata. Alhasil, disebabkan rangkaian kontribusi tersebut, pada tahun 2017 Museum Rekor Indonesia (MURI) menobatkan JAI sebagai “Komunitas pendonor kornea mata terbanyak secara berkesinambungan”.

Segala tindakan tersebut tentu mengherankan terlebih dengan sejarah kelam yang mereka terima. Namun begitulah JAI, mereka telah menunjukkan kita susana romantika yang berbeda, bahwa mereka tidak melawan dan hanya selalu mengambil hikmah atas segala yang mereka timpa dan bahkan memberikan tindakan yang sangat terpuji dengan tetap memberi sumbangsih kepada masyarakat disekitar.

Dalam hal ini Ahmadiyah tidak bertindak selaku korban, tidak pun bersikap memohon permintaan maaf ataupun terima kasih atas segala sumbangsihnya. Mereka menunjukkan hal yang sama seperti dalam karangan Milan Kundera, pada novelnya The Joke bahwa dendam dan maaf ”akan diambil alih oleh waktu”. Yang mereka inginkan ialah hanya penerimaan, pengakuan dan kenikmatan beribadah serta status bermasyarakat yang sama. Hal ini bagi penulis semakin menempatkan mereka sebagai sosok yang secara moral lebih tinggi dan lebih berdaulat.

Terakhir, ketika sains ataupun ilmu pengetahuan lahir untuk membantu kita mencari kebenaran dan penemuan-penemuan terkini, maka agama lahir untuk menuntun kita kepada kebahagiaan. Lantas bagaimana dengan Ahmadiyah? apakah mereka bahagia? Saya kira pada kasus ini tidak menjadi persoalan bagaimana JAI beragama, yang menjadi persoalan ialah sudah sepatutnya mereka diberikan penghidupan yang layak, tentram, dan nyaman selayaknya masyarakat Indonesia pada umumnya.

Isyraf Madjid
Isyraf Madjid
Pembaca yang berupaya menulis.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.