Dalam seting sinetron Para Pencari Tuhan jilid I, Azam bertanya kepada Aiyah, “Jika suatu saat tangan ini tak lagi utuh menuntunmu, dan aku terjatuh… bagaimana engkau menolongku?”
Aiyah menjawab dengan tegas, “Aku tidak akan menolongmu. Aku akan ikut jatu dan mati bersamamu.…kamu sendiri, apa yang kamu lakukan?”
Azam pun tersenyum pelan, lalu berkata, “Aku mau seperti Rasulullah……mati di pangkuan Aisyah.”
Di lain zaman, di ruang tunggu rumah sakit di Jakarta, seorang aktivis muda memegangi ponselnya gemetar. Di satu sisi, pesan masuk dari rekan gerakan memohon kehadirannya dalam aksi darurat melawan reklamasi teluk. Di sisi lain, istrinya baru saja memberitahu bahwa kontraksinya sudah mulai, waktunya melahirkan anak pertama mereka.
Inilah potret dilema yang seringkali dihadapi para aktivis: antara panggilan kemanusiaan yang luas dan tanggung jawab cinta yang personal. Padahal cinta tidak pernah memaksa kita memilih antara keluarga dan gerakan.
Tapi bagimana caranya mendefenisikan Cinta semacam itu dengan bahasa yang muda dimengerti? Atau bagimana caranya menghidupkan api perjuangan tanpa harus memadamkan tungku di dapur?
Menjawab pertanyaan semacam itu, tulisan ini hadir menawarkan bacaan ulang tindakan Nabi sebagai agensi Cinta: baik tindakan politik dan tanggung jawab moral kolektif.
Dalam rumah tangga Nabi (baca kisah Rasulullah), cinta bukan sekadar perasaan, melainkan praksis keadilan, dialog, dan pembebasan. Ketika ia menikah dengan Khadijah, ia membentuk aliansi spiritual dan ekonomi yang menjadi fondasi dakwah.
Begitu pula dengan Aisyah. Nabi tidak hanya mencintainya, tetapi juga merawat ruang kritis di antara mereka. Aisyah kerap mengajukan pertanyaan, menyampaikan sudut pandang, bahkan menyampaikan kritik dan Nabi merespons dengan sabar dan dialog.
Dalam kerangka ini, cinta menjadi ruang pertumbuhan bersama, tempat perbedaan diperlukan, bukan ditakuti. Ini adalah antitesis dari narasi neoliberals yang menggambarkan keluarga sebagai ruang harmoni sempurna tanpa konflik seolah-olah menuntut keadilan itu tidak relevan dalam ranah privat.
Dan ketika Nabi menikahi perempuan tawanan perang seperti Juwairiyah dan Safiyyah, ia bukan sekadar memenuhi kebutuhan pribadi, melainkan memutus mata rantai dehumanisasi.
Dalam budaya yang menganggap tawanan sebagai barang, Nabi mengangkat mereka sebagai istri bukan untuk kepemilikan, tetapi untuk restitusi martabat. Ini adalah cinta yang politis: cinta yang menolak ketidakadilan sekaligus merawat yang terluka.
Neoliberalisme dan Privatisasi Cinta
Zygmunt Bauman dalam bukunya Liquid Love: On the Fragility of Human Bonds (2003), menggambarkan bagaimana hubungan cinta dan interpersonal dalam masyarakat modern menjadi “cair” (liquid), bersifat sementara dan dikomersialisasi.
Maksudnya bahwa dalam kapitalisme cair, cinta diperlakukan seperti produk konsumsi yang bisa dibeli, diganti, dan dibuang. Neoliberalisme dengan logika pasarnya telah berhasil memprivatisasi hampir segalanya, termasuk cinta dan agama .
Cinta dipasarkan sebagai produk konsumsi, sesuatu yang harus “dibeli” dengan mahal melalui perhiasan, makan malam romantis, atau liburan eksklusif. Agama pun demikian, direduksi menjadi urusan privat antara individu dengan Tuhan, terpisah dari tanggung jawab sosial.
Akibatnya, ketika aktivis mencoba membawa isu-isu keadilan ke ruang publik, mereka sering dihadapkan pada pertanyaan: “Mengapa tidak fokus pada keluarga saja?”
Keadaan ini oleh Foucault, dalam biopower dan governmentality menunjukkan bagaimana negara dan pasar telah mengintervensi aspek paling pribadi kehidupan, termasuk agama dan cinta. Bahwa cinta oleh negara adalah urusan privat, sementara perjuangan sosial adalah “urusan lain” yang tidak terkait dengan spiritualitas.
Hal ini sekaligus menjawab pertanyaan mengapa aktivis dituntut untuk selalu totalitas di jalan kendati harus memastikan urusan lauk dimeja keluarga selalu ada dengan cara sendiri.
Dilema yang dihadapi aktivis semacam ini bukanlah pilihan antara “baik” dan “buruk,” melainkan antara dua bentuk kebaikan yang tampaknya bertentangan. Sebuah penelitian tentang ketahanan keluarga aktivis menunjukkan bahwa banyak aktivis mengalami moral injury karena tekanan sosial untuk “memilih” antara keluarga dan gerakan.
Atau dilihat dari kasus kematian Mahasiswa Unnes Semarang dan aktivis di Nagekeo, di mana keluarga diminta untuk “ikhlas” dan menolak autopsy, seolah-olah menuntut keadilan bertentangan dengan ketenangan spiritual.
Ini menunjukkan bagaimana narasi neoliberal tentang agama sebagai urusan privat telah mengaburkan kebenaran bahwa menuntut keadilan adalah bagian dari keimanan.
Mengembalikan Cinta yang Hilang
“Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam perspektif Islam, cinta adalah agensi kekuatan aktif yang mendorong seseorang untuk bertindak demi keadilan. Ketika Nabi bersabda tentang keimanan yang terukur dari kecintaan kepada sesama, beliau sebenarnya menegaskan bahwa spiritualitas tanpa keadilan sosial adalah spiritualitas yang cacat.
Cinta dalam rumah tangga Nabi adalah laboratorium dari cinta kolektif itu sendiri, tempat kesetaraan, kritik, dan pembebasan dipraktikkan setiap hari. Ia menunjukkan bahwa cinta sejati tidak melemahkan perjuangan, tetapi memperdalamnya. Bagi aktivis hari ini, rumah bukanlah pelarian dari dunia, melainkan basis dari mana cintanya pada dunia diperbarui.
Kita perlu mengembalikan cinta ke ruang publik, bukan sebagai bahasa kepasrahan, tetapi sebagai tindakan praksis. Cinta yang politis adalah cinta yang mendorong kita untuk merawat, membela, dan menentang kezoliman.
Agar kita bisa belajar dari gerakan-gerakan baru (tentunya dengan peran negara yang memastikan keamanaan) yang melibatkan keluarga dalam aksi sosial—ibu-ibu yang berdemonstrasi bersama anak-anaknya, ayah-ayah yang mengajarkan keadilan sejak dini di rumah. Ini adalah wujud nyata dari cinta kenabian yang tidak mengenal sekat antara privat dan publik.
Karena pada akhirnya, seperti yang dikatakan Hannah Arendt, cinta memang tidak bisa berdiri sendiri—ia harus ada di dalam dunia, di tengah-tengah perjuangan kemanusiaan yang terus berlanjut. “Love is not the whole world, but love is only in the world.”